Kitab: Aqidah Ath-Thahawiyah
Audio: Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A
Transkrip: ilmiyyah.com
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن وله
Halaqah yang ke-123 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitāb Al-Aqidah Ath-Thahawiyah yang ditulis oleh Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullāh.
Beliau mengatakan:
وَلَا نَشْهَدُ عَلَيْهِمْ بِكُفْرٍ وَلَا بِشِرْكٍ وَلَا بِنِفَاقٍ؛ مَا لَمْ يَظْهَرْ مِنْهُمْ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ
Dan kita tidak bersaksi atas mereka (orang Islam, Ahlul-Qiblah) dengan kekufuran, dan tidak pula dengan kesyirikan, dan tidak pula dengan kenifaqan, selama tidak muncul dari mereka sesuatu pun dari perkara-perkara tersebut.
Asalnya, seorang Muslim itu masih berada di atas Islamnya. Itu asalnya. Kita berteman dengan seorang Muslim, bertetangga dengan seorang Muslim, ya asalnya mereka di atas keislamannya.
Maka لَا نَشْهَدُ عَلَيْهِمْ بِكُفْرٍ—tidak boleh kita bersaksi atas mereka dengan kekufuran, jangan mengatakan bahwasanya “Si Fulan kafir”, وَلَا بِشِرْكٍ—Tidak boleh kita mengatakan: “Si Fulan musyrik” وَلَا بِنِفَاقٍ– dan tidak pula dengan kenifaqan dengan mengatakan “Si Fulan munafiq”. Karena kekufuran, kesyirikan, dan kemunafikan ini, jika seseorang meninggal dunia dalam keadaan masih terdapat kekufuran yang besar, kesyirikan yang besar, atau kemunafikan yang besar, dan dia belum bertobat darinya, maka ini sesuatu yang membahayakan.
Karena tiga golongan ini—الكُفَّارُ، المُشْرِكُونَ، المُنَافِقُونَ—mereka adalah orang-orang yang akan kekal di dalam Neraka.
Jadi, hati-hati! Jangan kita bersaksi atas orang-orang Islam dengan kekufuran, kesyirikan, dan juga kenifaqan. Jangan mengatakan: “Kamu kafir,” “Kamu musyrik,” “Kamu munafik” مَا لَمْ يَظْهَرْ مِنْهُمْ شَيْءٌ—selama tidak muncul dari mereka sesuatu yang termasuk kekufuran, kesyirikan, maupun kenifaqan.
Muncul di sini bisa dengan diucapkan oleh lisan mereka atau muncul disebabkan oleh perbuatan mereka. Barulah seseorang dapat dihukumi, jika terpenuhi syarat-syaratnya.
Bukan hanya sekadar tampak saja, tapi ada syarat-syarat lain, di antaranya adalah:
- Dia melakukan itu dalam keadaan tidak dipaksa oleh orang lain.
- Dia melakukannya dalam keadaan memiliki akal.
Adapun jika dia mengucapkan ucapan tersebut dalam keadaan tidak memiliki akal, atau dalam keadaan masih kecil, atau dalam keadaan belum baligh, atau dalam keadaan dipaksa, maka ini tidak bisa kita hukumi.
Kalau belum terpenuhi syaratnya, maka tidak bisa serta merta dihukumi bahwa dia adalah seorang yang kafir atau musyrik.
Selama belum muncul dari mereka yang demikian, maka asalnya seorang Muslim.
Mungkin kita punya orang tua atau kakek dan seterusnya, yang kita tahu bahwa mereka Muslim. Kemudian datang keraguan, apakah mereka ini dalam hati dalam keadaan Muslim atau tidak. Selama belum muncul dan kita tidak tahu atau tidak melihat adanya kekufuran, baik dalam ucapan maupun perbuatan mereka, maka kita menganggap mereka adalah Muslim. Karena tidak ada dalil yang memalingkan dari keislaman mereka.
Jika ingin mendoakan, silakan mendoakan: اللهم اغفر له (Allāhumaghfir lahu). Ingin mendoakan kakek kita, selama kita tidak tahu dan tidak ada bukti bahwa mereka melakukan sesuatu yang mengeluarkan mereka dari Islam. Maka kita tetap menganggap beliau sebagai seorang Muslim.
Jika ingin mendoakan, silakan. Jika ingin bersedekah atas nama beliau, silakan.
Kekufuran di sini lebih umum daripada kesyirikan dan juga kenifaqan.
Syirik yaitu menyembah bersama Allāh sesuatu selain-Nya.
Nifaq (kemunafikan) adalah menyembunyikan kekufuran dan menampakkan keislaman. Mungkin seseorang mengucapkan:
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ
Tapi dia menyembunyikan kekufuran di dalam hatinya, maka ini disebut nifaq.
Masing-masing dari syirik maupun nifaq ini adalah sesuatu yang mengeluarkan seseorang dari agama Islam—yaitu syirik besar dan juga kenifaqan besar.
Maka وَاللهُ تَعَالَىٰ أَعْلَمُ, kekufuran di sini lebih umum daripada kesyirikan dan juga kenifaqan.
وَنَذَرُ سَرَائِرَهُمْ إِلَى اللهِ تَعَالَى
Dan kita mengembalikan rahasia-rahasia mereka kepada Allāh ﷻ.
Maksudnya adalah, apa yang ada di dalam dada mereka, kita tidak tahu. Tapi yang kita lihat adalah apa yang tampak secara lahiriah.
Jika seseorang mengucapkan:
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ
Maka sudah, kita anggap dia sebagai seorang Muslim.
Masalah mereka di dalam hatinya tidak percaya dan seterusnya—itu adalah urusan dia dengan Allāh ﷻ.
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّىٰ يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، فَإِذَا قَالُوهَا عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّهَا وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللهِ
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersyahadat bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allāh dan bahwa Muhammad adalah utusan Allāh. Jika mereka mengucapkannya, maka mereka telah menjaga dariku darah dan harta mereka kecuali dengan haknya, sedangkan hisab mereka adalah atas Allāh.” (Muttafaqun ‘alaih)
Jadi, kita terima secara lahiriah. Jika seseorang mengatakan Laa ilaaha illallāh, maka kita terima dan kita anggap dia sebagai seorang Muslim. Kita bermuamalah dengannya sebagaimana kita bermuamalah dengan orang Islam yang lain.
Adapun batinnya, kita serahkan kepada Allāh ﷻ, karena kita tidak tahu apa yang ada dalam batin seseorang.
Kita hanya bisa mendoakan: semoga orang tersebut jujur
وَنَذَرُ سَرَائِرَهُمْ إِلَى اللهِ
Dan kita tinggalkan rahasia-rahasia mereka—apa yang ada di dalam dada mereka—kepada Allāh ﷻ.
Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqah kali ini dan sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته