🌍 BimbinganIslam.com
🎙 Ustadz Firanda Andirja, MA حفظه لله تعالى
📗 Kitābul Jāmi’ | Bulughul Maram
📝 AlHāfizh Ibnu Hajar ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ
~~~~~~~
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله
Kita masih dalam Bab Zuhud wal Wara’.
Hadits yang terakhir dalam bab ini adalah hadits yang ke-11.
عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم : “اَلصَّمْتُ حِكَمٌ، وَقَلِيْلٌ فَاعِلُهُ.”
(أَخْرَجَهُ الْبَيْهَقِيُّ فِيْ “اَلشُّعَبِِ” بِسَنَدٍ ضَعِيْفٍ وَصَحَّحَ أَنَّهُ مَوْقُوْفٌ مِنْ قَوْلِ لُُقْْمَانََ اََلْْحَكِِيْمِ)
Dari Anas radhiyallāhu ‘anhu beliau berkata, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
“Diam adalah hikmah dan sedikit pelakunya (sedikit yang melakukannya).”
(HR Imām Al Baihaqi dalam kitabnya Asy Syu’abul Īmān dengan sanad yang dha’īf dan sebagian ulama membenarkan bahwasanya hadits ini adalah dari perkataan Luqmān Al Hakīm)
⇒ Luqmān Al Hakīm, yaitu yang ma’ruf yang Allāh sebutkan dalam Al Qurān Surat Luqmān, dan khilaf para ulama apakah Luqmān ini seorang nabi atau bukan.
Namun jumhur ulama berpendapat bahwasanya dia bukanlah seorang nabi, tapi adalah hamba yang shalih yang memiliki kata-kata yang bijak.
Disebutkan diantara kata-katanya yang bijak adalah perkataannya ini; bahwasanya diam adalah hikmah namun sedikit orang yang melakukannya.
Intinya, riwayat ini ingin menjelaskan kepada kita bahwasanya diam itu mulia karena diam adalah hikmah.
Kalau orang-orang berbangga dengan perkataan maka kita berbangga dengan diam.
Kata sebagian orang:
◆ لو كان الكلام من فضة لكان السكوت منذهب
◆ Kalau seandainya berbicara itu terbuat dari perak, maka diam itu terbuat dari emas.
Karena lisan ini sangat berbahaya.
Dia bisa memudahkan seorang masuk dalam surga dan juga bisa memudahkan orang masuk dalam neraka Jahannam.
Makanya, Mu’ādz bin Jabbal radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu, tatkala Nabi berkata kepada dia:
كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا
“Jagalah (kekanglah) lisanmu ini.”
Maka Mu’adz berkata:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُوْنَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ؟
“Ya Rasulūllāh, apakah kita akan disiksa gara-gara ucapan-ucapan kita?”
Maka, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan:
وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ-أَوْ قَالَ: عَلَى مَنَاخِرِهِمْ-إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ؟
“Bukankah kebanyakan orang terjerumus dalam neraka Jahannam gara-gara hasil dari perkataan-perkataan mereka?”
(HR At Tirmidzi no. 2616, dishahīhkan oleh Syaikh Al Albāni dalam Shahīh At Tirmidzi)
Oleh karenanya sebagian ulama (Al Fudhail bin ‘Iyyādh) mengatakan:
من عد كلامه من عمله قل كلامه فيما لا يعنيه
“Barang siapa yang menganggap perkataannya itu termasuk dari perbuatannya, maka dia tidak akan banyak omong.”
(Kitab Al Minhaj Syarah Shahīh Muslim, 2/19 (Asy Syamila))
Bukan berarti tidak boleh berbicara, boleh berbicara bahkan berbicara yang baik sangat dituntut, misalkan dalam rangka berdakwah.
Allāh mengatakan:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ
“Dan perkataan siapa yang terbaik dari orang yang berdakwah dijalan Allāh.”
(QS Fushshilat: 33)
⇒ Namanya berdakwah tentu harus berbicara.
Jadi, berbicara itu baik, akan tetapi pembicaraan yang banyak yang tidak bermanfaat dan yang berlebihan bisa mengantarkan kepada neraka Jahannam.
Oleh karenanya, seseorang hendaknya tidak berbicara kecuali dengan perkataan yang baik.
Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَليَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت
“Barang siapa yang beriman kepada Allāh dan Hari Akhirat maka hendaknya dia mengucapkan yang baik atau diam.”
(Muttafaq ‘alaih: Al Bukhāri, no. 6018; Muslim, no.47 dari shahābat Abū Hurairah)
Kalau dia tidak bisa berucap yang baik, tidak pas atau pembicaraannya berlebihan maka hendaknya diam.
Maka diamnya itu adalah emas, diamnya itu adalah hikmah.
Dan dalam hadits yang lain dari Abū Mūsā radhiyallāhu ‘anhu, beliau berkata:
سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْمُسْلِمِينَ أَفْضَلُ ؟ قَالَ : مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam pernah ditanya:
“Muslim yang mana yang paling afdhal, wahai Rasūlullāh?”
Maka Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan:
“(Seorang muslim yang paling afdhal yaitu) jika kaum muslimin yang lain selamat dari kejahatan lisannya dan kejahatan tangannya.”
(HR Bukhāri, Muslim, Tirmidzi dan Nasāiy)
Seorang hendaknya hati-hati dalam berucap, karena ucapan lisan itu berbahaya; bisa menyakiti.
Oleh karenanya, seorang Penyair berkata:
◆ جراحات السنان لها التئام ولا يلتأم ما جرح اللسان
◆ Luka yang disebabkan sayatan pedang masih bisa disembuhkan, tetapi luka yang disebabkan sayatan lisan kadang tidak bisa disembuhkan.
Jika seseorang telah menyakiti saudaranya dengan ucapannya (dikatakan misalnya: “Kamu pandir, enggak nyambung,” yaitu ucapan-ucapan yang menghinakan) terkadang tidak bisa terlupakan oleh sahabatnya atau saudaranya yang mendengarnya.
Maka, hati-hati…!
Betapa banyak lisan yang dapat meninggikan derajat seseorang di surga tetapi betapa banyak juga karena lisan menyebabkan seorang terjerumus dalam neraka Jahannam.
Oleh karenanya, diam itu terkadang merupakan emas dan terkadang merupakan hikmah.
والله تعالى أعلم بالصواب
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
____