Home > Bimbingan Islam > Kitābul Jāmi' > Hadits ke-8 | Larangan Mendiamkan Saudaranya Lebih Dari Tiga Hari (Bagian 2)

Hadits ke-8 | Larangan Mendiamkan Saudaranya Lebih Dari Tiga Hari (Bagian 2)

🌍 BimbinganIslam.com
🎙 Ustadz Firanda Andirja, MA حفظه لله تعالى
📗 Kitābul Jāmi’ | Bulughul Maram
📝 AlHāfizh Ibnu Hajar ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ
~~~~~~~

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله

Ikhwān dan akhwāt yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla,

Kita melanjutkan pembahasan tentang masalah “Hajr”.

Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam melarang seseorang untuk meng-hajr saudaranya lebih daripada 3 hari.

Namun para ulama menjelaskan maksudnya adalah bahwa hajr ini (yaitu: memboikot saudaranya, tidak menyalami saudaranya, menjauh dari saudaranya, berpaling tatkala bertemu), berkaitan dengan perkara dunia.

Adapun seorang meng-hajr orang lain karena perkara agama maka ini boleh lebih dari 3 hari.

⇒ Seperti meng-hajr/memboikot pelaku bidah atau pelaku maksiat, maka boleh lebih dari 3 hari.

Dan masalah memboikot pelaku maksiat/pelaku bid’ah, maka ini berkaitan dengan 2 kemaslahatan;

⑴ Kemashlahatan yang berkaitan dengan pelaku bid’ah itu sendiri.

⑵ Kemashlahatan yang berkaitan dengan pihak yang meng-hajr.

■ KEMASHLAHATAN PERTAMA

Kemaslahatan yang berkaitan dengan pelaku bid’ah atau pelaku maksiat, maka kita meng-hajr dia sampai dia bertaubat kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Dan dalil akan hal ini adalah kisah Ka’ab bin Mālik radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu tatkala tidak ikut serta dalam perang Tābuk tanpa alasan yang syar’i.

⇒ Dia di-hajr oleh Nabi Shallallāhu ‘Alayhi wa Sallam dan para shāhabatnya sampai sekitar 50 hari.

Sehingga Allāh turunkan ayat yang menjelaskan bahwasanya Allāh menerima taubat Ka’ab bin Mālik radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu baru kemudian Nabi Shallallāhu ‘Alayhi wa Sallam menghentikan praktek hajr-nya.

Dan ini dijadikan dalil oleh seluruh ulama yang berbicara tentang masalah hajr, seluruhnya berdalil dengan kisah ini.

✓Ini menunjukkan masalah meng-hajr pelaku maksiat sama dengan masalah meng-hajr pelaku bid’ah, (yaitu) kembali melihat kepada kemashlahatan dan kemudharatan.

Ikhwān dan akhwāt yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla,

Kenapa kita mengatakan praktek hajr (memboikot) pelaku bid’ah/pelaku maksiat melihat mashlahat dan mudharat?

Karena masalah memboikot pelaku bid’ah/pelaku maksiat adalah permasalahan al amr bil ma’ruf wa nahyi ‘anil munkar (amar ma’ruf nahi munkar).

Dan para ulama telah sepakat bahwa amar bil ma’ruf wa nahyi ‘anil munkar dibangun di atas mashlahat;

◆ Kalau penerapan amar mungkar ma’ruf nahi mungkar menimbulkan mashlahat maka dikerjakan.

◆ Akan tetapi jika penerapan amar ma’ruf nahi menimbulkan kemudharatan yang lebih parah daripada kemungkaran yang ada, maka hendaknya ditinggalkan.

Oleh karenanya masalah meng-hajr pelaku bid’ah/pelaku maksiat zaman sekarang tidak mudah untuk dikerjakan.

Karenanya Syaikh Al Albāni rahimahullāh pernah berkata :

◆ الهجر لا يحسن أن يطبق في هذا العصر لأن البدع هم الغالبون

◆ Meng-hajr pelaku bid’ah tidak layak untuk diterapkan pada zaman sekarang ini karena mereka (ahlul bid’ah) yang paling banyak.

Berbeda dengan zaman Imām Ahmad, di zaman para a’imatussalaf (imam salaf) zaman dahulu, dimana Ahlus Sunnah banyak dan Ahlul Bid’ah yang sedikit.

Sehingga kalau Ahlus Sunnah memboikot Ahlul Bid’ah maka dia akan terpuruk dan akhirnya melepaskan bid’ah yang dia lakukan karena dia akan merasa terjepit karena diboikot oleh kebanyakan orang.

Demikian juga para pelaku maksiat, para pelaku maksiat dahulu jika diboikot (maka) mereka berhenti dari maksiatnya.

Namun sekarang berbeda, sekarang pelaku maksiat & pelaku bid’ah banyak.

Seorang terkadang tatkala memboikot pelaku bid’ah justru dia yang terboikot, tidak ada mashlahat yang dia dapatkan.

Justru sekarang, seseorang perlu mendekati pelaku maksiat untuk mendakwahinya, mengambil tangannya, berbicara dengan dia.

Demikian juga pelaku bid’ah, seorang kalau mampu, maka datangi ahlul id’ah tersebut (terutama ahlul bid’ah yang awam ahlul bidah yang penyeru).

Kemudian dia dakwahi, diajak ngobrol dan diberi masukan, maka inilah yang bermanfaat bagi pelaku bid’ah tersebut.

Kita ingat, kita dahulu tatkala belum mengenal manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, yang mungkin kita masih terpuruk dalam sebagian bid’ah, bagaimana cara kita mendapatkan hidayah?

Kita dapat hidayah bukan dengan diboikot oleh orang Ahlu Sunnah, tidak!

Tetapi kita dapat hidayah dengan izin Allāh Subhānahu wa Ta’āla yaitu dengan adanya seorang pemuda Ahlus Sunnah yang mendekati kita kemudian mengajak ngobrol kemudian memberikan masukan kepada kita.

⇒ Dengan cara mendekati inilah maka akan diperolah mashlahat bagi pelaku bid’ah/pelaku maksiat tersebut.

Sekarang, seandainya kalau pelaku yang tidak shalat diboikot, (maka) susah kita terapkan di zaman sekarang ini.

Padahal disyari’atkan bagi orang yang tidak shalat itu untuk diboikot; tidak diajak ngomong, tidak diajak dagang, dicuekin, (namun) sekarang tidak mungkin dikerjakan.

✓Perkara meng-hajr pelaku maksiat sama halnya dengan meng-hajr pelaku bid’ah, melihat mashlahat dan mudharat.

■ KEMASHLAHATAN KEDUA

Praktek hajr juga memperhatikan kemashlahatan yang berkaitan pihak yang meng-hajr.

Misal ada seorang yang tidak melakukan bid’ah berhadapan dengan orang yang melakukan bid’ah.

Maka dilihat;

• Kalau ternyata orang yang melakukan bid’ah tersebut adalah orang yang menyeru kepada bid’ah (yang) memiliki dalil atau syubhat, maka orang yang tidak melakukan bid’ah (yang meng-hajr) hendaknya dia menjauhi, selama dia khawatir syubhatnya akan dipancarkan dan akan masuk ke dalam hatinya.

⇒ Hendaknya dia menghindari orang tersebut, jangan mendengarkan ceramahnya, jangan menghadiri kajiannya.

• Akan tetapi kalau ternyata pelaku bid’ah itu hanya pelaku bid’ah yang biasa (tidak punya syubhat dan tidak mengerti) maka ini justru yang lebih utama untuk kita dekati, ajak ngobrol dan nasihati.

Jadi, masalah meng-hajr ahlul bid’ah/pelaku maksiat ini disyari’atkan meskipun lebih daripada 3 hari karena tujuannya adalah:

⑴ Memberi pelajaran kepada pelaku bid’ah tersebut, atau

⑵ Untuk menyelamatkan diri kita agar tidak terjerumus ke dalam bid’ah tersebut.

Namun terakhir yang saya ingatkan, ikhwan dan akhwat..

Banyak orang praktek meng-hajr saudaranya sebenarnya (adalah) karena tendensi duniawi.

Mereka memperpanjang praktek hajr tersebut (dengan) membumbui seakan-akan mereka meng-hajr karena syari’at, padahal hakikatnya karena perkara dunia.

Oleh karenanya, orang yang meng-hajr dengan menganggap ini adalah perkara akhirat padahal kenyataannya karena perkara dunia maka ini adalah perkara yang berbahaya.

Dan in syā Allāh akan kita sampaikan pada pertemuan berikutnya.

و صلى الله على نينا محمد و على آله وصحبه أجمعين

image_pdfimage_print

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top