Home > Bimbingan Islam > Tematik > Adab-Adab Yang Wajib Dalam Berpuasa

Adab-Adab Yang Wajib Dalam Berpuasa

🌍 BimbinganIslam.com
👤 Ustadz Rasyid Abu Rasyidah, M.Ag.
📗 Kajian Tematik | Ramadhan
📝 Serial Kultum Ramadhan
〰〰〰〰〰〰〰

*ADAB-ADAB YANG WAJIB DALAM BERPUASA*

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله وصلاة و سلم على رسول الله و على آله وصحبه ومن ولاه. اما بعد

Ikhwātal Iman Ahabakumullāh, saudara-saudaraku sekalian yang mencintai sunnah dan dicintai oleh Allāh Azza wa Jalla.

Berbicara tentang puasa, maka pembahasan kita tidak hanya seputar hukum, hikmah, syarat dan juga pembatal-pembatal puasa. Tetapi kita pun berbicara tentang adab-adab puasa.

Puasa memiliki beberapa adab yang mana pahala puasa tidak akan sempurna kecuali dengan menyempurnakan adab-adabnya.

Para ulama telah membagi adab-adab puasa menjadi dua

⑴ Adab wajib artinya “harus” dan tidak bisa ditinggalkan, sifatnya beriringan dengan puasa itu sendiri.

Sebagaimana puasa itu wajib, maka di sini adab yang menyertainya pun wajib.

⑵ Adab yang sifatnya sunnah atau anjuran.

Dan In syā Allāh yang menjadi bahasan kita pada pertemuan kali ini adalah adab yang sifatnya wajib (ada dan harus dan tidak boleh ditinggalkan).

Poin pertama yang disampaikan oleh Syaikh Utsaimin rahimahullāh adalah:

⑴ Segala macam ibadah baik ucapan atau perbuatan yang dihukumi wajib (tetap) walaupun seseorang berpuasa, seperti shalāt (misalnya).

Kita tahu bahwa shalāt adalah sesuatu yang agung, sesuatu yang mulia, sesuatu yang menjadi prioritas ketika kelak di hari penghisaban Allāh Azza wa Jalla.

Ia akan ditanya dan tidak mungkin ketika kita mengamalkan puasa kita justru mengabaikan sesuatu yang penting seperti shalāt.

Shalāt hukumnya wajib. Sebagaimana kita ketahui bersama di antara pendapat yang rājih (pendapat yang tepat) di kalangan para ulama bahwanya shalāt ini adalah shalāt jama’ah.

Maka shalāt jama’ah tetap harus didirikan, shalāt jama’ah harus ditunaikan. Sebagaimana kita tahu bersama dalam hadīts Abū Hurairah radhiyallāhu ‘anhu ketika ada seorang sahabat yang buta yang meminta udzur kepada Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam agar tidak diwajibkan untuk mendatangi shalāt jama’ah.

Maka Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam memberikannya, namun tatkala ia berbalik dan terdengar adzan kemudian Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam bertanya:

هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ )بِالصَّلَاةِ( ؟

_”Apakah engkau mendengar panggilan atau seruan shalāt?”_

Kemudian dia menjawab, “Iya.”

Maka Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan:

فأجب

_”Maka penuhilah.”_

Maka bagi seseorang yang menjalankan ibadah Ramadhān (puasa), hendaklah ia tetap menjalankan ibadah shalātnya yaitu shalāt berjama’ah bagi laki-laki.

Lalu bagaimana ketika dalam kondisi sulit seperti wabah yang melanda dan lain sebagainya?

Dalam kondisi seperti ini bukan berarti shalātnya digugurkan, sebagaimana shalāt di dalam perang tidak digugurkan tetap ditekankan.

Maka pendirian dan penegakan shalāt tetap tidak berubah, hanya tata-caranya. Dalam kondisi-kondisi sulit maka diupayakan tetap berjama’ah walaupun tidak di masjid.

Inilah kemudian yang dijadikan dalīl bagaimana ketika Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan:

صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ على صَلَاةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

_”Shalāt jama’ah ketika dibandingkan dengan shalāt sendirian maka berbanding 27 derajat.”_

Ikhwātal Iman Ahabakumullāh

Satu catatan yang tidak boleh dilupakan bagi orang yang berpuasa dan tetap harus menegakkan shalāt adalah jangan sampai shalāt Shubuh dan shalāt Isyanya dilupakan atau diremehkan.

Hal ini sebagaimana ancaman dan juga kabar yang tentu saja menjadi cambuk bagi kita semua. Ketika Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengabarkan bahwa shalāt Shubuh dan shalāt Isya merupakan shalāt yang paling berat bagi orang-orang munafik.

Maka ketika puasa shubuh biasanya dikalahkan oleh rasa kantuk, isya biasanya dikalahkan oleh rasa kenyang, maka jangan sampai demikian. Kita sebagai seorang muslim hendaklah memperhatikan kedua shalāt ini dan mendapatkan keduanya dalam prioritas-prioritas kita agar kita tidak tergolong dari orang-orang munafik.

⑵ Meninggalkan dusta

Ketika kita berpuasa, benar kita tidak menelan sesuatu, kita tidak melakukan hubungan badan, tetapi keluar dari lisan kita adalah perkataan-perkataan dusta.

Padahal Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan:

وَإِيَّاكُمْ وَالكَذِبَ فَإِنَّ الكَذِبَ يَهِدِى إِلىَ الفُجُوْرِ وَإِنَّ الفُجُوْرَ يَهْدِي إِلىَ النَّارِ

_”Jauhilah kalian perkara-perkara dusta, karena perkataan dusta akan mengantarkan pelakunya kepada keburukan dan keburukan akan mengantarkan pelakunya kepada Neraka.”_

Na’ūdzubillāhi min dzālik.

Ketika seseorang masih saja dia melakukan perbuatan dustanya, bahkan dia terus dan tidak bisa meninggalkannya maka dicatat sebagaimana dalam hadīts:

حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا.

_”Sampai Allāh tetapkan bahwa ia sebagai seorang pendusta.”_

Berikutnya adab yang perlu ditekankan dan ini hukumnya wajib selain menjaga diri dari sifat dusta dia juga menjauhkan diri lisannya ghibah.

⑶ Ghibah

Ghibah adalah membicarakan orang lain atas hal yang tidak diinginkan oleh saudara kita tersebut.

Ghibah ini adalah sesuatu yang sangat berat sekali syari’at Islām memandangnya.

Ada sebuah kisah dan sebuah hadīts yang menarik yakni ketika malāikat Jibrīl alayhissalām mengatakan kepada Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam ketika proses Isra’ dan Mi’raj.

Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam melihat seseorang yang mencakar-cakar wajahnya, kemudian Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam bertanya kepada malāikat Jibrīl alayhissalām:

“Siapakah mereka?”

Jibrīl alayhissalām mengatakan:

هؤلاءِ الذينَ يأكلونَ لُحُومَ الناسِ ، ويَقَعُونَ في أَعْرَاضِهِمْ

_”Mereka itu adalah orang-orang yang memakan daging manusia dan mencelakakan harga diri mereka.”_

Ikhwātal Iman Ahabakumullāh.

Poin berikutnya yang tidak boleh dilupakan adalah,

⑷ Bagaimana orang yang berpuasa dia tetap menjaga agar semua anggota tubuhnya baik itu pendengaran, penglihatannya tetap berada di jalan yang Allāh tetapkan kehalalannya.

Jangan sampai dia berpuasa namun telinganya mendengar atau menikmati ghibah dari tetangganya.

Jangan sampai ketika ia puasa matanya justru menikmati hal-hal yang haram. Na’ūdzu billāhi wal’iyadzubillāh.

Ini yang bisa kita sampaikan pada kesempatan kali ini.

اخركلم واخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
ثم السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

____________________

image_pdfimage_print

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top