Home > Halaqah Silsilah Ilmiyah > Aqidah Ath-Thahawiyah > Halaqah 117 | Pelaku Dosa Besar Tidak Akan Kekal Di Neraka Selama Dia Seorang Muwahhid Bag 2

Halaqah 117 | Pelaku Dosa Besar Tidak Akan Kekal Di Neraka Selama Dia Seorang Muwahhid Bag 2

Kitab: Aqidah Ath-Thahawiyah
Audio: Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A
Transkrip: ilmiyyah.com

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن وله

Halaqah yang ke-117 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitāb Al-Aqidah Ath-Thahawiyah yang ditulis oleh Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullāh.

Pelaku dosa besar di antara orang-orang yang beriman, orang-orang Islam, dan dia belum bertobat dari dosanya, meninggal dalam keadaan dia belum bertobat, dan dia adalah seorang muwahid, kemudian dikehendaki oleh Allāh ﷻ masuk ke dalam Neraka, dia tidak akan kekal selamanya. Yang kekal adalah orang yang meninggal dalam keadaan melakukan kesyirikan.

Dalilnya adalah di antaranya hadits tentang syafaat. Nabi ﷺ mengatakan:

شَفَاعَتِي لِأَهْلِ الْكَبَائِرِ مِنْ أُمَّتِي

“Syafa’atku adalah untuk pelaku dosa besar di antara umatku.”

Dan hadits yang cukup panjang, ketika Allāh ﷻ mengatakan kepada orang-orang yang beriman yang setelah mereka melewati jembatan ash-shirāṭ, mereka berkeinginan supaya saudara-saudara mereka yang masuk ke dalam Neraka karena sebab dosanya, itu juga dikeluarkan oleh Allāh ﷻ dari Neraka.

Kemudian mereka mengatakan kepada Allāh ﷻ:

يَا اللَّهُ، كَانُوا يُصَلُّونَ مَعَنَا، وَيَحُجُّونَ مَعَنَا، وَيَصُومُونَ مَعَنَا

“Ya Allāh, mereka dahulu salat bersama kami, mereka berhaji bersama kami, dan berpuasa bersama kami.”

Kemudian Allāh ﷻ menyuruh mereka untuk mengeluarkan siapa yang mereka kenal di dunia. Ini menunjukkan tentang keutamaan bergaul dan berteman dengan orang-orang yang beriman.

Setelah itu, mereka diperintahkan untuk mengeluarkan orang yang di dalam hati mereka ada keimanan, meskipun sekecil apa pun. Hal ini menunjukkan bahwa pelaku dosa besar ini, selama mereka memiliki keimanan dan tidak membatalkan keimanan mereka dengan kekufuran, maka mereka tidak akan kekal selamanya di dalam Neraka, tetapi akan dikeluarkan oleh Allāh ﷻ.

Adapun ucapan beliau:

“بَعْدَ أَنْ لَقُوا اللَّهَ عَارِفِينَ”

“Setelah mereka bertemu dengan Allāh dalam keadaan ‘ārifīn (mengetahui).”

Dan yang dimaksud adalah bertemu dengan Allāh ﷻ dalam keadaan bertauhid, adapun penggunaan kata ‘ārifīn maka ini perlu diganti, dan yang lebih tepat adalah:

“بَعْدَ أَنْ لَقُوا اللَّهَ مُوَحِّدِينَ”

*”Setelah mereka bertemu dengan Allāh dalam keadaan bertauhid.”*

Adapun hanya bertemu dengan Allāh dalam keadaan ‘ārifīn, dalam arti hanya mengetahui Allāh, maka ini tidak cukup. Sebab, jika hanya mengetahui saja, misalnya mengetahui bahwa Allāh yang Maha Menciptakan, maka Iblis pun tahu bahwa Allāh yang menciptakannya.

Allāh ﷻ berfirman, menceritakan ucapan Iblis:

“خَلَقْتَنِي مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُ مِن طِينٍ”

“Engkau menciptakan aku dari api dan menciptakan dia (Adam) dari tanah.”
(QS Ṣād: 76)

Berarti, Iblis tahu bahwa Allāh yang menciptakannya, sehingga dia adalah seorang ‘ārif. Namun, pengetahuan (‘ilm) dan ma‘rifah (pengenalan)-nya tidak bermanfaat jika dia tidak mengesakan Allāh ﷻ dan tidak menaati-Nya.

Fir‘aun pun tahu tentang kebenaran Nabi Mūsā.

“وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَا أَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا”

“Dan mereka mengingkarinya (ayat-ayat Kami) padahal hati mereka meyakini kebenarannya karena kezaliman dan kesombongan.”
(QS An-Naml: 14)

Mereka mengingkari dengan lisan-lisan mereka, tetapi hati-hati mereka meyakini kebenaran tersebut.

Apakah dikatakan bahwa Fir‘aun karena dia ‘ārif (tahu) kemudian dia selamat? Tentu saja tidak. Jadi, yang benar adalah:

“بَعْدَ أَنْ لَقُوا اللَّهَ مُوَحِّدِينَ”

*”Setelah mereka bertemu dengan Allāh dalam keadaan bertauhid.”*

Inilah yang benar dan inilah yang menyelamatkan dia dari kekekalan di dalam Neraka.

“مَنْ قَالَ: لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ”

“Barang siapa yang mengucapkan: Lā ilāha illallāh, maka dia akan masuk Surga.”

Dalam hadits syafa’at yang pernah kita sebutkan

لِكُلِّ نَبِيٍّ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ، فَتَعَجَّلَ كُلُّ نَبِيٍّ دَعْوَتَهُ، وَإِنِّي اخْتَبَأْتُ دَعْوَتِي شَفَاعَةً لِأُمَّتِي فِي الآخِرَةِ، فَهِيَ نَائِلَةٌ إِنْ شَاءَ اللَّهُ مَنْ مَاتَ مِنْ أُمَّتِي لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا

Setiap nabi memiliki doa mustajab, setiap nabi telah mendahulukan doanya, dan aku menyimpan doaku sebagai syafa’at untuk umatku pada hari kiamat, maka syafaat ini akan diberikan kepada siapa saja yang meninggal dikalangan umatku tanpa menyekutukan Allāh ﷻ dengan sesuatu apa pun.

Berarti orang yang muwahid (bertauhid) ini dapat menjadikan Tauhidnya sebagai sebab dikeluarkannya dia dari Neraka.

Demikian pula dalam hadits qudsi, ketika Allāh ﷻ berfirman:

“يَا ابْنَ آدَمَ إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الْأَرْضِ خَطَايَا ثُمَّ لَقِيتَنِي لَا تُشْرِكُ بِي شَيْئًا لَأَتَيْتُكَ بِقُرَابِهَا مَغْفِرَةً”

“Wahai anak Adam, seandainya engkau datang kepada-Ku dengan membawa dosa sepenuh bumi, kemudian engkau bertemu dengan-Ku tanpa menyekutukan Aku dengan sesuatu apa pun, maka Aku akan mendatangimu dengan ampunan sepenuh bumi pula.”
(HR. Tirmidzi)

Jadi, penggunaan istilah ‘ārifīn kurang tepat. Yang benar adalah muwahhidīn, karena tidak hanya sekadar ma‘rifah yang bisa menyelamatkan seseorang.

Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqah kali ini dan sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

image_pdfimage_print

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top