Home > Bimbingan Islam > Panduan Lengkap Membenahi Aqidah > Halaqah 06 : Syirik Dalam Mahabbah

Halaqah 06 : Syirik Dalam Mahabbah

🎙 Ustadz Yusuf Abu Ubaidah As-Sidawi حفظه لله تعالى
📗 Kitāb Al-Irsyād ilā Shohīhil I’tīqod (الإرشاد إلى صحيح الإعتيقاد)
📝 Fadhillatus Syaikh Sholih bin Fauzan حفظه لله تعالى
〰〰〰〰〰〰〰

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله وصلاة وسلام على رسول الله نبينا محمّد وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد

Sahabat BiAS yang semoga dirahmati dan diberkahi oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Ketemu lagi dalam pembahasan tentang Tauhīd, in syā Allāh Ta’āla pada kajian kali ini kita akan membahas tentang:

▪︎ Syirik Dalam Mahabbah (Cinta)

Pada pertemuan sebelumnya telah kita sampaikan bahwasanya ibadah kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla dibangun di atas dua hal:

⑴ Rasa takut kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
⑵ Rasa cinta kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Imam Ibnu Qayyim pernah mengatakan:

وعبادة الرحمن غاية حبه مع الذل عابده هما قطبان وعليهما فلك العبادة دائر ما دار حتى قامت القطبان

“Ibadah kepada Allāh dibangun di atas cinta dan dibangun di atas ketundukan (perendahan hati) rasa takut kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.”

Maka, cinta kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla adalah poros ibadah. Sehingga sangat penting bagi kita untuk mengetahui masalah ini dengan baik. Cinta kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla melazimkan (mengharuskan) bagi seorang hamba untuk merendah (tunduk) patuh dan mendahulukan Allāh Subhānahu wa Ta’āla di atas segalanya.

Inilah cinta yang murni bagi Allāh Subhānahu wa Ta’āla, cinta yang khusus bagi Allāh Subhānahu wa Ta’āla, cinta yang harus diperuntukkan untuk Allāh Subhānahu wa Ta’āla, tidak boleh diberikan kepada selain Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

“Barangsiapa yang menyerahkannya cintanya kepada selain Allāh berarti dia telah berbuat syirik kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla”.

Karena cinta itu ada dua macam:

⑴ Cinta yang khusus yaitu cinta dalam ibadah, cinta yang bersifat ibadah yang mengharuskan kerendahan, ketaatan dan ini khusus bagi Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

⑵ Cinta yang mustarakah, bisa untuk Allāh Subhānahu wa Ta’āla bisa juga untuk selainnya. Seperti (misalkan): cinta orang yang lapar kepada makanan (ini tabi’at), demikian juga cinta orang tua kepada anak (ini tabi’at) atau seorang teman kepada teman yang lain. Jadi ini tidak harus diperuntukkan kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla saja, ini boleh kepada yang lain.

Seperti firman dalam Al-Qur’ān:

إِنَّكَ لَا تَهْدِى مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَـٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهْدِى مَن يَشَآءُ

“Sesungguhnya engkau wahai Muhammad tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu cintai yaitu paman beliau Abu Thalib,
tetapi Allāh memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya” (QS. Al-Qashshash: 56)

Di situ Allāh tegaskan bahwasanya Nabi Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam mencintai pamannya dan ini cinta yang merupakan tabi’at (seorang mencintai pamannya). Wajar dan ini tabi’at.

Adapun cinta yang sifatnya ibadah khusus bagi Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Dan cinta kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla melazimkan bagi kita untuk mendahulukan Allāh Subhānahu wa Ta’āla di atas yang lainnya.

Tidak boleh seseorang mencintai selain Allāh Subhānahu wa Ta’āla tadi lebih mencintai mereka daripada kecintaannya kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Boleh orang tua cinta kepada anaknya.
Boleh seorang suami cinta kepada istrinya.
Boleh seorang istri cinta kepada suaminya.

Tapi jangan sampai mengalahkan cintanya kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Dan cinta kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla memiliki tanda-tanda, di antara tandanya adalah:

⑴ Orang yang mencintai Allāh Subhānahu wa Ta’āla maka dia akan mendahulukan apa yang Allāh Subhānahu wa Ta’āla cintai daripada kesenangan hawa nafsunya. Entah itu harta, anak-anak dan lain sebagainya.

⑵ Orang yang mencintai Allāh Subhānahu wa Ta’āla maka dia akan mengikuti Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Omong kosong kalau orang mengaku cinta kepada Allāh tapi tidak mengikuti Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Allāh menantang orang-orang yang mengaku cinta kepada Allāh tapi tidak mengikuti Rasul. Dalam surat Āli-Imrān ayat 31 Allāh berfirman:

قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ

Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allāh, ikutilah aku, niscaya Allāh mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosa kamu.” Allāh Maha Pengampun, Maha Penyayang.

Dan diantara tanda cinta kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla adalah sifat tawadhu kepada orang-orang yang beriman, tegas kepada orang-orang kafir, jihad di jalan Allāh Subhānahu wa Ta’āla dan tidak takut celaan manusia. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Allāh di dalam surat Al-Māidah ayat 54.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullāh dalam kitābnya Mandarijus Salikin menyebutkan beberapa sebab agar kita cinta kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla dan agar kita dicintai oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Di antaranya:

⑴ Membaca Al-Qur’ān, merenungi Al-Qur’ān, memahaminya, mempelajari artinya.

⑵ Mendekatkan diri kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla dengan melakukan amalan-amalan sunnah.

⑶ Senantiasa berdzikir kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla baik dengan lisan maupun dengan hati, baik dengan amal dan perbuatan kita.

⑷ Mendahulukan apa yang Allāh Subhānahu wa Ta’āla cintai daripada kesenangan hawa nafsu kita.

⑸ Kita merenungi nama dan sifat-sifat Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

⑹ Merenungi nikmat-nikmat Allāh Subhānahu wa Ta’āla yang banyak yang Allāh berikan kepada hamba-Nya.

⑺ Kita merasa butuh kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla, kita merasa membutuhkan Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

⑻ Kita bersepi dengan Allāh Subhānahu wa Ta’āla pada sepertiga malam terakhir, kita membaca ayat-ayat Al-Qur’ān kemudian beristighfar, berdoa bermunajat kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

⑼ Bergaul dengan orang-orang yang baik.

⑽ Menjauhi segala hal yang bisa menghalangi kita dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Dan termasuk kecintaan kita kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla adalah cinta kepada Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam, maka seorang hamba harus mencintai Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam lebih daripada istrinya, anak-anaknya, orang tuanya.

Sebagaimana kata Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam:

لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ

“Tidak beriman salah seorang diantara kalian sampai saya lebih dia cintai daripada anaknya, daripada orangtuanya dan daripada seluruh manusia.”

(Hadīts riwayat Muslim nomor 44 )

Maka orang-orang yang mengaku cinta kepada Allāh, harus cinta kepada Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan orang yang mengaku cinta kepada Rasūlullāh, hendaknya taat kepada Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan meninggalkan larangan-larangannya dan tidak beribadah kecuali dengan tuntutannya.

Jangan sampai kita mengaku cinta kepada Rasul tetapi kita membuat tata cara sendiri dan kita memaksiati perintah Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

لَوْ كانَ حُبُّكَ صَادِقاً لأَطَعْتَهُ إنَّ الْمُحِبَّ لِمَنْ يُحِبُّ مُطِيعُ

“Andaikan cintamu sejati engkau akan taat kepadanya, sesungguhnya orang yang mencintai itu sangat taat kepada orang yang dia cintai.”

Semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla menganugerahkan kepada kita, cinta kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla dan Allāh Subhānahu wa Ta’āla cinta kepada kita.

وصلى الله و سلم على نبينا محمّد وعلى آله وصحبه أجمعين

____________________

image_pdfimage_print

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top