🌍 WAG Dirosah Islamiyah
🎙 Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri MA حفظه لله تعالى
📗 Kitabul Buyu’ Matan Abu Syuja
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
بسم الله الرحمن الرحيم
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتة
إنَّ الـحَمْدَ لِلّهِ نَـحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أَمَّا بَعْدُ
Alhamdulillah masih bersama matan Al-Imam Abu Syuja’ rahimahullahu ta’ala atau yang dikenal dengan matan al-ghayah fil ikhtisyar
(2) Kriteria kedua barang dikatakan cacat tentu dipengaruhi dengan tradisi masyarakat setempat, karena suatu kondisi di suatu masyarakat bisa dianggap cacat, di masyarakat lain kondisi tersebut tidak dianggap cacat, alias kembali kepada persepsi standard kelayakan umum yang berlaku di masyarakat tersebut.
Misalnya, dalam perdagangan rumah jual beli properti, kondisi rumah yang berada di pinggir sungai, kalau itu rumah hunian sering kali dianggap itu adalah kekurangan. Di pinggir sungai terancam banjir apalagi daerah tersebut rawan banjir. Maka keberadaan rumah di pinggir sungai apalagi datarannya rendah berpotensi banjir, itu sebagai cacat, kenapa cacat? karena memang daerah itu rawan banjir.
Tapi daerah-daerah yang tidak rawan banjir apalagi itu adalah rumah-rumah yang untuk persinggahan, atau yang disebut villa misalnya, seringkali orang menginginkan agar rumahnya dekat dengan sungai. Mendengarkan gemericiknya air, kemudian pembuangan limbahnya mudah, kemudian view (pemandangan) rumahnya lebih fresh, segar dan lain sebagainya.
Sehingga suatu kondisi bisa dianggap sebagai cacat, namun di komunitas yang lain bisa jadi itu suatu kelebihan. Rumah yang berada di pegunungan di dataran tinggi jauh dari perkotaan, bisa jadi keberadaan rumah di daerah tinggi jauh dari keramaian dari hiruk pikuk dan untuk sampai ke sana dibutuhkan kendaraan yang sehat.
Bagi banyak orang itu adalah cacat, tapi bagi sebagian orang yang membutuhkan ketenangan hidup walaupun konsekuensinya jauh dari keramaian, jauh dari pusat perbelanjaan, itu adalah suatu kelebihan, dia ingin mencari ketenangan.
Sehingga ketika rumah itu berada di pegunungan bila itu adalah kompleks villa maka bagi banyak orang itu bukan cacat tapi itu adalah suatu kelebihan, tapi bagi orang yang ingin rumah sebagai hunian keberadaan rumah jauh dari keramaian, jauh dari jalan raya, jauh dari pasar, jauh dari mall, jauh dari masyarakat luas, itu dianggap sebagai kekurangan. Jadi, aspek budaya tradisi juga sangat mempengaruhi persepsi suatu kondisi dianggap sebagai cacat atau tidak.
(3) Kemudian hal ketiga yang perlu diakomodir untuk menentukan apakah suatu kondisi itu dianggap cacat atau tidak, dijelaskan oleh para ulama bahwa suatu kondisi itu dinyatakan cacat bila kondisinya itu parah, kadarnya itu besar.
Misalnya ketika anda membeli satu box buah-buahan, yang di dalam box tersebut terdapat misalnya seratus biji buah. Ternyata dari seratus biji itu ada satu dua yang busuk, maka adanya satu atau dua biji yang busuk itu menurut masyarakat dianggap wajar, bukan cacat, tapi ketika yang busuk yang rusak itu sudah sampai puluhan, tiga puluh, empat puluh, lima puluh persennya rusak, maka itu tentu suatu cacat yang harus dijelaskan.
Kalau tidak, maka ini dianggap sebuah penipuan sehingga pembeli punya hak untuk membatalkan transaksi. Kalau suatu barang yang ditransaksikan memiliki cacat yang kemudian penjual tidak menjelaskan ketika transaksi maka pembeli berhak untuk membatalkan transaksinya.
Sehingga ketentuan ketiga cacat tersebut kadarnya banyak dalam prosentase yang besar tapi ketika itu sedikit cuma satu persen, setengah persen, sebiji, dua biji maka insyaAllah seringkali ditoleransi oleh masyarakat.
(4) Ketentuan keempat suatu kondisi barang dikatakan cacat yang harus dijelaskan adalah penjual mengetahui adanya cacat tersebut ketika dia menjual barang tersebut.
Ketika barang yang ada cacat tersebut ditransaksikan dan penjual sudah mengetahui keberadaan cacat tersebut, keberadaan kekurangan tersebut, maka itu dianggap cacat yang mempengaruhi keabsahan jual beli, dan pembeli berhak membatalkan transaksinya.
Ketentuan terakhir cacat tersebut ada dan terjadi sebelum atau ketika transaksi. Adapun bila cacat itu terjadi setelah transaksi, setelah serah terima barang, maka cacat tersebut diabaikan karena cacat tersebut terjadi setelah barang secara sah menjadi milik pembeli. Sehingga kerugian cacat, kerusakan yang terjadi setelah serah terima barang itu adalah resiko pembeli dan bukan lagi menjadi tanggungjawab penjual.
Sehingga ada empat ketentuan yang harus diingat bahwa cacat tersebut:
Tidak memenuhi kesepakatan, tidak memenuhi keinginan dari pembeli atau dari penjual.
Secara tradisi kondisi tersebut dianggap cacat yang mempengaruhi keabsahan transaksi, sehingga merusak kadar kerelaan orang yang bertransaksi.
Kadar cacat tersebut besar (banyak) bukan kecil.
Cacat terjadi sebelum transaksi dilakukan atau ketika sedang dilakukan. Adapun ketika cacat terjadi setelah serah terima barang maka itu diabaikan karena itu resiko dari pembeli tidak lagi menjadi tanggung jawab penjual.
Dan kalau terjadi cacat maka seperti pernyataan mualif
فللمشتري رده
Pembeli berhak untuk membatalkannya
Namun dari redaksi pernyataan mualif dikatakan فللمشتري artinya pembeli berhak, bukan wajib. Tentu beda ketika kita katakan berhak berbeda dengan kalau kita katakan wajib alias pembeli punya hak sepenuhnya keputusan ada di tangan pembeli. Kalau dia merasa rela, itu kebaikan hati si pembeli, tetapi ketika dia tidak rela maka dia berhak membatalkannya.
Sehingga dari penjelasan mualif pembeli punya dua pilihan yaitu (opsi pertama) memaafkan, toleransi dan rela maka transaksinya sah, dan (opsi kedua) dia menuntut haknya dengan cara membatalkan.
Dalam mahdzab syafi’i pembeli hanya memiliki dua opsi ini, rela atau membatalkan transaksinya, mengembalikan barang dan menerima pembayaran secara utuh.
Namun dalam literasi mahdzab Maliki serta mahdzab Hambali dinyatakan ada opsi ketiga, pembeli berhak meminta kompensasi, ganti rugi, potongan harga alias pembeli berhak untuk mengadakan negoisasi. Penjual juga berhak untuk melakukan negosiasi dengan pembeli untuk memberikan kompensasi cacat tersebut, potongan harga, mengembalikan sebagian pembayarannya.
Kalau disepakati maka menurut pendapat Al-Imam Malik dan juga Al-Imam Ahmad bin Hambal, kesepakatan ini boleh dilakukan dan kalau telah dicapai kesepakatan maka wajib dijalankan.
Sedangkan dalam mahdzab Syafi’i dikatakan tidak boleh ada kesepakatan semacam ini. Opsinya hanya ada dua dibatalkan atau merelakan.
Namun wallahu alam yang lebih rajih adalah ada tiga opsi:
dibatalkan.
merelakan.
menempuh win-win solution, kesepakatan kekeluargaan yaitu dengan cara memberikan kompensasi cacat, mengembalikan sebagian pembayaran atau melakukan potongan harga.
Dan ini sejalan dengan sabda nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam,
الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ
Seluruh muslimin itu wajib berkomitmen dengan persyaratan yang disepakati diantara mereka dan kemudian nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam mengatakan:
الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ
Setiap perdamaian, kesepakatan, dan kesepahaman yang telah terjalin di antara umat islam sesama mereka itu boleh dijalankan.
Dan ini kalau terjadi kesepakatan di antara kedua belah pihak untuk memberikan kompensasi kerugian karena cacat yang terjadi. Maka ini bisa dikatakan sebagai bentuk konkret dari الصُّلْحُ (kesepahaman antara kedua belah pihak).
Dan ini sekali lagi pendapat yang lebih rajih, jadi ada tiga opsi yaitu, (1) dibatalkan atau (2) memaafkan atau (3) memberikan kompensasi atas cacat barang yang terjadi.
Ini yang bisa kami sampaikan kurang dan lebihnya mohon maaf.
وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•