🌍 BimbinganIslam.com
🎙 Ustadz Firanda Andirja, MA حفظه لله تعالى
📗 Kitābul Jāmi’ | Bulughul Maram
📝 AlHāfizh Ibnu Hajar ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ
~~~~~~~
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الل
Ikhwān dan Akhwāt yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Kita masih dalam pembahasan bab tentang ” Peringatan Terhadap Akhlaq yang Buruk”, kita masuk pada hadīts yang ke-8.
Dimana Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
إِيَّا كُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ
“Hati-hatilah (waspadalah) kalian dari prasangka, sesungguhnya prasangka merupakan perkataan yang paling dusta.”
(Hadits Riwayat Bukhāri nomor 5604, versi Fathul Bari nomor 6064 dan Muslim nomor 4646, versi Syarh Muslim nomor 2563)
Iyyākum wazhzhan artinya Ihdaru wazhzhan hati-hatilah kalian dari persangkaan.
⇛Persangkaan adalah sesuatu yang terbetik di hati kita, menduga-duga, tidak ada sesuatu yang merupakan (menunjukkan) kejelasan.
Yang dimaksud dalam hadīts ini adalah ” Persangkaan Buruk”
Tidak boleh seseorang berprasangka buruk kepada saudaranya, karena Allāh melarang hal tersebut.
Allāh mengatakan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“Wahai orang-orang yang berimān, jauhilah kalian dari kebanyakan persangkaan, karena sesungguhnya sebagian persangkaan itu dusta.”
(QS Al Hujūrat : 12)
Para ahli tafsir mengatakan, yang dimaksud dengan sebagian persangkaan merupakan dosa adalah berprasangka buruk terhadap orang-orang yang zhahirnya baik. Ini tidak diperbolehkan.
Jadi, kita dilarang berprasangka buruk kepada orang-orang yang zhahirnya baik.
Adapun untuk para pelaku maksiat, para pelaku kefasiqan maka kita boleh-boleh saja berprasangka buruk kepada mereka karena itulah yang zhahir.
Kita diperintahkan untuk menghukumi sesuatu yang zhahir, dan zhahir mereka (para pelaku maksiat, para ahli kefasiqan, orang-orang yang jahat, pelaku kriminal) maka kita boleh berprasangka buruk kepada mereka.
Oleh karenanya tidak boleh kita berprasangka buruk kepada orang-orang yang zhahirnya baik, kecuali ada dalīl atau qarinah (indikasi) yang menguatkan kita untuk berprasangka buruk.
Akan tetapi jika tidak ada indikasi sama sekali, hanya sekedar persangkaan, maka ini hukumnya adalah harām.
Yang dimaksud dengan “hati-hatilah kalian terhadap prasangka yang buruk” maksudnya kita membenarkan prasangka tersebut.
Adapun jika terbetik dalam hati kita prasangkaan buruk terhadap saudara kita seorang muslim yang baik, maka ini tidak bisa dihindari.
Ini tidak sampai pada derajat dosa karena Nabi Shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِإُمَّتِي مَا حَدَثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَـمْ يَتَكَلَّمُوْا أَوْ يَعْمَلُوْا بِهِ
“Sesungguhnya Allāh Subhānahu wa Ta’āla memaafkan bagi umatku apa yang terbetik di dalam hatinya, selama mereka tidak berbicara dan tidak mengamalkannya (tidak mengambil tindakan).”
(Hadīts Riwayat Muslim nomor 181, versi Syarh Muslim nomor 327)
Jadi, kalau terbetik dalam hati kita berprasangka buruk kepada seseorang maka tidak berdosa. Dikatakan berdosa kalau kita membenarkan persangkaan tersebut.
Nabi Shallallāhu ‘alayhi wa sallam mensifati prasangka dengan فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ persangkaan merupakan perkataan yang paling dusta.
Kenapa demikian?
Karena kalau kedustaan murni orang tahu bahwa ini adalah buruk, tapi kalau persangkaan, sering kita menjadikannya sebagai dalīl untuk membenarkan apa yang kita duga. Padahal persangkaan tersebut merupakan kedustaan.
Bukankah perbuatan atau pernyataan orang tersebut masih bisa ditafsirkan dengan tafsiran yang baik?
Masih banyak kemungkinan, namun datang syaithān kemudian membisikkan kepada kita/mendikte kepada kita agar menafsirkan perkataan-perkataannya (perbuatannya) dengan tafsiran yang buruk.
Umar Bin Khattab Radhiyallāhu ‘anhu pernah berkata:
لاَ تَظُنَّنَّ بِكَلِمَةٍ خَرَجَتْ مِنْ أَخِيْكَ سُوْءً وَأَنْتَ تَجِدُ لَهَا فِي الْخَيْرِ مَحْمَلاً
“Janganlah engkau berprasangka tentang perkataan yang keluar dari saudaramu dengan persangkaan yang buruk, yang engkau bawa pada penasfiran yang buruk, sementara engkau masih bisa menafsirkannya dengan penafsiran yang baik.”
Oleh karenanya, tatkala perkataan atau perbuatan saudara kita masih mengandung penafsiran baik dan buruk (banyak penafsiran), kenapa kita masih memilih penafsiran yang buruk?
Kenapa ? Karena syaithān datang, lantas mendikte kita agar kita menafsirkan dengan penafsiran yang buruk.
Setelah kita menafsirkan dengan penafsiran yang buruk (sesuai dikte syaithān) kemudian kita membangun hukum di atas penafsiran yang buruk tersebut. Dan kita menyangka itu adalah kebenaran.
Karena itulah Nabi mengatakan,
فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذّبُ الْحَدِيْثِ
“Persangkaan itu merupakan perkataan yang paling dusta”
Kenapa?
Karena kita menyangka itu benar dan kita membangun hukum di atas persangkaan tersebut padahal itu merupakan kesalahan.
Berbeda dengan kedustaan murni, kalau kedustaan murni hati kita akan menolak karena itu dusta. Tetapi dikatakan perkataan yang paling dusta tetapi kenapa dikatakan perkataan yang paling dusta karena kita menyangka persangkaan ini merupakan kebenaran padahal adalah merupakan sesuatu yang tidak dibangun diatas dalīl lalu kita membangun hukum diatasnya sehingga dikatakan dengan persangkaan yang paling buruk.
Ikhwān dan Akhwāt yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla,
⇛Jadi, hukum asal kepada seorang muslim yang baik yang bukan pelaku maksiat maka kita harus berprasangka baik kepada mereka.
⇛Dan yang utama untuk kita berprasangka baik adalah kepada orang yang dekat dengan kita.
√ Ustadz kita yang mungkin mengucapkan perkataan yang keliru, kita berparsanga baik, kita kros cek terlebih dahulu.
√ Orang tua kita, Istri/suami kita, anak-anak kita, hendaknya kita berprasangka baik kepada mereka. Kalau terucap perkataannya yang mungkin kedengarannya keliru atau mungkin perbuatannya keliru, harus kita kros cek terlebih dahulu.
Jangan berprasangka buruk kemudian kita membuat hukum di atas prasangka yang belum tentu benar dan kemungkinan besarnya adalah salah.
Kita boleh berprasangka buruk kalau memang ada indikasi yang kuat.
▪ Contohnya kisah yang Allāh sebutkan dalam Al Qurān.
Tentang kisah saudara-saudara Nabi Yūsuf ‘alayhissalām yang meminta izin kepada ayah mereka (Nabi Yakub ‘alayhissalām) untuk membawa adik mereka (Yūsuf) bermain-main.
Lantas mereka memasukkan ke dalam sumur kemudian pulang bertemu dengan ayah mereka dengan mengatakan bahwasanya Yūsuf ‘alayhissalām dimakan oleh srigala.
Dan untuk menguatkan kedustaannya mereka berkata: “Dan engkau tidak akan percaya kepada kami, wahai ayah, meskipun kami jujur.”
Untuk menguatkan pernyataan mereka juga, mereka datang di malam hari sambil menangis seakan-akan Yūsuf meninggal dunia.
Kemudian mereka juga membawa bukti berupa baju Nabi Yūsuf yang penuh darah.
Nabi Yakub ‘alayhissalām tidak membenarkan perkataan mereka dan tetap berpasangka bahwa ini adalah kedustaan, kenapa? Karena ada indikasi yang sangat kuat, yaitu Nabi Yakub melihat baju Nabi Yūsuf yang berlumuran darah akan tetapi tidak terlihat terkoyak.
Apakah ada srigala yang begitu baik, tatkala memangsa mangsanya tidak di cakar, hanya dimakan saja. Dan ini tidakbenar, kalau benar Nabi Yūsuf dimakan srigala tentu bajunya sudah terkoyak oleh cakaran srigala.
Dari sini Nabi Yaqub ‘alayhissalām tidak membenarkan perkataan anak-anaknya yanh menyatakan adik mereka ( Yūsuf) telah dimakan oleh Srigala dan ini diperbolehkan.
Jadi kita boleh berprasangka keluar dari hukum asal, kita berprasangka buruk kalau memang ada indikasi yang kuat, tetapi kalau tidak ada maka harām bagi kita untuk berprasangka buruk.
Oleh karenanya, sebagian salaf mengatakan:
“Hati-hatilah kalian dari amalan yang kalaupun benar maka kalian salah, apalagi kalau salah, yaitu berprasangka buruk.”
Kita dilarang oleh Allāh berprasangka buruk kalau tidak ada indikasi tidak boleh kita berprasangka buruk.
Seandainya kita berprasangka buruk dan ternyata persangkaan kita benar maka kita pun (tetap) berdosa.
Kenapa?
Karena kita menbangun persangkaan tersebut dengan tidak ada indikasi, tidak ada dalil.
Apalagi kalau persangkaan kita keliru.
Jadi, kita hanya boleh berprasangka buruk kalau ada indikasi yang kuat yang mengeluarkan dari hukum asal. Hukum asal seorang muslim adalah baik, tidak boleh kita keluar dari keyakinan tersebut.
Berhati-hatilah kalian dari mengikuti dikte syaithān.
والله تعال أعلمُ بالصواب
__________