Kitab: Aqidah Ath-Thahawiyah
Audio: Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A
Transkrip: ilmiyyah.com
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن وله
Halaqah yang ke-120 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitāb Al-Aqidah Ath-Thahawiyah yang ditulis oleh Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullāh.
Masuk kita pada pembahasan yang baru, yaitu tentang bahwa Ahlus-Sunnah tetap shalat di belakang siapa saja selama dia seorang Muslim, baik dia adalah orang yang shalih maupun orang yang tidak shalih.
Kembali menjelaskan di antara aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jamāʿah, beliau mengatakan:
وَنَرَى ٱلصَّلَاةَ خَلْفَ كُلِّ بَرٍّ وَفَاجِرٍ مِنْ أَهْلِ ٱلْقِبْلَةِ
“Dan kami, Ahlus-Sunnah, memandang bahwa shalat itu dilakukan di belakang setiap orang baik yang shalih maupun yang fajir (tidak shalih), dari kalangan Ahlul-Qiblah.”
Inilah di antara apa yang dilakukan oleh Ahlus-Sunnah wal-Jamā’ah. Mereka shalat di belakang siapa saja sebagai makmum, baik imam tersebut adalah imam yang shalih, imam termasuk Ahlus-Sunnah wal-Jamā’ah, termasuk seorang yang ahli ibadah, menjaga ketaatannya, ataupun imam tersebut adalah seorang imam yang fājir.
Terkadang mereka shalat di belakang seorang imam yang, mungkin, jika dilihat dari sisi pakaiannya, sudah terlihat bahwa ini bukan orang yang shalih—mungkin rambutnya panjang atau isbāl dan lain-lain, atau mungkin dia membawa rokok dan seterusnya—min ahlil-qiblah, dari kalangan ahlul-qiblah. Artinya, dia masih sebagai seorang Muslim, meskipun dia ahlul-bid’ah. Kita menyelisihi dia dalam beberapa perkara, tapi kita tidak memandang bahwa shalat di belakangnya adalah shalat yang tidak sah.
Karena ini terjadi, sebagian ahlul-bid’ah tidak mau shalat di belakang yang lain, padahal itu adalah seorang Muslim. Adapun Ahlus-Sunnah tidak demikian. Kita membantah mereka, kita menyelisihi mereka, kita menjelaskan bid’ah mereka, tapi bukan berarti kita memandang bahwa shalat di belakang mereka adalah shalat yang tidak sah.
Selama dia adalah seorang Muslim, meskipun dia adalah seorang yang fāsiq, seorang yang fājir, tapi sah hukumnya melakukan shalat di belakang imam tersebut. Ini beda antara Ahlus-Sunnah dengan yang lain. Mereka memiliki keadilan, mereka memiliki inshāf. Bukan berarti membenci ahlul-bid’ah dan juga membenci ahlul-ma’shiyah, kemudian menjadikan mereka berlebihan sehingga mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allāh ﷻ, mengharamkan sesuatu yang dibolehkan oleh Allāh ﷻ.
Jadi, kaidahnya: selama shalat seseorang adalah sah, maka boleh kita bermakmum kepadanya, dan dia seorang Muslim, berwudhu, menghadap kiblat, bersuci. Selama shalat yang dia lakukan adalah sah, meskipun dia adalah seorang yang fājir, maka sah pula kita menjadi makmum. Inilah keyakinan Ahlus-Sunnah wal-Jamā’ah.
Berarti di sana ada ahlul-bid’ah yang tidak demikian keadaannya, dan mereka memang berlebihan. Jangankan shalat di belakangnya, banyak di antara ahlul-bid’ah itu yang mengkafirkan yang lain. Dan itu bukan ciri satu atau dua golongan saja, tapi kebanyakan ahlul-bid’ah—kalau sudah terjerumus ke dalam kebid’ahan—dengan mudah mereka mengkafirkan yang lain.
Jabriyah mengkafirkan Qadariyah, sebaliknya Qadariyah mengkafirkan Jabriyah. Asy’āirah mengkafirkan Mu’tazilah, Mu’tazilah mengkafirkan Asy’āirah.
وَنَرَىٰ ٱلصَّلَاةَ خَلْفَ كُلِّ بَرٍّ وَفَاجِرٍ مِّنْ أَهْلِ ٱلْقِبْلَةِ
Ungkapan beliau “min ahlil-qiblah” ini ungkapan yang detail. Karena kalau seseorang fājir, tapi dia bukan termasuk min ahlil-qiblah, maka tidak boleh. Karena kalau bukan termasuk min ahlil-qiblah berarti termasuk orang yang kafir, dan orang yang kafir tidak sah shalatnya. Di antara syarat sahnya shalat adalah Al-Islām. Jika dia shalat dalam keadaan belum mengucapkan “Asyhadu an lā ilāha illallāh wa asyhadu anna Muḥammadan Rasūlullāh,” maka tidak sah shalatnya.
Ini adalah ungkapan yang sangat teliti dari beliau. “Min ahlil-qiblah” berarti dari kalangan ahlul-qiblah. Mereka dinamakan ahlul-qiblah karena memiliki kiblat yang sama, yaitu ke Masjidil Haram. Dan ini menunjukkan pentingnya shalat di dalam Islam, sampai di antara nama Muslim adalah ahlul-qiblah, karena mereka shalat menghadap kiblat yang sama. Ini menunjukkan tentang pentingnya dan keutamaan shalat di dalam Islam.
Makanya dalam hadits, Nabi ﷺ bersabda:
الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلَاةُ، فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
“Perjanjian antara kita dengan mereka adalah shalat. Maka barang siapa yang meninggalkannya, sungguh dia telah kafir.” (HR. Aḥmad dan At-Tirmidzī)
Inilah yang membedakan antara seseorang dengan selain Muslim, yaitu shalat.
Berkata ʿAbdullāh bin Syaqīq:
لَمْ يَكُنْ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ يَرَوْنَ مِنَ الْأَعْمَالِ شَيْئًا تَرْكُهُ كُفْرٌ إِلَّا الصَّلَاةَ
“Tidaklah para sahabat Rasūlullāh ﷺ memandang ada suatu amalan yang jika ditinggalkan dianggap sebagai kekufuran, kecuali shalat.” (HR. At-Tirmidzī dan Al-Ḥākim)
Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqah kali ini dan sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته