Kitab: Aqidah Ath-Thahawiyah
Audio: Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A
Transkrip: ilmiyyah.com
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن وله
Halaqah yang ke-121 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitāb Al-Aqidah Ath-Thahawiyah yang ditulis oleh Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullāh.
Beliau mengatakan,
وَعَلَىٰ مَنْ مَاتَ مِنْهُمْ
“Dan atas orang yang meninggal di antara mereka”.
Ini taqdirnya
وَنَرَىٰ ٱلصَّلَاةَ مِنْ أَهْلِ ٱلْقِبْلَةِ سَوَاءً كَانَ بَرًّا أَوْ فَاجِرًا
Dan kami juga memandang (berpendapat) menyolatkan bagi orang yang meninggal di antara ahlul-qiblah, yaitu ketika dia meninggal dunia maka kita, Ahlus-Sunnah, memandang untuk menyolatkan mereka selama dia termasuk ahlul-qiblah, baik yang meninggal tadi adalah orang yang shalih (barr) atau dia adalah orang yang fājir.
Seorang yang meninggal dunia dalam keadaan berzina, misalnya, atau orang yang suka minum minuman keras, atau orang yang melakukan riba—kita, Ahlus-Sunnah, menyolati mereka selama dia adalah seorang Muslim. Dia punya hak, dan fardhu kifayah hukumnya kita mengurus jenazahnya: memandikan, mengafani, menyolatkan, dan menguburkan. Jika sampai semua meninggalkan, maka semuanya berdosa. Jika salah satu di antara kita atau sebagian dari kita sudah ada yang mengurus, maka gugur kewajiban tersebut bagi yang lain.
Ini Ahlus-Sunnah wal-Jamā’ah, demikian mereka bersikap. Dan itu bukan, istilahnya, untuk menampakkan kebaikan kepada orang. Tidak. Itu secara hati dan secara lahir, itulah yang kita miliki. Meskipun kita membantah—ya, kita mengatakan, “Ini adalah bid’ah,” “Ini adalah tidak boleh,” dan seterusnya—bukan berarti kita menganggap mereka keluar dari agama Islam.
Sehingga kalau ada di antara mereka yang meninggal dunia, ya, kita shalatkan. Kita ikut memandikan, kita ikut mengafani, kita ikut menyolatkan, kita ikut menguburkan. Tapi kalau sudah diajak untuk melakukan perkara yang tidak dibolehkan oleh syariat, seperti tahlilan, acara tujuh harian, empat puluh harian, dan seterusnya, maka kita tidak ikut-ikutan dalam yang demikian, kita hanya melakukan apa yang disyariatkan saja. Kita menyolatkan mereka.
Dan itu dipraktikkan, alḥamdulillāh, oleh para asatidz. Terkadang, di sebuah daerah, mereka dimusuhi oleh sebagian tokoh agama. Tapi ketika tokoh agama tadi meninggal dunia, kita berbondong-bondong untuk menyolatkan. Terkadang justru kita lebih dulu daripada yang lain. Karena demikianlah Ahlus-Sunnah, itu bukan mudāhanah (berpura-pura) atau hanya ingin menampakkan keluhuran budi pekerti seseorang. Itu memang aqidah kita. Kita tidak menyembunyikan, kita tidak mudāhanah—kita masih menganggap mereka adalah Muslim, saudara kita.
Tapi di sana ada sesuatu yang dikecualikan, dan ini dipraktikkan oleh Nabi ﷺ. Yaitu apabila seseorang berada di tempat yang kuat sunnahnya, kuat agama Islamnya, sunnah ini dzhahir, dan Ahlus-Sunnah dzhahir. Kemudian, ada seseorang yang melakukan kefasikan yang dzhahir dan meninggal dunia. Maka seorang imam, kalau memang dia ingin memberikan pelajaran bagi yang lain supaya tidak meniru apa yang dilakukan berupa kemaksiatan dan kefasikan, dalam keadaan demikian dia boleh untuk tidak menyolatkan dan menyuruh kaum Muslimin yang lain untuk menyolatkan.
Nabi ﷺ pernah tidak mau menyolatkan orang yang meninggal dunia dalam keadaan dia punya utang. Ini untuk memberikan pelajaran bagi kaum Muslimin supaya jangan bermudah-mudah. Tentunya, seseorang rugi jika tidak dishalatkan oleh Nabi ﷺ, padahal shalat disitu ada doa.
Kapan keadaannya? Yaitu ketika sunnah itu nampak di sebuah daerah atau di sebuah tempat, mungkin di dalam pondok, misalnya, yang merupakan komunitas yang kuat sunnah dan pengetahuannya. Kemudian, meninggal salah seorang di antara mereka yang dikenal kefasikannya, dan imam rāwaṭibnya tidak mau menyolatkan serta menyuruh yang lain untuk menyolatkan, sedangkan dia memiliki pengaruh yang besar, maka tidak masalah.
Tujuannya adalah untuk memberikan pelajaran, bukan berarti tidak boleh menyolatkan orang yang fāsiq. Tidak. Jadi, dia meminta yang lain untuk menyolatkan. Adapun beliau sendiri, untuk memberikan pelajaran bagi yang lain, maka beliau tidak menyolatkan.
Berarti di sini ada dua permasalahan:
- Shalat di belakang orang yang shalih maupun yang tidak shalih, yang penting dia termasuk min ahlil-qiblah, termasuk orang Islam.
- Kita menyolatkan orang yang sudah meninggal dunia di antara orang Islam, karena itu adalah hak dia sebagai seorang Muslim.
Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqah kali ini dan sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته