🌍 WAG Dirosah Islamiyah
🎙 Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri MA حفظه لله تعالى
📗 Kitabul Buyu’ Matan Abu Syuja
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~
بسم الله الرحمن الرحيم
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتة
إنَّ الـحَمْدَ لِلّهِ نَـحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُـحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُه. أَمَّا بَعْدُ
Alhamdulillah kembali kita berjumpa dalam program acara kita ini untuk bersama-sama tafaqquh fiddinillah, memahami dan mengkaji seluk-beluk hukum-hukum muamalah.
Kita mulai kajian kita pada hukum-hukum muamalah perniagaan dengan mengkaji, membaca, penjelasan Al-imam Abu Syuja’ rahimahullah dalam kitabnya, متن الغاية في الاختصار atau yang sering dikenal dengan متن التقريب atau .التقريب أبي شجاع Satu Matan kitab fiqih yang sangat familiar di kalangan para penganut mazhab Imam Syafi’i rahimahullah.
Al-Imam Abu Syuja’ rahimahullah mengawali pembahasan ini dengan mengatakan,
قال البيوع ثلاثة أشياء
Katanya, “Perniagaan itu secara global dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok besar”
بيع عين مشاهدة فجائز
Yang pertama kelompok atau model jual beli yang pertama adalah menjualbelikan عين مشاهدة.
‘Ainun Musyahadah maksudnya sesuatu objek barang yang musyahadah yang hadir di tempat, disaksikan langsung oleh penjual dan pembeli. Maka hukum asalnya transaksi semacam ini, jual beli atau memperjualbelikan barang yang ready dan hadir sehingga penjual bisa menyerahkannya kepada pembeli secara langsung dan pembeli bisa langsung menerima barang tersebut secara langsung pula, maka hukum asalnya adalah boleh, selama barang tersebut barang yang halal, memiliki manfaat atau ada gunanya.
Ini sejalan dengan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah menegaskan bahwa hukum asal jual beli itu adalah,
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ
“Dan Allah itu telah menghalalkan praktek jual beli.” [QS Al Baqarah: 275]
Kemudian model kedua,
وبيع شيء موصوف في الذمة فجائز أيضا
Yang model kedua adalah memperjualbelikan objek barang atau memperjualbelikan barang namun barangnya tidak ada di majelis.
Tidak hadir di saat transaksi, namun yang diperjualbelikan adalah kriteria barang yaitu ketika anda sebagai penjual memperjualbelikan menyatakan kepada calon pembeli, “saya siap, saya bisa, saya berkomitmen untuk menjual barang dengan kriteria 1, 2, 3 dan seterusnya”, sampai barang tersebut betul-betul jelas, tidak tersamarkan lagi bagi pembeli ataupun bagi penjual.
Kriteria betul-betul tuntas, sehingga karena deskripsi barang itu disampaikan dengan detail, kedua belah pihak penjual dan pembeli seakan-akan melihat langsung atau seakan-akan ada visualisasi, tergambarkan di otak, di khayalan penjual dan juga di khayalan pembeli dan gambaran antara kriteria barang atau gambaran barang yang ada di otak (di benak) penjual betul-betul identik dengan gambaran yang ada di nalar atau khayalan pembeli.
Dan skema jual-beli semacam ini yaitu memperjualbelikan barang yang tidak definitif tapi barang yang disebutkan kriterianya asalkan pembayarannya dilakukan secara tunai maka ini disebut dengan jual beli salam dan itu sepakat para ulama hukumnya halal.
Abdullah bin Abbas ataupun yang lainnya menceritakan,
قَدِمَ النبي الْمَدِينَةَ وَهُمْ يُسْلِفُونَ بِالتَّمْرِ السَّنَتَيْنِ وَالثَّلَاثَ.
Ketika Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam awal hadir di kota Madinah, hijrah ke Kota Madinah. Beliau mendapatkan penduduk setempat yaitu penduduk kota Madinah yaitu dari kalangan Aus dan Khazraj serta yang lainnya. Mereka biasa memperjualbelikan buah-buahan, biji-bijian yang dideskripsikan secara tuntas dalam tempo setahun atau 2 tahun.
Maka ketika nabi mendapatkan praktek semacam ini beliau memberikan satu klarifikasi satu arahan:
من أَسْلَفَ في شَيْءٍ فَفِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إلى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
Siapapun yang memperjualbelikan sesuatu barang dengan skema salaf ( أَسْلَفَ ) yaitu pembayaran di muka lunas sedangkan serah terima barang adalah tertunda ini namanya salaf atau salam maka kata nabi hendaknya objek yang dia perdagangkan itu diperjualbelikan itu فَفِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ (takarannya jelas), وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ (timbangan jelas), إلى أَجَلٍ مَعْلُومٍ (tempo serah terimanya pun juga jelas disepakati).
Tidak boleh ada wilayah yang masih abu-abu karena adanya wilayah abu-abu pada skema salam, hanya akan menyisakan celah terjadinya sengketa atau pun perbedaan persepsi di kemudian hari.
Ini sekali lagi syaratnya pembayarannya harus dilakukan tunai keras yaitu tunai tanpa ada yang terutang sedikitpun. Karena menurut penjelasan para ulama idealnya dalam suatu akad bila ada salah satu rukun tidak terpenuhi maka biasanya dalam bab-bab lain itu tidak sah.
Contoh: shalat → tidak dilakukan salah satu rukunnya maka tidak sah.
Maka dalam jual-beli akad itu terdiri dari enam rukun:
1. Penjual,
2. Pembeli,
3. Barang yang diperjualbelikan,
4. Uang atau harga,
5. Ijab dan
6. Qobul.
Kondisi idealnya, keenam rukun ini betul-betul ada di saat transaksi dilakukan.
Namun kata para ulama dikarenakan frekuensi jual beli ini sangat tinggi pengulangannya di setiap hari, di setiap orang, setiap hari kita bisa melakukan berpuluh-puluh transaksi, maka islam memberikan kompensasi (keringanan) untuk menunda salah satu objek akad yaitu barang ataupun uang.
Kalau uangnya sudah siap dibayarkan lunas maka barang yang diperjualbelikan boleh ditunda alias belum ada, belum siap. Tapi kalau barangnya sudah siap diserahterimakan di saat akad jual beli, maka pembayarannya boleh berjangka. Adapun bila barangnya belum siap diserahterimakan, pembayaran juga belum lunas, karena hanya bayar DP saja, maka ini termasuk akad
بَيْعِ الْكَالِئِ بِالْكَالِئِ
Jual beli al-Kali’ bil Kali’ (utang dengan utang) → pembayaran tertunda dengan barang tertunda maka ini para ulama telah sepakat hukumnya haram.
Kemudian beliau mengatakan,
وبيع شيء موصوف في الذمة فجائز إذا وجدت الصفة على ما وصف به
Memperjualbelikan barang dengan kriteria yang telah disepakati asalkan pembayarannya lunas maka itu boleh selama betul-betul ketika jatuh tempo penjual mampu menghadirkan barang sesuai dengan kriteria yang disepakati.
وبيع غائبة لم تشاهد فلا يجوز
Model ketiga adalah memperjualbelikan barang yang definitif barang yang sudah ditentukan namun barang tersebut tidak bisa diserahterimakan ketika akad baik karena barang yang dicuri, hilang, atau barangnya belum ketahuan, seperti orang yang memiliki ahli warisan dari keluarganya di tempat yang jauh beda kota, beda provinsi, dia belum tahu seperti apa warisan yang beliau dapatkan.
Bila itu serta merta langsung dijualbelikan padahal dia belum tahu seperti apa kriteria barangnya. Dia juga tidak bisa memastikan apakah barangnya masih ada, jangan-jangan sudah dicuri orang, apakah barangnya masih seperti sediakala atau telah berubah kondisinya. Maka memperjualbelikan barang yang tidak hadir di majelis akad sehingga tidak diketahui kriterianya, tidak diketahui kondisinya maka itu tidak dibenarkan.
Adapun bila memperjualbelikan barang yang sudah dimiliki namun saat itu tidak hadir tetapi penjual bisa memastikan bahwa kondisi barang seperti yang dia sampaikan atau seperti yang diketahui oleh pembeli, sehingga ketika transaksi kapanpun pembeli ingin maka si penjual bisa menyerahkan barang tersebut maka insya Allah tidak mengapa karena tidak ada unsur ghoror.
Berbeda dengan kondisi semula tadi karena barangnya tidak ketahuan apakah sudah berubah kondisi atau tidak, masih ada atau tidak, maka ini memunculkan adanya celah ghoror yang sangat besar, karena itu jual beli barang semacam ini terlarang.
Ini yang bisa kita sampaikan pada kesempatan kali ini, semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjadikan kita termasuk orang yang istimewa.
الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ
[QS Az-Zumar: 18]
Kurang dan lebihnya saya mohon maaf.
وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
•┈┈•⊰✿✿⊱•┈┈•