🌍 BimbinganIslam.com
🎙 Ustadz Firanda Andirja, MA حفظه لله تعالى
📗 Kitābul Jāmi’ | Bulughul Maram
📝 AlHāfizh Ibnu Hajar ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ
~~~~~~~
بسم اللّه الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله
Shahābat BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla, Kita masuk pada hadīts yang ke-20.
وَعَنْ أَبِي صِرْمَةَ – رضى الله عنه – قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم -{ مَنْ ضَارَّ مُسْلِمًا ضَارَّهُ اَلله, وَمَنْ شَاقَّ مُسَلِّمًا شَقَّ اَللَّهُ عَلَيْهِ } أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ.
Dari shahābat Abi Shirmah radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu beliau berkata, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang memberi kemudharatan kepada seorang muslim, maka Allāh akan memberi kemudharatan kepadanya, barangsiapa yang merepotkan (menyusahkan) seorang muslim maka Allāh akan menyusahkan dia.”
(Hadīts riwayat Abū Dāwūd nomor 3635, At Tirmidzi nomor 1940 dan dihasankan oleh Imām At Tirmidzi).
Makna dari hadīts ini tanpa diragukan lagi adalah makna yang benar apalagi ada hadīts-hadīts lain yang menguatkan (semakna) dengan hadīts ini.
Contohnya seperti hadīts yang shahīh dalam Shahīh Muslim nomor 1828, Nabi pernah berdoa:
اَللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ
“Ya Allāh, barangsiapa yang mengurusi urusan umatku kemudian dia merepotkan umatku maka susahkanlah dia.”
Hadīts ini menunjukan akan dua perkara penting dalam syari’at, yaitu:
⑴ Kaedah yang sangat agung:
الجزاء مماثلا للعمل من جنسه في الخير والشر
Bahwasanya balasan sesuai dengan jenis amalan dan ini berlaku dalam kebaikan maupun dalam keburukan.
Dan inilah hikmah Allāh Subhānahu wa Ta’āla, Allāh memberikan balasan sesuai dengan apa yang dilakukan oleh seorang hamba.
⇒Barangsiapa melakulan amalan yang dicintai oleh Allāh, Allāh akan mencintainya, barangsiapa melakukan amalan yang dibenci oleh Allāh, Allah akan membencinya.
⇒Barangsiapa memudahkan seorang muslim maka Allāh akan mudahkan urusannya di dunia maupun diakhirat.
⇒Barangsiapa yang menghilangkan penderitaan seorang muslim maka Allāh akan menghilangkan penderitaannya di dunia dan juga di akhirat.
⇒Barangsiapa seorang hamba membantu seorang hamba untuk memenuhi kebutuhan saudaranya maka Allāh akan membantu untuk memenuhi kebutuhannya.
Ini semua dalam kebaikan, sebaliknya dalam keburukan pun demikian.
⇒Barangsiapa memberi kemudharatan kepada seorang muslim maka Allāh akan memberikan kemudharatan kepada dia.
⇒Barangsiapa membuat makar, maka Allāh akan membuat makar kepada dia
⇒Barangsiapa membuat susah, menimbulkan kesulitan bagi saudaranya maka Allāh akan membuat dia susah juga.
Ini berlaku dalam segala hal, jadi balasan sesuai dengan perbuatan, ini berlaku pada kebaikan maupun keburukan.
⑵ Kaedah yang sangat agung yang disebutkan para ulamā dengan istilah:
الضرر يزال
Bahwasanya kemudharatan harus dihilangkan.
Dan ini sesuai dengan hadīts yang lain, yang mashyur hadīts hasan, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
لاضَرَرَ وَلاضِرَارَ
Tidak boleh memberi kemudharatan sama sekali baik memberi kemudharatan kepada diri sendiri ataupun kepada orang lain.
⇒Intinya kemudharatan harus dihilangkan sama sekali.
Kemudharatan di sini sama dengan hadīts yang sedang kita bahas, “Barangsiapa memberi kemudhatan kepada orang lain, maka Allāh akan memberi kemudharatan kepada dia.”
Kemudharatan itu dalam dua bentuk:
→ Bentuk pertama | Menghalangi mashlahat yang seharusnya diterima oleh orang lain, kemaslahatan dia akhirnya tidak dia dapatkan.
Berarti kita memberikan kemudharatan kepada dia.
→ Bentuk kedua | Memberi kemudharatan secara langsung kepada dia, seperti mengganggunya, menyakitinya dan yang lainnya.
Oleh karenanya hadīts ini umum:
مَنْ ضَارَّ مُسْلِمًا ضَارَّهُ
Barangsiapa memberi kemudharatan kepada seorang muslim yang lain.
Dan berlaku dalam segala hal.
Apakah memberi kemudharatan yang berkaitan dengan hartanya, jiwanya (tubuhnya), harga dirinya, anaknya, istrinya, orang tuanya semua kemudharatan tidak boleh kita berikan kepada orang lain, berkaitan dengan apapun dia.
Banyak bentuk-bentuk muamalah (transaksi-transaksi) yang diharāmkan oleh Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam karena akan memberikan kemudharatan kepada orang lain.
Seperti Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam melakukan ghisy (penipuan dalam jual beli). Demikian juga an najasy (jual beli) tidak boleh juga seorang jual beli dengan menutupi aib-aib barang yang hendak dijual. Ini semua dilarang.
Semua perkara yang bisa mendatangkan kemudharatan kepada saudara maka dilarang dalam syari’at berkaitan dengan hadīts ini.
Demikian pula tatkala seseorang bersyarikat dengan saudaranya dalam jual beli (menjadikan dia patner atau teman dalam jual beli) maka tidak boleh dia memberi kemudharatan kepada patnernya dalam praktek jual beli.
Demikian juga seorang tidak boleh mengganggu tetangganya baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan, baik secara langsung ataupun tidak langsung.
Demikian juga tidak boleh seseorang memberi kemudharatan kepada orang yang memberi hutang kepada dia (orang yang telah membantunya) kemudian dia tunda-tunda pembayarannya padahal dia mampu untuk membayarnya.
Ini semua kemudharatan, dan dilarang dalam syari’at, bahkan tidak boleh seseorang memberi wasiat yang memberi kemudharatan kepada ahli warisnya.
Oleh karena itu, Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:
مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ
“Bahwasanya harta waris itu dibagi setelah wasiat yang diwasiatkan (setelah membayar hutang) dengan syarat tidak boleh memberi kemudharatan.”
(QS An Nisā’: 12)
Misalnya:
Seorang sebelum meninggal dia menulis wasiat, dia mengkhususkan sebagian harta kepada sebagian ahli warisnya lebih daripada yang lainnya, maka ini memberi kemudharatan kepada ahli waris yang lain.
Ini memberi kemudharatan kepada ahlu waris yang lain karena dia khususkan sebagian harta kepada sebagian ahli waris, sementara yang lainnya tidak diberikan.
Atau dia sengaja mengurangi harta warisan, atau dia memberi wasiat kepada selain ahli waris dalam rangka untuk memberi kemudharatan kepada ahli waris. Ini semua dilarang karena memberi kemudharatan.
Demikian juga tidak boleh seorang suami memberi kemudharatan kepada istrinya dengan segala bentuk.
Misalnya:
Dia menahan istrinya, istrinya tidak dia cerai sehingga istrinya sakit hati dan hidupnya terkatung-katung (seakan-akan tidak memiliki suami).
Atau istrinya sudah dia cerai kemudian menjelang selesai masa ‘iddah kemudian suami tersebut kembali lagi (rujuk lagi) dengan niatnya bukan untuk mengembalikan kemaslahatan pernikahan, namun untuk menyakiti hati mantan istrinya dengan tujuan agar mantan istrinya tidak bisa menikah lagi dengan orang lain.
Demikian juga jika seorang suami memiliki istri lebih dari satu kemudian dia lebih condong kepada salah satu istrinya, maka ini memberi kemudharatan kepada istri yang lain. Ini semua dilarang.
Dan diantara kemudharatan yang sangat berat telah kita sebutkan di awal bahwasanya tidak boleh seorang memberi kemudharatan kepada muslim yang lain dalam segala hal, baik yang berkaitan dengan hartanya, jiwanya dan juga berkaitan dengan harga dirinya.
Diantara kemudharatan yang sangat besar yang sangat mungkin seorang terlupakan yaitu menjatuhkan harga diri orang lain.
Seorang tatkala mencuri harta orang lain dia tahu bahwa dia telah memberi kemudharatan kepada orang tersebut, atau dia pukul orang lain dan dia tahu dia memberi kemudharatan kepada orang tersebut.
Tapi kalau dia menghībah, menjatuhkan atau mengungkap kejelekan orang dan dia merasa dia tidak memberi kemudharatan, padahal itu merupakan kemudharatan yang lebih besar daripada kemudharatan yang berkaitan dengan harta dan jiwa.
Oleh karenanya sebagaimana seorang penyair pernah berkata:
جراحات السنان لها إلتئام ولا يلتام ما جرح اللسان
Bahwasanya luka yang disebabkan sayatan pedang masih bisa diperbaiki (bisa sembuh) akan tetapi luka yang disebabkan oleh sayatan lisan maka susah untuk disembuhkan.
Shahābat BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
⇒Jadi seluruh bentuk memberi kemudharatan kepada orang lain maka dilarang.
Demikian juga Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda dalam hadīts ini:
وَمَنْ شَاقَّ مُسَلِّمًا شَقَّ الله عَلَيْهِ
“Barangsiapa memberatkan seorang muslim maka dia akan diberi keberatan (kesulitan) juga oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.”
Terutama orang-orang yang bekerja di instansi pemerintah atau yang berkaitan dengan urusan orang banyak, hendaknya dia berusaha untuk bekerja dengan baik agar tidak merepotkan kaum muslimin.
Urusan yang berkaitan dengan kenegaraan hendaknya dikerjakan dengan baik agar tidak merepotkan orang lain, tapi kalau dia sengaja merepotkan orang lain maka dia akan mendapatkan kerepotan dari Allāh di dunia maupun di akhirat.
Wallāhu Ta’āla A’lam bish Shawwab.
________