🌍 WAG Dirosah Islamiyah
🎙 Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri MA حفظه لله تعالى
📗 Kitabul Buyu’ Matan Abu Syuja
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
بسم الله الرحمن الرحيم
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتة
إنَّ الـحَمْدَ لِلّهِ نَـحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أشهد أن لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُـحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُه. أَمَّا بَعْدُ
Pada kesempatan ini kita sampai pada pernyataan Al-muallif Al-Imam Abu Syuja’ yang menyatakan,
و يصح بيع كل طاهر مملوك منتفع به مقدرين على تسلم
Katanya boleh atau sah بيع كل طاهر memperdagangkan setiap barang, setiap harta yang memiliki kriteria berikut:
° Pertama طاهر, barang tersebut suci.
° Kedua مملوك, barang tersebut dimiliki oleh penjual.
° Ketiga منتفع به, barang tersebut memiliki manfaat, kegunaan dan kegunaan tersebut tentunya halal.
° Keempat مقدرين على تسلم, penjual ketika memperjualbelikannya dia mampu menyerahkan barang tersebut kepada pembeli.
Ada empat kriteria yang dijelaskan dari Al-Imam Abu Syuja’ di sini, kriteria barang yang boleh dan sah untuk diperdagangkan. Namun ada satu hal yang unik dalam pernyataan Al-muallif di sini. Beliau mengatakan, ويصح dan sah. Beliau tidak mengatakan ويحلال dan halal.
Kenapa Al-muallif rahimahullah Al-Imam Abu Syuja’ lebih memilih untuk menggunakan kata صح (sah) dibandingkan kata halal. Padahal seringkali tema-tema semacam ini penyampaiannya disampaikan dalam redaksi halal, bukan sah. Ada satu rahasia penting yang ini perlu dipahami dan saya yakin sudah dipahami oleh setiap orang yang belajar ilmu fiqih.
Bahwa kata sah itu lebih tajam, lebih dalam, lebih tegas dibanding kata halal. Karena tidak semua yang halal kemudian sah. Di sini Al-muallif mengatakan, ويصح artinya suatu transaksi itu sah bila objeknya memenuhi empat kriteria. Apa itu kata sah?
Dalam literasi ilmu fiqih kata sah atau shahih itu adalah suatu akad bila dilakukan, maka akan menghasilkan konsekuensi hukumnya. Sehingga dalam konteks berjual beli kalau suatu jual beli dikatakan sah maka jual beli ini akan menghasilkan konsekuensi hukum yaitu pemindahan kepemilikan. Kepemilikan barang dari penjual kepada pembeli dan kepemilikan uang dari pembeli kepada penjual.
Dan di antara konsekuensi suatu akad dikatakan sah adalah akad tersebut juga memindahkan tanggung jawab, resiko dan juga potensi keuntungan. Kalau barang itu telah diperjualbelikan dan telah dinyatakan sah, maka segala resiko yang terjadi pada barang tersebut sejak diserahterimakan kepada pembeli maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab pembeli.
Kalau terjadi kerusakan, terjadi cacat, maka itu resiko pembeli dan kalau ada keuntungan yaitu misalnya pertambahan nilai atau mungkin beranak, menghasilkan buah dan yang lainnya maka keuntungan tersebut, pertambahan nilai tersebut sah, halal untuk dimanfaatkan dan diklaim atau dimiliki oleh pembeli. Karena dengan terjadinya serah terima barang yang telah diperjualbelikan maka memindahkan kepemilikan dan tanggung jawab atas barang tersebut.
Al-mualif mengatakan,
ويصح بيع كل طاهر
Setiap harta yang طاهر, (suci) maka halal.
Bagaimana dengan harta yang najis? Para ahli fikih dalam Mazhab Syafi’i serta yang lainnya menyatakan benda yang najis itu haram untuk diperdagangkan. Kenapa? Karena memperjualbelikan barang najis itu bertentangan dengan hukum syariat. Bertentangan dengan tujuan syariat, karena Islam memerintahkan kita untuk bersuci, baik mensucikan diri kita, pakaian kita, tempat kita dari semua najis.
Sedangkan berjual beli menuntut kita untuk berinteraksi, menimbang, mengangkat, menyerahterimakan, menyimpan dan lain sebagainya. Tentu ini tidak sejalan dengan tujuan syariat yang telah jelas-jelas memerintahkan kita untuk bersuci dari benda najis.
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
“Dan pakaianmu sucikanlah dari sesuatu yang najis.” [QS Al-Muddatsir: 4]
Kemudian, suatu hari ketika seorang sahabat memberikan kotoran keledai yang telah kering kepada Nabi untuk dijadikan sebagai alat beristinja’ atau beristijmar. Bersuci ketika buang hajat. Maka nabi bersabda,
أَلْقَى. إِنَّهَا رِكْسٌ.
Nabi membuang kotoran keledai tersebut dan kemudian beliau memberikan penjelasan, alasan kenapa dibuang,
إِنَّهَا رِكْسٌ
Karena sejatinya kotoran keledai itu najis.
Ini alasan kenapa barang najis tidak boleh diperdagangkan, sehingga semua barang yang najis, baik najis fisiknya, seperti kotoran manusia, kotoran keledai, kemudian bangkai dan yang serupa, maka itu haram untuk diperjualbelikan.
Ataupun najis tidak suci karena aspek maknawi, seperti berhala, seperti buku-buku yang mengajarkan kemaksiatan, kesyirikan, pornografi, pornoaksi itu secara maknawi najis. Karena Allah Subhanahu ta’ala telah memberikan karakter atau memberikan sifat kepada orang-orang musyrikin,
إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ
“Sejatinya orang orang musyrik itu najis.” [QS At Taubah: 28]
Dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga telah berfirman perihal khamr,
إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ
“Sejatinya khamr, perjudian, mengundi nasib dengan anak panah yang lainnya, itu رِجْسٌ (najis). Dan itu merupakan perilaku setan فَاجْتَنِبُوهُ (maka tinggalkanlah).” [QS Al-Maidah: 90]
Sehingga semua benda yang najis secara fisik ataupun najis secara maknawi yaitu semua benda yang digunakan untuk berbuat maksiat, yang tidak ada manfaatnya selain untuk perbuatan maksiat, maka itu harus dijauhi. Seperti yang Allah katakan dalam ayat ini, فَاجْتَنِبُوهُ jauhilah.
Tentu perintah untuk meninggalkan barang-barang yang najis secara maknawi ini tidak sejalan bila kemudian Anda memperdagangkan, memperjualbelikannya dengan dalih, saya tidak main judi, saya hanya menjual dadu, saya hanya menjual kartu remi, saya hanya menjual papan catur dan yang serupa. Karena itu adalah sarana untuk apa? perjudian
Wallahu ta’ala a’lam. Lebih dan kurangnya mohon maaf atas semua kekhilafan sampai jumpa di lain kesempatan
وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•