🌍 Grup Islam Sunnah | GiS
🎙 Ustadz Dr. Musyaffa Ad Dariny M.A.
📗 صفة صلاة النبي ﷺ من التكبير إلى التسليم كأنك تراها
📝 Syaikh Al-Albani رحمه الله
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّٰهِ وَبَرَكَاتُهُ.
الْحَمْدُ لِلهِ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُوْلِ اللّٰهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَ هُدَاهُ.
Kaum muslimin dan kaum muslimat yang saya cintai karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, khususnya anggota GiS -Grup Islam Sunnah- yang semoga dirahmati dan diberkahi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Pada kesempatan yang berbahagia ini kita akan bersama-sama mengkaji sebuah kitab yang sangat bagus, kitab yang ditulis oleh Asy Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullahu Ta’ala. Kitab tersebut adalah kitab Sifat Shalat Nabi atau sebagaimana judul aslinya Shifatu Shalatin Nabiyyi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Minattakbiri ilattaslim Ka-annaka Taraha (Sifat Shalat Nabi ﷺ Mulai dari Takbir sampai Salamnya Seakan-akan Anda Melihatnya).
Syaikh Al Albani rahimahullahu Ta’ala mengatakan dalam kitabnya,
وَفِيْ حَدِيْثٍ آخَرْ :
Di dalam hadits yang lain disebutkan:
❲ كاَنَ ﷺ يُصَلِّي ، ❳
Dahulu Rasulullah ﷺ pernah shalat,
❲ فَإِذَا سَجَدَ وَثَبَ الْحَسَنُ وَالْحُسَيْنِ عَلَى ظَهْرِهِ ، ❳
Lalu ketika Beliau sujud, Hasan dan Husain meloncat ke atas punggung Beliau.
Di dalam riwayat ini dikatakan dua-duanya. Kalau di dalam riwayat yang sebelumnya kata-katanya “atau”, ada ragu-ragu dalam periwayatannya. Di dalam riwayat ini dikatakan dengan [ و ] ‘dan’.
“Hasan dan Husain meloncat ke punggung Rasulullah ﷺ.”
❲ فَإِذَا مَنَعُوْهُمَا، ❳
Ketika melihat itu, para sahabat yang shalat di belakang Beliau, melarang keduanya,
❲ أَشَارَ إِلَيْهِمْ أَنْ دَعُوْهُمَا ، ❳
Maka Rasulullah ﷺ memberikan isyarat kepada mereka agar mereka membiarkan keduanya meloncat ke punggung Beliau ketika Beliau sedang sujud.
❲ فَلَّمَا قَضَى الصَّلَاةَ وَضَعَهُمَا فِي حِجْرِهِ ❳
Seusai shalat, Beliau meletakkan keduanya di atas pangkuan Beliau, dan Beliau bersabda:
❲ (مَنْ أَحَبَّنِيْ فَلْيُحِبَّ هَذَيْنِ ) ❳
Barangsiapa yang mencintai aku, maka cintailah kedua orang ini/kedua anak ini (yaitu Hasan dan Husain).
Di dalam hadits ini terdapat pelajaran yang sangat berharga yang disebutkan oleh Syaikh Albani rahimahullahu Ta’ala, bahwa kadang-kadang seseorang boleh melamakan sujudnya melebihi rukun-rukun yang lain; melebihi rukuknya, melebihi duduknya di antara dua sujud, melebihi i’tidalnya, karena ada kebutuhan untuk melamakan sujud.
Boleh bagi kita misalnya kita ingin doa di sujud kita dalam waktu yang lama. Ini dibolehkan. Kenapa demikian? Karena kita sangat membutuhkannya. Kalau kita misalnya, membutuhkan doa yang lama ketika sujud, maka kita dibolehkan untuk melamakan sujud kita melebihi lamanya rukun-rukun yang lain.
Kalau untuk kebutuhan memuaskan cucu saja yang bermain Rasulullah ﷺ melamakan sujudnya, maka kebutuhan untuk berdoa di sujud kita lebih dari itu. Memberikan kesempatan bermain kepada anak, ini kebutuhan yang lebih ringan daripada kebutuhan seseorang untuk memperbanyak doanya ketika sujudnya. Kalau memberikan kesempatan untuk bermain di atas punggung kepada anak kecil saja dibolehkan, maka untuk memperlama sujud karena dorongan/ keinginan doa yang lama di sujud itu lebih dibolehkan lagi.
Dan di dalam hadits ini kita bisa mengambil pelajaran, betapa sayangnya Rasulullah ﷺ kepada cucunya ini. Dan ini bisa kita tiru. Ketika kita membawa anak kecil dan misalnya anak kecil tersebut naik di punggung kita, maka kita ada baiknya berusaha untuk memuaskan anak kecil tersebut agar dia puas dengan permainannya ketika kita sedang sujud. Tapi kita harus tetap menjaga kekhusyukan kita.
Kita manfaatkan sujud itu untuk banyak berdoa, untuk banyak berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan dzikir-dzikir yang disyariatkan saat sujud. Kita ulang-ulang terus. Jangan hanya menunggu saja, kemudian kekhusyukan menjadi hilang, tidak. Tetap kita jaga kekhusyukan kita, kita berikan kesempatan kepada anak di punggung, tidak ada masalah. Sehingga kita mendapatkan dua pahala; pahala melamakan sujud, pahala memperbanyak dzikir, dan pahala memberikan kesenangan kepada anak kecil.
Dan di dalam hadits ini terdapat pelajaran yang sangat berharga juga, bahwa mencintai _dzurriyah_ atau keturunan Rasulullah ﷺ itu wujud dari kecintaan kita kepada Rasulullah ﷺ. Mencintai keturunan Rasulullah ﷺ itu adalah wujud kecintaan kita kepada Rasulullah ﷺ. Karena Rasulullah mengatakan [ مَنْ أحَبَّنِي فلْيُحِبَّ هَذَيْنِ ] (Barangsiapa yang mencintaiku maka cintailah kedua anak ini). Dan keduanya adalah keturunan Rasulullah ﷺ .
Makanya tidak benar orang yang mengatakan: keturunan Rasulullah ﷺ sama dengan yang lain. Tidak benar orang yang mengatakan bahwa keturunan Rasulullah ﷺ sama dengan yang lain. Keturunan Rasulullah ﷺ punya keistimewaan, punya kelebihan. Mereka punya kedekatan nasab dengan orang yang sangat mulia, dengan manusia yang sangat mulia, dengan makhluk yang paling mulia, yaitu Rasulullah ﷺ, sehingga mereka punya kelebihan daripada yang lain.
Namun yang perlu diperhatikan juga, bahwa keutamaan nasab ini tidak berguna sama sekali apabila amalan orang tersebut tidak baik dan tidak benar. Kalau amalannya buruk, maka orang yang bertakwa lebih utama daripada orang yang punya nasab yang mulia. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Quran mengatakan,
{ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللهِ أَتْقَاكُمْ ۚ }
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa” (QS. Al-Hujurat: 13)
Sehingga mulianya nasab itu baru bermanfaat ketika amal seseorang baik dan benar. Ketika amalannya tidak baik atau amalannya tidak benar, maka nasabnya tidak akan berguna.
Bapaknya Nabi Ibrahim apakah mulia? Tidak mulia, walaupun anaknya seorang nabi yang sangat mulia. Tidak berguna. Anaknya Nabi Nuh, nasabnya apakah berguna? Tidak berguna sama sekali karena dia durhaka, karena dia kafir. Begitu pula dengan orang yang misalnya dia keturunan Rasulullah.
Kalau amalannya tidak baik atau amalannya tidak benar, maka orang yang berilmu lebih mulia dari mereka. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mengangkat derajat orang yang berilmu dan beramal baik.
{ يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ }
“Allah Subhanahu wa Ta’ala mengangkat derajat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang yang diberikan ilmu” (QS. Al Mujadilah: 11)
Jadi, beriman, dia mengamalkan ilmunya dan dia berilmu; diberikan ilmu oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan beberapa derajat.
{ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللهِ أَتْقَاكُمْ ۚ }
“Orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa”
Dan takwa tidak mungkin terwujud kecuali dengan ilmu. Takwa itu, ada ilmunya kemudian diamalkan ilmu tersebut. Mereka lebih mulia walaupun tidak punya nasab; daripada orang yang punya nasab yang mulia tapi ternyata amalannya tidak baik, atau dia jahil.
Makanya kita harus adil dalam menyikapi masalah ini. Nasab itu baru berguna, baru punya nilai lebih, ketika seseorang sudah baik amalnya atau dia benar dalam jalan agamanya.
______
Demikianlah yang bisa kita kaji pada kesempatan kali ini. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan diberkahi oleh Allah Jalla wa ‘Ala.
InsyaaAllah kita akan lanjutkan pada kesempatan yang akan datang.
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته