🌍 BimbinganIslam.com
🎙 Ustadz Firanda Andirja, MA حفظه لله تعالى
📗 Sirah Nabawiyyah
~~~~~~~
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله على إحسانه، والشكر له على توفيقه وامتنانه، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له تعظيما لشأنه، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الداعي إلى رضوانه، اللهم صلى عليه وعلى آله وأصحابه وإخوانه
Disini ada 2 perkara penting yang dijelaskan oleh para ulamā berkaitan dengan hadīts ini, tatkala ‘Āisyah bertanya kepada Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam tentang ‘Abdullāh bin Jud’ān.
Yaitu:
⑴ Hendaknya seseorang bersikap adil dan obyektif.
Jangan sampai dia memandang sebelah mata kepada orang lain, meskipun itu musuhnya.
Jika memang dia memiliki kebaikan maka harus diakui dan tidak boleh dibuang.
Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَـَٔانُ قَوْمٍ عَلَىٰٓ أَلَّا تَعْدِلُوا۟ٱعْدِلُوا۟ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ
“Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena (adil) itu lebih dekat kepada taqwa.”
(QS Al Māidah: 8)
Meskipun Rasūlullāh Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dimusuhi oleh orang-orang musyrikin Arab akan tetapi Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam tetap mengakui kebaikan mereka.
Oleh karenanya, ketika ada seorang Yahūdi datang kepada Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam kemudian berkata:
أن يهودياً أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: إنكم تشركون، تقولون ما شاء الله وشئت، وتقولون: والكعبة، فأمرهم النبي صلى الله عليه وسلم إذا أرادوا أن يحلفوا أن يقولوا: (ورب الكعبة، وأن يقولوا: ما شاء ثم شئت)
Bahwa ada seorang Yahūdi datang kepada Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan berkata:
“Sesungguhnya kamu sekalian melakukan perbuatan syirik, kamu mengucapkan, ‘Atas kehendak Allāh dan kehendakmu,’ dan mengucapkan, ‘Demi Ka’bah’.”
Maka Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam memerintahkan para shahābat apabila hendak bersumpah supaya mengucapkan:
“Demi Tuhan Pemilik Ka’bah,” dan mengucapkan, “Atas kehendak Allāh kemudian atas kehendakmu.”
(HR Nasāi’ dan dinyatakan shahīh dari Qutailah radhiyallāhu ‘anhu).
Hadīts ini dijadikan dalīl oleh para ulamā, bahwa orang Yahūdi yang merupakan musuh Islām namun tatkala mereka datang membawa kebenaran, Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam tidak menolak dan membenarkan pernyataan orang Yahūdi tersebut.
Dari sini dapat dipetik faidah bahwa, sesungguhnya harus dibedakan antara menghukumi seseorang (taqwim) dengan memperingatkan seseorang (tahdzir).
Dalam menghukumi atau menilai seseorang, maka harus mengetahui kebaikan dan keburukannya.
Sedangkan di dalam memperingatkan kesalahan orang lain, maka cukup disebutkan kesalahannya saja, tidak perlu disebut kebaikannya.
Jika memang harus menyebut kebaikannya, maka perlu dilihat mashalat dan madharatnya, karena sesungguhnya “Bab Tahdzir” itu termasuk kedalam “Nahyu ‘anil Munkar”, dan para ulamā sepakat bahwa amar ma’ruf nahi munkar kembali kepada kemashlahatan.
Misalnya ada seorang pencuri, maka kita katakan, “Hati-hati, si fulan pencuri!”
Maka orang-orang pun akan mengejarnya dan berusaha menangkapnya.
Ini namanya tahdzir (peringatan), karena itu tidak perlu kita sebutkan, “Si pencuri itu rajin shalāt dan bersedekah.”
Dalam kondisi seperti ini, tidak perlu disebutkan kebaikan si pencuri tersebut, karena di sini kita sedang memperingatkan orang dari bahaya orang tersebut.
Namun, apabila dalam rangka untuk menilai, maka harus dibandingkan antara kebaikan dan keburukan.
⑵ Faidah kedua, sebagaimana kata Ibnul Qayyim, bahwa hadīts ini merupakan dalīl bahwasanya seseorang boleh bekerja sama dengan orang-orang yang sesat dan kāfir , dalam kondisi-kondisi tertentu yang dibutuhkan dan memang bisa menimbulkan kemashlahatan.
Tidak semua orang hidup di atas kebenaran, banyak orang terjerumus ke dalam kesesatan dengan bertingkat-tingkat.
Namun terkadang kita terpaksa bekerja sama dengan mereka dalam ruang lingkup tertentu jika memang mendatangkan kemashlahatan.
Adapun perkataan, “Tidak boleh seseorang secara mutlak berinteraksi dengan orang yang sesat,” maka ini anggapan tidak benar.
Apalagi orang-orang yang memiliki kesesatan tersebut masih Muslim.
Ini kaidah umum namun butuh perincian yang lebih dalam lagi.
Demikian yang bisa disampaikan, In syā Allāh besok kita lanjutkan pada pembahasan selanjutnya.
________