Home > Bimbingan Islam > Kitābul Jāmi' > Hadits 19 | Membalas Celaan Dengan Yang Setimpal

Hadits 19 | Membalas Celaan Dengan Yang Setimpal

🌍 BimbinganIslam.com
🎙 Ustadz Firanda Andirja, MA حفظه لله تعالى
📗 Kitābul Jāmi’ | Bulughul Maram
📝 AlHāfizh Ibnu Hajar ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ
~~~~~~~

بسم اللّه الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله

Ikhwān dan Akhawāt shahābat BiAS yang di rahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Kita masuk dalam pembahasan hadīts yang ke-19.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ :« الْمُسْتَبَّانِ مَا قَالاَ فَعَلَى الْبَادِئِ مَا لَمْ يَعْتَدِ الْمَظْلُومُ » رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِى الصَّحِيحِ

Dari Abū Hurairah berkata, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

“Dua orang yang saling mencaci maki, maka apa yang diucapkan oleh keduanya dosanya kembali kepada yang memulai memaki, selama yang dimaki (dizhalimi) tidak melampaui batas.”

(Hadīts ini riwayat Imām Muslim nomor 2587 dalam shahīhnya)

⇒Oleh karenanya ini adalah hadīts yang shahīh tanpa diragukan lagi.

Kita tahu dalam hadīts ini, الْمُسْتَبَّانِ (dua orang yang mencaci maki), mencaci maki adalah akhlak yang sangat buruk oleh karenanya nabi Shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan:

سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ وَقِِتَالُهُ كُفْرٌ.

“Mencaci seorang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekufuran.”

(Hadīts Riwayat Bukhāri No. 48, Muslim No. 64)

Yang dimaksud dengan cacian adalah perkataan yang buruk atau keji, yang kita lemparkan kepada saudara kita sesama muslim.

Yang terkadang cacian (makian) tersebut bisa menjerumuskan kepada perbuatan yang lebih parah sampai-sampai terjadi perkelahian atau sampai pada pertumpahan darah. Ini semua awalnya dari caci maki diantara sesama muslim.

⇒Intinya bisa menimbulkan fitnah, paling tidak adalah melemparkan perkataan keji dan buruk kepada saudara kita sesama muslim.

Di sini Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam menjelaskan الْمُسْتَبَّانِ (dua orang yang saling mencaci maki).

⇒si A mencaci maki si B kemudian si B membalas mencaci maki si A, selama cacian keduanya berimbang, maka seluruh dosa-dosa yang diucapkan oleh keduanya ditanggung si A, karena si A yang pertama kali memulai, dengan syarat si B yang di zhalimi tidak melampaui batas.

Contohnya (misalnya) :

√ Si A mengatakan kepada si B, “Kamu gila (si B gila).” Lalu si B membalas, “Kamu juga gila.”

√ Si A mengatakan, “Kamu adalah hewan.” Kemudian si B membalasnya, “Kamu juga hewan.”

⇒Selama si B tidak melampaui batas si A, maka seluruh dosanya kembali kepada si A karena dia yang memulai pertama kali mencaci.

Kata nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam:

فَعَلَى الْبَادِئِ

“Maka seluruh dosanya ( مَا قَالاَ) , seluruh yang diucapkan oleh keduanya, dosanya kembali kepada yang memulai.”

Bahkan misalnya si A mengatakan kepada si B, “Kedua orang tuamu kurang ajar.” Dan si B membalasnya, “Kedua orang tuamu juga kurang ajar. Ini semua dosanya kembali kepada si A.”

Namun jika si B yang dizhalimi melampaui batas, maka lain lagi ceritanya, karena Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam memberi syarat seluruh dosanya:

فَعَلَى الْبَادِئِ مَا لَمْ يَعْتَدِ الْمَظْلُومُ

“Seluruh dosanya kembali kepada yang memulai (si A) selama si B yang didzalimi tidak melampaui batas.”

· Kalau si B melampaui batas, contohnya:

√ Si A mengatakan kepada si B, “Kamu anjing.” Kemudian si B juga mengatakan, “Kamu juga anjing,” tetapi si B menambah misalnya jadi, “Kamu anjing rabies.” Anjing rabies ini lebih daripada anjing.

√ Si A mengatakan, “Kamu kurang ajar.” Lalu si B membalas, “Kamu juga kurang ajar, bapakmu juga kurang ajar,” si B menambah tatkala itu.

Lalu bagaimana kondisi seperti ini?

⇒Ada khilaf diantara para ulamā tentang dosanya lari kemana?

Karena si A yang memulai, namun si B waktu membalas melampaui batas.

Wallāhu a’lam bishawab, sebagian ulamā berpendapat bahwasanya jika si B melampaui batas (melampaui apa yang diucapkan si A) maka kelebihan batasan tersebut dosanya di khususkan bagi si B. Allāh hanya izinkan membalas dengan setimpal.

Kata Allāh Subhānahu wa Ta’āla:

وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِه

“Jika kalian membalas, maka balaslah setimpal dengan sebagaimana kalian dizhalimi.”

(QS An Nahl: 126)

⇒ Boleh seandainya dia (Si A) bilang anjing maka si B juga bilang anjing atau si A memaki orang tua si B lalu si B membalas memaki dia (si A) ini tidak berdosa, seluruh dosanya kembali kepada yang memulai pertama.

Kapan?

Dengan syarat kita (yang dimaki) tidak melampui batas.

Tatkala si B (yang dimaki) melampaui batas (misalnya):

√ Si A mencaci si B kemudian si B membalas mencaci si A dan mencaci kedua orang tua si A.
⇒ Maka kelebihan batasan ini, pendapat yang kuat dosanya kembali khusus kepada si B.

Adapun yang setara (sama) maka dosanya kembali kepada yang memulai pertama kali.

Ikhwān dan Akhawāt shahābat BiAS yang di rahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Intinya, seseorang berusaha meninggalkan hal ini dan Allāh membolehkan seseorang untuk membalas yang setimpal dan jangan sekali-kali memulai mencaci.

Kalau ada orang yang mulai duluan mencaci maka kita boleh membalas dengan setimpal dan ini diidzinkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Namun meskipun demikian Allāh memberikan pilihan yang lebih baik, bila ada orang yang mencaci maki maka kita tidak perlu membalas.

Kata Allāh Subhānahu wa Ta’āla:

وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ

“Kalau kalian membalas, maka balaslah yang setimpal, akan tetapi bila kalian bersabar maka itu lebih baik bagi orang-orang yang bersabar.”

(QS An Nahl: 126)

Allāh Subhānahu wa Ta’āla juga berfirman:

وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ الله لَكُمْ

_”Maafkan dan ampuni lapangkan dada, apakah engkau tidak ingin diampuni oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla?”

(QS An Nūr: 22)

Allāh juga berfirman:

وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ والله يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

“Allāh memuji orang-orang yang memaafkan orang lain, dan Allāh mencintai orang-orang yang berbuat ihsan.”

(QS Al ‘Imrān: 134)

⇒Orang yang memaafkan orang lain adalah orang yang berbuat ihsan.

Intinya hendaknya seorang muslim itu:

⑴ Menjauhkan lisannya dari mencaci maki, pilih kata-kata yang baik.
⑵ Jadilah seorang muslim yang berakhlak mulia, menjauhkan diri dari kata-kata buruk.

Kalau dia bertemu dengan orang yang memiliki kata-kata yang buruk jangan dilayani, hendaknya menjauh dari orang seperti ini, karena pergaulan akan mempengaruhinya.

Jauhi orang-orang yang suka berkata-kata buruk.

Semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla menjaga lisan-lisan kita.

Semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla menghiasi lisan-lisan kita dengan kata-kata yang indah terhadap sesama muslim dan menjauhkan kita dari kata-kata yang buruk terhadap sesama muslim.

Wallāhu Ta’āla a’lam bishawab.
________

image_pdfimage_print

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top