Home > Bimbingan Islam > Sirah Nabawiyyah > Bab 06 | Halful Fudhūl Dan Pernikahan Dengan Khadijah (Bag. 1 dari 8)

Bab 06 | Halful Fudhūl Dan Pernikahan Dengan Khadijah (Bag. 1 dari 8)

🌍 BimbinganIslam.com
🎙 Ustadz Firanda Andirja, MA حفظه لله تعالى
📗 Sirah Nabawiyyah
~~~~~~~

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله على إحسانه، والشكر له على توفيقه وامتنانه، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له تعظيما لشأنه، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الداعي إلى رضوانه، اللهم صلى عليه وعلى آله وأصحابه وإخوانه

Alhamdulillāh, Allāh Subhānahu wa Ta’āla masih memberikan kita kesempatan untuk bersua kembali dalam rangka untuk mempelajari perjalanan Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam yang sarat dan penuh dengan faedah-faedah.

Faedah-faedah itu bisa kita jadikan sebagai bekal kita dalam menjalani kehidupan kita.

In syā Allāh, kita akan membahas tentang “Pernikahan antara Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam dengan Khadijah radhiyallāhu Ta’āla ‘anhā”.

Akan tetapi sebelumnya ada satu peristiwa yang dialami oleh Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam yaitu yang dikenal dengan peristiwa “halful fudhūl”.

Halful fudhūl adalah peristiwa dimana orang-orang Quraisy di zaman jāhilīyyah pernah berkumpul di rumah ‘Abdullāh bin Jud’ān dan mereka bersepakat untuk menolong orang yang dizhālimi.

Pertemuan ini dihadiri oleh Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam yang dikenal dengan halful fudhūl.

Dikisahkan bahwasanya ada seorang dari kabilah Zabīd (dari Yaman) datang ke kota Mekkah membawa sejumlah barang dagangan, lalu dijual lah barang dagangan tersebut kepada Al ‘Ash bin Wāil As Sahmi.

Akan tetapi Al ‘Ash bin Wāil As Sahmi mengambil barang dagangan tersebut tanpa membayar.

Akhirnya dia (orang Yaman) naik di atas gunung Jabal Abi Qubais yang ada di sekitar Ka’bah. Saat itu orang-orang Quraisy sedang berkumpul.

Maka diapun berteriak dengan suara yang lantang menuntut haknya dan agar dia ditolong.

Salah satu paman Nabi yang bernama Zubair bin ‘Abdil Muththalib mengatakan bahwa orang ini tidak boleh ditinggalkan (maksudnya) dia harus ditolong.

Akhirnya Banu Hāsyim, Banu Zahrah dan Banu Tamīm berkumpul di rumah ‘Abdullāh bin Jud’ān dan mereka bersepakat untuk bersatu padu menolong orang ini.

Akhirnya mereka berhasil meminta Al ‘Ash bin Wāil As Sahmi untuk membayar uang kepada orang Yaman Az Zabidiy penjual yang tidak dibayar uangnya.

Yang menjadi perhatian kita, dalam pertemuan tersebut Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam juga hadir. Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam belum diangkat menjadi seorang nabi saat itu.

Setelah beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam diangkat menjadi seorang nabi, Beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) masih mengingat pertemuan ini, yaitu pertemuan yang baik antara orang-orang kāfir Quraisy untuk meninggikan keadilan, menolong seorang yang dizhālimi.

Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan:

لَقَدْ شَهِدْتُ فِي دَارِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جُدْعَانَ حِلْفًا مَا أُحِبُّ أَنَّ لِيَ بِهِ حُمْرَ النَّعَمِ ، وَلَوْ أُدْعَى بِهِ فِي الإِسْلامِ لأَجَبْتُ

“Sungguh Aku pernah menghadiri sebuah perjajian di rumah ‘Abdullāh bin Jud’ān. Saya lebih senang dengan perjanjian ini daripada unta merah. Sekiranya aku diundang lagi (untuk menyepakati perjanjian ini) di masa Islām, niscaya aku akan memenuhinya.”

(Hadīts riwayat Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra no 12110, dihasankan oleh Al Syaikh Albāniy rahimahullāh dalam Silsilah Ash Shahīhah no.1900)

Ini adalah pengakuan Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam terhadap sebagian kebaikan yang masih ada di dalam zaman jāhilīyyah.

Walaupun demikian, tidaklah bermanfaat kebaikan ‘Abdullāh bin Jud’ān karena dia masuk neraka Jahannam, sebagaimana dalam Shahīh Muslim tatkala ‘Āisyah bertanya kepada Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam:

يا رسول الله ابن جدعان كان في الجاهلية يصل الرحم ويطعم المسكين فهل ذاك نافعه ؟ قال لا ينفعه إنه لم يقل يوما رب اغفر لي خطيئتي يوم الدين

“Wahai Rasulullāh, Ibnu Jud’ān pada masa jāhilīyyah menyambung silaturrahīm dan memberi makan orang-orang miskin, apakah hal itu bermanfaat baginya?”

Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

“Tidak akan bermanfaat untuknya, (sebab) seharipun dia tidak pernah mengatakan, ‘Wahai Rabbku ampunilah dosa-dosaku di hari kiamat nanti’.”

Oleh karenanya kebaikan Ibnu Jud’ān tidaklah bermanfaat sedikitpun, karena dia terjerumus dalam kesyirikan.

Dan siapa saja yang terjerumus ke dalam kesyirikan, maka seluruh amalannya tidaklah bermanfaat.

لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Jika engkau berbuat kesyirikan niscaya akan hapus amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.”

(Az Zumār: 65)

Maksudnya, merugi di akhirat kelak, dan akan masuk neraka Jahannam.

Meskipun kaum musyrik Quraisy bergelimang di dalam kesyirikan dan menyembah berhala, namun Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam dengan sifat obyektif dan keadilannya, tetap menyatakan bahwa biar bagaimanapun mereka punya kebaikan. Tidak boleh tutup mata terhadap kebaikan yang ada ini.

Oleh karenanya, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dalam hadītsnya bersabda:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia.”

(Hadīts riwayat Baihaqiy)

Para ulamā telah menjelaskan tentang maksud hadīts ini, yaitu Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam ketika berdakwah kepada orang-orang Quraisy, sudah ada akhlaq-akhlaq mulia di situ.

Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam tinggal menyempurnakannya saja.

Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam bukan memperbarui akhlaq, namun segala akhlaq yang buruk dibuang dan akhlaq yang sudah baik dipertahankan.

Orang-orang Arab jāhilīyyah dan musyrikin Quraisy memiliki sejumlah akhlaq dan perangai mulia sebagaimana telah dipaparkan di bab sebelumnya, diantaranya:

√ Mereka senang menjamu tamu,
√ Mereka memberi makan kepada faqīr miskin,
√ Mereka membela orang yang dianiaya,
√ Dan lain-lain.

Namun sejatinya amalan mereka itu sia-sia di sisi Allāh, tidak bernilai dan berharga di akhirat, karena mereka terjerumus ke dalam kesyirikan.

Namun Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengakui bahwa orang-orang Quraisy dahulu, mereka yang memiliki akhlaq yang mulia, karenanya beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) diutus oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.

Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam tidak menafikan kebaikan yang ada pada musuh Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Bahkan perkataan beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam:

“Andai aku diajak untuk menyepakati perjanjian ini di masa Islām, aku pun akan mendatanginya.”

Demikian yang bisa disampaikan, In syā Allāh besok kita lanjutkan pada pembahasan selanjutnya.

________

image_pdfimage_print

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top