Home > Bimbingan Islam > Kitābul Jāmi' > Hadits ke-8 | Larangan Mendiamkan Saudaranya Lebih Dari Tiga Hari (Bagian 1)

Hadits ke-8 | Larangan Mendiamkan Saudaranya Lebih Dari Tiga Hari (Bagian 1)

🌍 BimbinganIslam.com
🎙 Ustadz Firanda Andirja, MA حفظه لله تعالى
📗 Kitābul Jāmi’ | Bulughul Maram
📝 AlHāfizh Ibnu Hajar ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ
~~~~~~~

عنْ أبي أَيُّوبَ رَضِيَ الله تَعَالَى عَنْهُ، أنَّ رسولَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قالَ: لَا يَحِلُّ لمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ، يَلْتَقِيَانِ فَيُعْرِضُ هَذَا وَيُعْرِضُ هَذَا، وَخَيْرُهُمَا الَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلَامِ. (مُتَّفَقٌ عليهِ)

Dari Abū Ayyūb radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu: Bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam berkata:

“Tidak halal bagi seorang muslim untuk menghajr (memboikot) saudaranya lebih dari 3 malam (yaitu 3 hari). Mereka berdua bertemu namun yang satu berpaling dan yang lainnya juga berpaling. Dan yang terbaik diantara mereka berdua yaitu yang memulai dengan memberi salam.”

(Muttafaqun ‘alaih, diriwayatkan oleh Imām Bukhāri dan Imām Muslim)

~~~~~~~

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله

Ikhwan dan akhwat, kita masuk pada hadits yang berikutnya:

عنْ أبي أَيُّوبَ رَضِيَ الله تَعَالَى عَنْهُ، أنَّ رسولَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قالَ: لَا يَحِلُّ لمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ، يَلْتَقِيَانِ فَيُعْرِضُ هَذَا وَيُعْرِضُ هَذَا، وَخَيْرُهُمَا الَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلَامِ. (مُتَّفَقٌ عليهِ)

Dari Abū Ayyūb radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu: Bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam berkata:

“Tidak halal bagi seorang Muslim untuk menghajr (memboikot) saudaranya lebih dari 3 malam (yaitu 3 hari). Mereka berdua bertemu namun yang satu berpaling dan yang lainnya juga berpaling. Dan yang terbaik diantara mereka berdua yaitu yang memulai dengan memberi salam.”

(Muttafaqun ‘alaih, diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim)

Ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla,

Sesungguhnya syari’at Islam adalah syari’at yang indah, syari’at yang menyuruh umatnya untuk mempererat tali persatuan.

Bukankah Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara.”

(QS Al-Hujurāt: 10)

Oleh karenanya banyak sekali hadits-hadits yang menganjurkan seorang Mu’min untuk menunaikan kewajibannya terhadap saudaranya, diantaranya yaitu:

⑴ Jika saudaranya memberi salam maka dia menjawab salam, kalau bertemu dengan saudaranya dia memberi salam kepada saudaranya.

⑵ Jika saudaranya mengundang dia maka dia penuhi undangannya.

⑶ Jika saudaranya sakit maka hendaknya dia mengunjungi saudaranya.

⑷ Jika saudaranya meninggal dunia maka hendaknya dia menghadiri jenazahnya, dia shalatkan kemudian dia antar ke pekuburan.

⑸ Jika saudaranya minta nashihat maka hendaknya dia menashihatinya.

⑹ Dia berusaha untuk mencintai kebaikan yang dia cintai untuk dirinya juga ingin untuk saudaranya.

Kemudian juga banyak perkara-perkara yang dilarang oleh syari’at dalam rangka untuk menjaga keutuhan tali persatuan tersebut, contohnya:

Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam melarang seseorang;

وَلاَ يَبِعِ بعضكم عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلاَ يخطب الرجل على خطبة أَخِيهِ

• Janganlah seseorang menjual di atas penjualan saudaranya.
• Janganlah seseorang melamar di atas lamaran saudaranya.

(HR Muslim no. 1412 dari shāhabat Ibnu ‘Umar)

وَلاَ تَحَاسَدُوا ، وَلاَ تَبَاغَضُوا

• Janganlah kalian saling hasad (iri).
• Janganlah kalian saling membenci.

(HR Bukhāri dan Muslim)

Dan banyak larangan-larangan Nabi Shallallāhu ‘Alayhi wa Sallam, sampai-sampai dalam Al-Qurān Allāh sebutkan :

⑴ QS Al-Hujurāt ayat: 12

وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ

“Janganlah kalian saling mencari-cari kesalahan diantara kalian dan janganlah saling mengghībah diantara kalian.”

⑵ QS Al-Hujurāt: 11

لا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ

“Janganlah sebuah kaum menghina kaum yang lain.”

⇒ Dalil-dalil ini semua menunjukkan pentingnya untuk mempererat tali persatuan, sampai-sampai Nabi Shallallāhu ‘Alayhi wa Sallam bersabda;

لاَ تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا. أَوَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى شَىْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ

“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman. Dan kalian tidak akan beriman kecuali sampai kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan kepada kalian kepada suatu perkara yang jika kalian melakukannya kalian akan saling mencintai? Maka tebarkanlah salam di antara kalian.”

(HR Muslim no. 54)

Praktek hajr (memboikot) seorang Muslim bertentangan dengan ini seluruhnya (dengan apa yang tadi telah saya sebutkan).

Namun bisa jadi, namanya manusia yang terkadang memiliki hawa nafsu dan bermasalah dengan saudaranya, maka diapun marah kepada saudaranya terutama pada perkara-perkara dunia, entah dia yang salah atau saudaranya yang salah.

Maka syari’at membolehkan (mengizinkan) seorang Muslim untuk mendiamkan/menghajr saudaranya, tidak ingin bertemu dengan saudaranya, memboikot saudaranya.

Namun diberi izin hanya 3 hari, artinya syari’at juga memperhatikan kondisi jiwa sebagai jiwa manusiawi yang susah kalau seseorang marah dan langsung saat itu juga disuruh baik, diam dan memaafkan.

Ini bukan perkara yang mudah, ini perkara yang sangat sulit.

Mungkin tidak bisa melakukannya kecuali Nabi Shallallāhu ‘Alayhi wa Sallam dan orang-orang yang berjiwa besar.

Akan tetapi kebanyakan manusia jiwanya memiliki hawa nafsu yang jika disuruh untuk memaafkan saat itu juga maka susah.

Maka syari’at memberikan kesempatan bagi dia untuk melampiaskan/membiarkan jiwanya emosi tapi hanya selama 3 hari saja, lebih dari itu tidak boleh karena dia punya kewajiban menyatukan tali persaudaraan dengan saudaranya sesama Muslim.

Maka Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengharamkan seorang menghajr lebih dari 3 hari.

Ingat sabda Nabi: “Tidak halal bagi seorang muslim untuk menghajr (memboikot) saudaranya lebih daripada 3 hari”.

⇒ Jika lebih dari 3 hari maka hukumnya haram.

Yang paling baik diantara 2 orang yang saling menghajr, yaitu kata Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam: “Yang terbaik diantara keduanya adalah yang memulai dengan salam.”

Dan kita butuh orang yang seperti ini, membutuhkan akhlaq yang sangat mulia. Dia mengalahkan emosinya kemudian dia memulai dengan salam, ini berat. Kenapa? karena ini bertentangan dengan keegoan (keangkuhan) jiwa.

Apalagi dia berkata, misalnya :

“Saya yang lebih tua, dia yang masih muda.”

“Saya adalah Pamannya, dia yang seharusnya minta maaf ke saya.”

Seperti ini tidak mudah. Kebanyakan orang menampakkan egonya terutama tatkala terjadi perselisihan dan yakin bahwasanya syaithan hadir tatkala dalam kondisi seperti ini.

Oleh karenanya seseorang lebih mengedepankan ego & keangkuhannya, misal mengatakan:

“Saya yang benar, dia yang salah.”

Maka dia ingat sabda Nabi Shallallāhu ‘Alayhi wa Sallam yaitu: “Yang terbaik diantara mereka berdua adalah disisi Allāh Subhānahu wa Ta’āla.”

Apakah seseorang mengikuti hawa nafsu & keangkuhan jiwanya ataukah dia mendahulukan untuk mendapatkan khairiyyah (ingin menjadi yang terbaik) di sisi Allāh Subhānahu wa Ta’āla?

Jika dia ingin menjadi yang terbaik di sisi Allāh Subhānahu wa Ta’āla, diantara dia dengan saudaranya, maka mulailah dengan memberi salam kepada saudaranya.

Para ikhwan dan akhwat yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla,

Ada khilaf dikalangan para ulama, bagaimana menyelesaikan hajr?

◆ Kebanyakan (jumhur) ulama mengatakan: “Jika mereka bertemu dan sudah saling memberi salam maka sudah selesai hajr.”

Berarti sudah keluar dari yang diharamkan Nabi Shallallāhu ‘Alayhi wa Sallam karena Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan: “Yang terbaik adalah yang memulai dengan salam.”

◆ Namun sebagian ulama mengatakan: “Tidak cukup, dia hanya bisa keluar dari perkara yang haram jika kembali sebagaimana sedia kala”.

⇒ Artinya percuma kalau dia memberi salam tetapi wajahnya bengis atau hatinya jengkel.

◆ Oleh karena itu sebagian ulama berkata: “Tidak bisa kembali hajr kecuali kalau dia kembali seperti sedia kala; senyum dengan hati yang bersih dan bisa menghilangkan itu semua.”

Namun, Allāhu a’lam bishshawāb, pendapat yang lebih benar adalah pendapat jumhur ulama karena kalau harus kembali seperti sedia kala ini bukan perkara yang ringan, mungkin susah, seperti kata orang:

“Kalau hati sudah terlanjur terluka maka sulit untuk kembali lagi.”

“Seperti kaca yang sudah terlanjur pecah maka sulit untuk disambung kembali.”

Oleh karenanya, Allāhu a’lam bishshawāb, pendapat yang lebih benar adalah pendapat jumhur ulama yaitu cukup jika dia memberi salam maka selesailah hajr tersebut dan dia telah keluar dari yang diharamkan Nabi Shallallāhu ‘Alayhi wa Sallam.

Dan ingat firman Allāh Subhānahu wa Ta’āla:

وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ. وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا الَّذِينَ صَبَرُوا وَمَا يُلَقَّاهَا إِلا ذُو حَظٍّ عَظِيمٍ

“Tidak sama antara kebaikan dan keburukan maka balaslah dengan cara yang terbaik. Maka orang yang antara engkau dengan dia ada permusuhan, tiba-tiba dia menjadi teman yang dekat. Namun akhlaq seperti ini (membalas keburukan dengan kebaikan) tidaklah dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang bersabar dan tidak diberikan kecuali kepada orang yang mendapatkan keuntungan yang besar.”

(QS Fushilat: 34-35)

Ini pujian yang luar biasa dari Allāh dan memang tidak mudah untuk bisa seperti ini; mengalahkan hawa nafsunya untuk memulai salam meskipun terkadang dia yang salah atau saudaranya yang salah dan dia telah mendapatkan keberuntungan yang besar sebagaimana tadi firman Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla menyatukan hati-hati kaum muslimin.

Kita lanjutkan nanti dalam pertemuan berikutnya.

و صلى الله على نينا محمد و على آله وصحبه أجمعين

image_pdfimage_print

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top