Kitab: صفة الصوم النبي ﷺ في رمضان (Shifatu Shaum Nabi ﷺ Fī Ramadhān)
Penulis: Syaikh Salim bin Ied Al Hilali حفظه ﺍﻟﻠﻪ تعالى dan Syaikh Ali Hasan bin Abdul Hamid حفظه ﺍﻟﻠﻪ تعالى
Halaqah 01: Keutamaan Puasa
Halaqah 02: Keutamaan Bulan Ramadhān
Halaqah 03: Menyambut Bulan Ramadhān
Halaqah 04: Niat Puasa Ramadhān
Halaqah 05: Waktu Puasa
Halaqah 06: Sahur
Halaqah 07: Hal-hal Yang Wajib Ditinggalkan oleh Orang Yang Berpuasa Ramadhān
Halaqah 08: Hal-hal Yang Boleh Dilakukan oleh Orang Yang Berpuasa
Halaqah 09: Orang-orang Yang Diberikan Rukhshah atau Kemudahan Untuk Tidak Berpuasa
Halaqah 10: Berbuka Puasa
Halaqah 11: Hal-hal yang Membatalkan Puasa
Halaqah 12: Shalat Tarawih
Halaqah 13: Qadha Puasa
Halaqah 14: Kafarah dan Fidyah
Halaqah 15 : Beberapa Hadīts Dhaif Yang Sering Disampaikan Di Bulan Ramadhān
MUQADDIMAH
Pengantar
Muqaddimah Cetakan Kedua
Muqaddimah Cetakan Pertama
KEUTAMAAN PUASA
- Puasa adalah Perisai (Pelindung)
- Puasa Bisa Memasukkan Hamba Ke Surga
- Pahala Orang Puasa Tidak Terbatas
- Orang Puasa Punya Dua Kegembiraan
- Bau Mulut Orang Yang Puasa Lebih Wangi dari Baunya Misk
- Puasa dan Al-Qur’an Akan Memberi Syafa’at Kepada Ahlinya di hari Kiamat
- Puasa Sebagai Kafarat
- Rayyan Bagi Orang-orang yang Puasa
KEUTAMAAN BULAN RAMADHAN
- Bulan Al-Qur’an
- Dibelengunya Syaithan, Ditutupnya Pintu-Pintu Neraka dan Dibukanya Pintu-Pintu Surga Ke Surga
- Malam Lailatul Qadar
WAJIBNYA PUASA RAMADHAN
MOTIVASI MENGERJAKAN PUASA RAMADHAN
- Pengampunan Dosa
- Dikabulkannya Do’a dan Pembebasan Api Neraka
- Orang yang Puasa Termasuk Shidiqin dan Syuhada
ANCAMAN BAGI ORANG YANG MEMBATALKAN PUASA RAMADHAN DENGAN SENGAJA
HUKUM-HUKUM PUASA
MENYAMBUT BULAN RAMADHAN
- Menghitung Hari Bulan Sya’ban
- Barangsiapa yang Berpuasa Hari Syak, Berarti (ia) Telah Durhaka Kepada Abul Qasim صلي الله عليه وسلم
- Jika Seorang Muslim Telah Melihat Hilal Hendaknya Kaum Muslimin Berpuasa atau Berbuka
NIAT
- Wajibnya Niat Puasa Sebelum Terbit Fajar
- Kemampuan Adalah Dasar Pembebanan Syari’at
- Perbedaan Pendapat Sebagian Ulama
WAKTU PUASA
- Benang Putih dan Benang Hitam
- Dua Macam Fajar
- Menyempurnakan Puasa Hingga Malam Hari
SAHUR
- Hikmahnya
- Keutamaannya
- Mengakhirkan Sahur
- Hukumnya
YANG WAJIB DIJAUHI ORANG YANG BERPUASA
- Perkataan Palsu
- Perbuatan Sia-Sia Dan Kotor
YANG BOLEH DILAKUKAN ORANG YANG BERPUASA
- Memasuki Waktu Subuh Dalam Keadaan Junub
- Bersiwak
- Berkumur dan Istinsyaq
- Bercengkrama dan Mencium Isteri
- Mengeluarkan Darah dan Suntikan yang Tidak Mengandung Makanan
- Berbekam
- Mencicipi Makanan
- Bercelak, Memakai Tetes Mata dan Lainnya yang Masuk Ke Mata
- Mengguyurkan Air Ke Atas Kepala dan Mandi
ALLAH MENGHENDAKI KEMUDAHAN DAN TIDAK MENGHENDAKI KESUKARAN BAGIMU
- Musafir
Peringatan
- Orang Sakit
- Wanita Haid dan Nifas
- Kakek dan Nenek Yang Sudah Lanjut Usia
- Wanita Hamil dan Menyusui
BERBUKA PUASA
- Kapan Orang yang Puasa Berbuka ?
- Menyegerakan Berbuka
- Berbuka Dengan Apa ?
- Yang Diucapkan Ketika Berbuka
- Memberi Makan Orang yang Puasa
PERKARA-PERKARA YANG MEMBATALKAN PUASA
- Makan dan Minum Dengan Sengaja
- Muntah Dengan Sengaja
- Haidh dan Nifas
- Suntikan yang Mengandung Makanan
- Jima’
QADHA PUASA
- Qadha’ Tidak Wajib Segera Dilakukan
- Tidak Wajib Berturut-Turut Dalam Mengqadha’
- Tidak Ada Qhadha Bila Tidak Mampu Puasa
- Wali Mengqhadha Puasa Nazdar
KAFFARAT (DENDA)
FIDYAH
- Bagi Siapa Fidyah Itu ?
- Penjelasan Ibnu Abbas
- Yang Benar Ayat Tersebut (Al-Baqarah: 185) Mansukh
- Ayat Tersebut Bersifat Umum
- Hadits Ibnu Abbas dan Muadz Hanya Ijtihad ?
- Wanita Hamil dan Menyusui Gugur Puasanya
- Musafir Gugur Puasanya dan Wajib Mengqadha’
LAILATUL QADAR
- Keutamaan Malam Lailatul Qadar
- Waktu Lilatul Qadar
- Bagaimana Mencari Malam Lailatul Qadar!?
- Tanda-Tandanya
I’ T I K A F
- Hikmahnya
- Pengertian I’tikaf
- Disyari’atkannya I’tikaf
- Syarat-Syarat I’tikaf
- Perkara-Perkara yang Boleh Dilakukan Orang yang Sedang I’tikaf
- I’tikafnya Wanita Dan Kunjungannya Ke Masjid
SHALAT TARAWIH
- Pensyari’atan Shalat Tarawih
- Jumlah Raka’atnya
ZAKAT FITHRI
- Hukum Zakat Fithri
- Siapa yang Wajib Zakat Fithri?
- Jenis Makanan untuk Zakat Fithri
- Ukuran Zakat Fithri
- Siapakah yang Harus Dibayar Zakatnya?
- Kemana Zakat Fithri Disalurkan
- Waktu Penunaian Zakat Fithri
- Hikmah Zakat Fithri
HADITS-HADITS DHA’IF YANG TERSEBAR SEPUTAR RAMADHAN
- Pertama
- Kedua
- Ketiga
- Keempat
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
BIOGRAFI SYAIKH SALIM BIN ‘IED AL-HILALI
BIOGRAFI SYAIKH ‘ALI HASAN ‘ALI ‘ABDUL HAMID AL-HALABI
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, shalawat dan salam semoga tercurah kepada sayyid para Rasul, kepada keluarganya dan seluruh sahabatnya. Amma ba’du.
Buku ini -wahai saudaraku para penuntut ilmu- adalah cetakan terbaru dari kitab kami Sifat Shaumin Nabi ﷺ fii Ramadhan. Kami persembahkan pada kalian dengan bentuk yang bagus yang berisi faedah-faedah tambahan dan masalah-masalah yang ringan. Mudah-mudahan Allah menuliskan pahala dan manfaat bagi kami dengan mengarang kitab ini. Dalam cetakan kali ini, kami berpikir untuk mentakhrij kembali hadits-hadits dalam kitab ini dengan takhrij manhaji ilmi yang dilakukan sesuai dengan kaidah-kaidah dan aturan-aturan yang telah diwariskan para imam dan ulama kita Rahimahullah.
Sebagai tambahan kami ingin katakan: Dalam cetakan yang pertama dari kitab ini terdapat beberapa kekeliruan dan kesalahan, kali ini kami telah berusaha keras untuk menjauhinya, dengan mengingat yang benar dan yang haq, Insya Allah seraya memohon ampunan kepada-Nya atas apa yang telah kami lakukan.
Kami ulangi sekarang apa yang selalu kami ucapkan: Semua kitab selain Al-Qur’an, mempunyai celah untuk dikritik, disalahkan dan dibenarkan. Barangsiapa yang melihat kesalahan pena sekecil apapun, atau kesalahan paham hendaknya membenarkan dan meluruskan. Hati kami lapang dan telinga-telinga kami bersedia untuk menerimanya.
Dua Penulis
Lima hari terakhir dari bulan Rabi’ul Tsani 1409H
MUQADDIMAH CETAKAN PERTAMA
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Segala puji bagi Allah, kita memuji, minta pertolongan dan minta ampun kepadaNya. Akupun minta perlindungan dariNya dari kejelekan jiwa-jiwa dan amalan-amalan kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah tidak ada yang bisa menyesatkannya, dan barangsiapa yang disesatkan Allah tidak ada yang bisa memberikannya petunjuk. Aku bersaksi tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah tidak ada sekutu bagiNya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad ﷺ adalah hamba dan utusanNya. Amma ba’du.
Wahai saudaraku mudah-mudahan Allah mengumpulkan kita termasuk orang-orang yang mencintaiNya dan mengikuti sunnah RasulNya -akan jelas bagi kita kedudukan puasa dalam Islam dan pahala, keutamaan dan kemuliaan yang akan didapat oleh orang yang puasa karena mengharapkan wajah Allah. Bahwa keutamaan tersebut berbeda-beda besar kecilnya sesuai dengan dekat atau jauhnya orang yang puasa dari sunnah Rasulullah ﷺ, sebagaimana telah diriwayatkan oleh Nabi Muhammad ﷺ:
رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ وَالْعَطَشُ
“Berapa banyak orang yang berpuasa hanya mendapatkan rasa lapar dan haus dari puasanya” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Lainnya)
Oleh karena itu mengetahui sifat-sifat puasa Nabi merupakan satu hal yang harus dilakukan oleh kebanyakan orang, maka kami punya pandangan untuk menyusun satu kitab yang mencakup seluruh masalah yang berkaitan dengan sifat puasa Nabi ﷺ di bulan Ramadhan, untuk seluruh kaum muslimin yang tidak pernah mendahulukan pendapat manusia di atas perkataan Allah dan RasulNya. Kami telah mempelajari ayat-ayat dan hadits-hadits shahih tentang puasa, maka kami dapatkan bahwa puasa itu ada dua macam.
- Puasa yang wajib
- Puasa tathtawwu’ (sunnah)
Kami minta pertolongan kepada Allah, kemudian kami tulis kitab yang berkenaan dengan puasa wajib, karena seorang muslim tidak bisa bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah melebihi taqarrubnya dengan melakukan kewajiban-kewajiban yang Allah wajibkan atasnya sebagaimana dalam hadits tentang wali yang diriwayatkan oleh Bukhari.
Dan kami mendapatkan ide dalam menyusun kitab dan bab-babnya, setelah melalui beberapa kali puasa wajib dan juga melihat kenyataan amalan sehari-hari.
Kebenaran dan kebaikan yang kalian dapatkan dalam kitab ini datangnya dari Allah, adapun yang berupa kesalahan datangnya dari syaithan, dan kami berlepas diri dari kesalahan tersebut ketika kami masih hidup ataupun ketika sudah mati. Kami minta kepada Allah taufik dan istiqomah dalam berkata dan beramal. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Mengabulkan (do’a).
Ditulis oleh Dua Penuntut Ilmu Syar’i
Salim bin ‘Ied al-Hilaaly
‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid
25 Ramadhan 1403H
Banyak sekali ayat yang tegas dan muhkam (qath’i/ jelas dan tegas) dalam Kitabullah yang mulia, memberikan anjuran untuk puasa sebagai sarana untuk taqarrub kepada Allāh ﷻ dan juga menjelaskan keutamaan-keutamaannya, seperti firman Allāh ﷻ.
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيراً وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْراً عَظِيماً
“Sesungguhnya kaum muslimin dan muslimat, kaum mukminin dan mukminat, kaum pria yang patuh dan kaum wanita yang patuh, dan kaum pria serta wanita yang benar (imannya) dan kaum pria serta kaum wanita yang sabar (ketaatannya), dan kaum pria serta wanita yang khusyu’, dan kaum pria serta wanita yang bersedekah, dan kaum pria serta wanita yan berpuasa, dan kaum pria dan wanita yang menjaga kehormatannya (syahwat birahinya), dan kaum pria serta wanita yang banyak mengingat Allah, Allah menyediakan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar” (QS. A-Ahzab/33: 35)
Dan firman Allah Jalla Sya’nuhu:
وَأَن تَصُومُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan kalau kalian puasa, itu lebih baik bagi kalian kalau kalian mengetahuinya” (QS. Al-Baqarah/2: 184)
Rasulullah ﷺ telah menjelaskan dalam hadits yang shahih bahwa puasa adalah benteng dari syahwat, perisai dari neraka. Allah Tabaraka wa Ta’ala telah mengkhususkan satu pintu surga untuk orang yang puasa. Puasa bisa memutuskan jiwa dari syahwatnya, menahannya dari kebiasaan-kebiasaan yang jelek, hingga jadilah jiwa yang tenang. Inilah pahala yang besar, keutamaan yang agung; dijelaskan secara rinci dalam hadits-hadits shahih berikut ini, dijelaskan dengan penjelasan yang sempurna.
1. Puasa adalah Perisai (Pelindung)
Rasulullah ﷺ menyuruh orang yang sudah kuat syahwatnya dan belum mampu untuk menikah agar berpuasa, menjadikannya sebagai wijaa’1 bagi syahwat ini, karena puasa menahan kuatnya anggota badan hingga bisa terkontrol, menenangkan seluruh anggota badan, serta seluruh kekuatan (yang jelek) ditahan hingga bisa taat dan dibelenggu dengan belenggu puasa. Telah jelas bahwa puasa memiliki pengaruh yang menakjubkan dalam menjaga anggota badan yang dhahir dan kekuatan bathin.
Oleh karena itu Rasulullah ﷺ bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu ba’ah2 hendaklah menikah, karena menikah lebih menundukkan pandangan, dan lebih menjaga kehormatan. Barangsiapa yang belum mampu menikah, hendaklah puasa karena puasa merupakan wijaa’ (pemutus syahwat) baginya” (HR. Bukhari 4/106 dan Muslim no. 1400 dari Ibnu Mas’ud)
Rasulullah ﷺ telah menjelaskan bahwa surga diliputi dengan perkara-perkara yang tidak disenangi, dan neraka diliputi dengan syahwat. Jika telah jelas demikian -wahai muslim- sesungguhnya puasa itu menghancurkan syahwat, mematahkan tajamnya syahwat yang bisa mendekatkan seorang hamba ke neraka, puasa menghalangi orang yang puasa dari neraka. Oleh karena itu banyak hadits yang menegaskan bahwa puasa adalah benteng dari neraka, dan perisai yang menghalangi seseorang dari neraka.
Bersabda Rasulullah ﷺ:
مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُومُ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا بَاعَدَ اللَّهُ بِذَلِكَ الْيَوْمِ وَجْهَهُ عَنْ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا
“Tidaklah seorang hamba yang puasa di jalan Allah kecuali akan Allah jauhkan dia (karena puasanya) dari neraka sejauh tujuh puluh musim”3
Rasulullah ﷺ bersabda:
صِّيَامُ جُنَّةٌ يَسْتَجِنُّ بِهَا الْعَبْدُ مِنْ النَّارِ
“Puasa adalah perisai, seorang hamba berperisai dengannya dari api neraka”4
Dan Rasulullah ﷺ bersabda.
مَنْ صَامَ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ جَعَلَ اللَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّارِ خَنْدَقًا كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
“Barangsiapa yang berpuasa sehari di jalan Allah maka di antara dia dan neraka ada parit yang luasnya seperti antara langit dengan bumi”5
Sebagian ahlul ilmi telah memahami bahwa hadits-hadits tersebut merupakan penjelasan tentang keutamaan puasa ketika jihad dan berperang di jalan Allah. Namun dhahir hadits ini mencakup semua puasa jika dilakukan dengan ikhlas karena mengharapkan wajah Allah Ta’ala, sesuai dengan apa yang dijelaskan Rasulullah ﷺ termasuk puasa di jalan Allah (seperti yang disebutkan dalam hadits ini).
____________________
- Maksudnya memutuskan syahwat jiwa
- Yang mampu menikah dengan berbagai persiapannya
- HR. Bukhari 6/35, Muslim 1153 dari Abu Sa’id Al-Khudry, ini adalah lafadz Muslim. Sabda Rasulullah : “Sab’iina khariifan” yakni : perjalanan sejauh 70 tahun, demikian dikatakan dalam Fathul Bari 6/48
- HR. Ahmad 3/241, 3/296 dari Jabir, Ahmad 4/22 dan Utsman bin Abil ‘Ash. Ini adalah hadits yang shahih
- Dikeluarkan oleh Tirmidzi no. 1624 dari hadits Abi Umamah, dan di dalam sanadnya ada kelemahan. Al-Walid bin Jamil, dia jujur tetapi sering salah, akan tetapi dia dapat diterima. Dan dikeluarkan pula oleh At-Thabrani di dalam Al-Kabir 8/260,274, 280 dari dua jalan dari Al-Qasim dari Abi Umamah. Dan terdapat pula pada bab yang sama dari Abi Darda’, dikeluarkan oleh Ath-Thabrani di dalam Ash-Shagir 1/273 di dalamnya terdapat kelemahan. Sehingga hadits ini SHAHIH
____________________
2. Puasa Bisa Memasukkan Hamba Ke Surga
Engkau telah tahu wahai hamba yang taat -mudah-mudahan Allah memberimu taufik untuk mentaati-Nya, menguatkanmu dengan ruh dari-Nya- bahwa puasa dapat menjauhkan pelakunya dari neraka. Itu berarti, puasa juga mendekatkan ke surga. Dari Abu Umamah رضي الله عنه katanya, “Aku berkata (kepada Rasulullah ﷺ):
عَلَيْكَ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَا مِثْلَ لَهُ
“Wahai Rasulullah, tunjukkan padaku suatu amalan yang bisa memasukkanku ke surga?; beliau menjawab: “Atasmu puasa, tidak ada (amalan) yang semisal dengan itu”. (HR. Nasa’i 4/165, Ibnu Hibban hal. 232 Mawarid, Al-Hakim 1/421, sanadnya Shahih)
3. Pahala Orang Puasa Tidak Terbatas
4. Orang Puasa Punya Dua Kegembiraan
5. Bau Mulut Orang Yang Puasa Lebih Wangi dari Baunya Misk 1
Dari Abu Hurairah رضي الله عنه, (bahwasanya) Rasulullah ﷺ bersabda: Allāh ﷻ berfirman:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ وَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ
“Semua amalan bani Adam untuknya kecuali puasa2 , karena puasa itu untuk-Ku dan Aku akan membalasnya, puasa adalah perisai, jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa janganlah berkata keji dan berteriak-teriak, jika ada orang yang mencercanya atau memeranginya, maka ucapkanlah : ‘Aku sedang berpuasa’3. Demi dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, sesunguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah daripada bau misk4 orang yang puasa mempunyai dua kegembiraan, jika berbuka mereka gembira, jika bertemu Rabbnya mereka gembira karena puasa yang dilakukannya” (Bukhari 4/88, Muslim no. 1151, Lafadz ini bagi Bukhari)
Di dalam riwayat Bukhari (disebutkan):
يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي الصِّيَامُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا
“Meninggalkan makan, minum dan syahwatnya karena puasa untuk-Ku, dan Aku yang akan membalasnya, kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat yang semisal dengannya”
Di dalam riwayat Muslim:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ بِعَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ وَلَخُلُوفُ فِمِ الصَّاؤِمِ عِنْدَ اللهِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ
“Semua amalan bani Adam akan dilipatgandakan, kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat yang semisal dengannya, sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman: “Kecuali puasa, karena puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya, dia (bani Adam) meninggalkan syahwatnya dan makanannya karena Aku” Bagi orang yang puasa ada dua kegembiraan; gembira ketika berbuka dan gembira ketika bertemu Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang puasa di sisi Allah adalah lebih wangi daripada bau Misk”
____________________
- Untuk poin 3, 4 dan 5 telah tercakup dalam hadits dipoin 5.
- Yakni : Baginya pahala yang terbatas, kecuali puasa karena pahalanya tidak terbatas
- Dengan ucapan yang terdengar oleh si pencerca atau orang yang mengganggu tersebut, ada yang mengatakan : diucapkan di dalam hatinya agar tidak saling mencela dan saling memerangi. Yang pertama lebih kuat dan lebih jelas, karena ucapan secara mutlak adalah dengan lisan, adapun bisikan jiwa dibatasi oleh sabda Rasulullah ﷺ seperti yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah : “Sesunguhnya Allah memaafkan bagi umatku apa yang terbetik dalam hatinya selama belum diucapkan atau diamalkannya” (Muttafaqun ‘alaih). Maka jelaslah bahwa ucapan itu mutlak tidak terjadi kecuali oleh ucapan yang dapat dididengar dengan suara yang terucap dan huruf. Walallahu a’lam.
- Lihat apa yang telah ditulis oleh Ibnul Qayyim dalam Al-Wabilush Shayyib minal Kalamith Thayyib hal.22-38
____________________
6. Puasa dan Al-Qur’an Akan Memberi Syafa’at Kepada Ahlinya di hari Kiamat
Rasulullah ﷺ bersabda:
اَلصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَقُولُ الصِّيَامُ أَيْ رَبِّ مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهَوَةَ فَشَفِّعْنِي فِيهِ وَيَقُولُ الْقُرْآنُ مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ قَالَ فَيُشَفَّعَانِ
“Puasa dan Al-Qur’an akan memberikan syafaat kepada hamba di hari Kiamat, puasa akan berkata : “Wahai Rabbku, aku akan menghalanginya dari makan dan syahwat, maka berilah dia syafa’at karenaku”. Al-Qur’an pun berkata : “Aku telah menghalanginya dari tidur di malam hari, maka berilah dia syafa’at karenaku” Rasulullah ﷺ bersabda: Maka keduanya akan memberi syafa’at”1
____________________
- Diriwayatkan oleh Ahmad 6626, Hakim 1/554, Abu Nu’aim 8/161 dari jalan Huyaiy bin Abdullah dari Abdurrahman Al-hubuli dari Abdullah bin ‘Amr, dan sanadnya hasan. Al-Haitsami berkata di dalam Majmu’ Zawaid 3/181 setelah menambah penisbatannya kepada Thabrani dalam Al-Kabir : “Dan perawinya adalah perawi shahih”
Faedah: Hadits ini dan yang semisalnya dari hadits-hadits yang telah warid yang menyatakan bahwa amalan itu berjasad, wajib diimani dengan keimanan yang kuat tanpa mentahrif atau mentakwilnya, karena demikianlah manhajnya salafus shalih, dan jalannya mereka tidak diragukan lebih selamat, lebih alim dan bijaksana (tepat). Cukuplah bagimu bahwa itu adalah salah satu syarat iman. Allah Ta’ala berfirman:
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ
“(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugrahkan kepada mereka” (QS. Al-Baqarah/2: 3)
____________________
7. Puasa Sebagai Kafarat
Diantara keistimewaan puasa yang tidak ada dalam amalan lain adalah ; Allah menjadikannya sebagai kafarat bagi orang yang memotong rambut kepalanya (ketika haji) karena ada udzur sakit atau penyakit di kepalanya, kaparat bagi yang tidak mampu memberi kurban, kafarat bagi pembunuh orang kafir yang punya perjanjian karena membatalkan sumpah, atau yang membunuh binatang buruan di tanah haram dan sebagai kafarat zhihar. Akan jelas bagimu dalam ayat-ayat berikut ini.
Allah Ta’ala berfirman:
وَأَتِمُّواْ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلّهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ وَلاَ تَحْلِقُواْ رُؤُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضاً أَوْ بِهِ أَذًى مِّن رَّأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِّن صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ فَإِذَا أَمِنتُمْ فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ذَلِكَ لِمَن لَّمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan sempurnkanlah olehmu ibadah haji dan umrah karena Allah ; maka jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau sakit), maka wajib menyembelih kurban yang mudah didapat. Dan janganlah kamu mencukur rambut kepalamu, hingga kurban itu sampai ke tempat penyembelihannya. Jika ada diantaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercu kur), maka wajib atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah di dapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluargannya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Makkah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya” (QS. Al-Baqarah/2: 196)
Allah Ta’ala juga berfirman.
وَإِن كَانَ مِن قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِّيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةً فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِّنَ اللّهِ وَكَانَ اللّهُ عَلِيماً حَكِيماً
“Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. (QS. An-Nisaa’/4: 92)
Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana berfirman:
لاَ يُؤَاخِذُكُمُ اللّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَـكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ الأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُواْ أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah kamu yang kamu sengaja, maka kafarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kafaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kafarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya)” (QS. Al-Maidah/5: 89)
Dia yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana juga berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقْتُلُواْ الصَّيْدَ وَأَنتُمْ حُرُمٌ وَمَن قَتَلَهُ مِنكُم مُّتَعَمِّداً فَجَزَاء مِّثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِّنكُمْ هَدْياً بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَو عَدْلُ ذَلِكَ صِيَاماً لِّيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ عَفَا اللّهُ عَمَّا سَلَف وَمَنْ عَادَ فَيَنتَقِمُ اللّهُ مِنْهُ وَاللّهُ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan , ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai had-yad yang dibawa sampai ke Ka’bah atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu , supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa” (QS. Al-Maidah/5: 95)
Selanjutnya, Allah yang Mahalembut lagi Mahamengetahui berfirman:
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِن نِّسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِّن قَبْلِ أَن يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ. فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِن قَبْلِ أَن يَتَمَاسَّا فَمَن لَّمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِيناً ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Orang-orang yang menzhihar isteri mereka kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajib atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih” (QS. Al-Mujaadilah/58: 3-4)
Demikian pula, puasa dan shadaqah bisa menghapuskan fitnah seorang pria dari harta, keluarga dan anaknya.
Dari Hudzaifah Ibnul Yaman رضي الله عنه, Rasulullah ﷺ bersabda:
فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِي أَهْلِهِ وَوَلَدِهِ وَجَارِهِ تُكَفِّرُهَا الصَّلَاةُ وَالصَّدَقَةُ
“Fitnah pria dalam keluarga (isteri), harta dan tetangganya, bisa dihapuskan oleh shalat, puasa dan shadaqah” (HR. Bukhari 2/7, Muslim 144)
____________________
8. Rayyan Bagi Orang-orang yang Puasa
Dari Sahl bin Sa’ad رضي الله عنه, dari Nabi صلي الله عليه وسلم (bahwa beliau) bersabda:
إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ فَإِذَا دَخَلُوا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ فَإِذَا دَخَلَ آخِرُهُمْ أُغْلِقَ وَمَنْ دَخَلَ شَرِبَ وَمَنْ شَرِبَ لَمْ يَظْمَأْ أَبَدًا
“Sesungguhnya dalam surga ada satu pintu yang disebut dengan Rayyan, orang-orang yang puasa akan masuk di hari kiamat nanti dari pintu tersebut, tidak ada orang selain mereka yang memasukinya. Jika telah masuk orang terakhir yang puasa ditutuplah pintu tersebut. Barangsiapa yang masuk akan minum, dan barangsiapa yang minum tidak akan merasa haus untuk selamanya” (HR. Bukhari 4/95, Muslim 1152, dan tambahan lafadz yang akhir ada pada riwayat Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya 1903)
Ramadhan adalah bulan penuh kebaikan dan berkah yang dilimpahkan oleh Allāh ﷻ disertai dengan berbagai keutamaan yang sangat banyak. Sebagaimana dalam penjelasan berikut ini:
1. Bulan Al-Qur’an
Allah menurunkan kitab-Nya yang mulia sebagai petunjuk bagi manusia, obat bagi kaum mukminin, membimbing kepada yang lebih lurus, menjelaskan jalan petunjuk. (Al-Qur’an) diturunkan pada malam Lailatul Qadar, suatu malam di bulan Ramadhan yang penuh kebaikan. Allāh ﷻ, pemilik ‘Arsy yang mulia berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَن كَانَ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ اللّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya, dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur” (QS. Al-Baqarah/2: 185)
Ketahuilah saudaraku -mudah-mudahan Allah meberkatimu- sesungguhnya sifat bulan Ramadhan adalah sebagai bulan yang diturunkan padanya Al-Qur’an, dan kalimat sesudahnya dengan huruf (fa) yang menyatakan illat dan sebab:
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Barangsiapa yang melihatnya hendaklah berpuasa”
Memberikan isyarat illat (penjelas sebab) yakni sebab dipilihnya Ramadhan adalah karena bulan tersebut adalah bulan yang diturunkan padanya Al-Qur’an.
2. Dibelenggunya Syaithan, Ditutupnya Pintu-Pintu Neraka dan Dibukanya Pintu-Pintu Surga
Pada bulan ini kejelekan menjadi sedikit, karena dibelenggu dan diikatnya jin-jin jahat dengan salasil (rantai), belenggu dan ashfad. Mereka tidak bisa bebas merusak manusia sebagaimana bebasnya di bulan yang lain, karena kaum muslimin sibuk dengan puasa hingga hancurlah syahwat, dan juga karena bacaan Al-Qur’an serta seluruh ibadah yang mendidik dan mebersihkan jiwa. Allah Rabbul ‘Izzati berfirman:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa” (QS. Al-Baqarah/2: 183)
Maka dari itu ditutupnya pintu-pintu jahannam dan dibukanya pintu-pintu surga, (disebabkan) karena (pada bulan itu) amal-amal shaleh banyak dilakukan dan ucapan-ucapan yang baik berlimpah ruah (yakni ucapan-ucapan yang mengandung kebaikan banyak dilafadzkan oleh kaum mukminin-ed).
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتْ الشَّيَاطِينُ
“Jika datang bulan Ramadhan, maka dibukalah pintu-pintu surga [dalam riwayat Muslim : ‘Dibukalah pintu-pintu rahmat”] dan ditutup pintu-pintu neraka dan dibelenggu syetan” (HR. Bukhari 4/97 dan Muslim 1079)
Semuanya itu sempurna di awal bulan Ramadhan yang diberkahi, berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ:
إِذَا كَانَتْ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ صُفِّدَتْ الشَّيَاطِينُ وَمَرَدَةُ الْجِنِّ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ فَلَمْ يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ وَفُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ فَلَمْ يُغْلَقْ مِنْهَا بَابٌ وَيُنَادِي مُنَادٍ يَا بَاغِيَ الْخَيْرِ أَقْبِلْ وَيَا بَاغِيَ الشَّرِّ أَقْصِرْ وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنْ النَّارِ وَذَلِكَ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ
“Jika telah datang awal malam bulan Ramadhan, diikatlah para syetan dan jin-jin yang jahat, ditutup pintu-pintu neraka, tidak ada satu pintu-pintu yang dibuka dan dibukalah pintu-pintu surga, tidak ada satu pintu-pun yang tertutup, berseru seorang penyeru ; “Wahai orang yang ingin kebaikan lakukanlah, wahai orang yang ingin kejelekan kurangilah. Dan bagi Allah mempunyai orang-orang yang dibebaskan dari neraka, itu terjadi pada setiap malam” (HR. Tirmidzi 682 dan Ibnu Khuzaimah 3/188 dari jalan Abi Bakar bin Ayyasy dari Al-A’masy dari Abu Hurairah. Dan sanad hadits ini Hasan)
3. Malam Lailatul Qadar
Engkau telah mengetahui, wahai hamba yang mukmin bahwa Allāh ﷻ memilih bulan Ramadhan karena diturunkan padanya Al-Qur’an, dan mungkin untuk mengetahui hal ini dibantu qiyas dengan berbagai cara, diantaranya.
- Hari yang paling mulia di sisi Allah adalah pada bulan diturunkannya Al-Qur’an hingga harus dikhususkan dengan berbagai macam amalan. Hal ini akan dijelaskan secara terperinci dalam pembahasan malam Lailatul Qadar, Insya Allah.
- Sesungguhnya jika satu nikmat dicapai oleh kaum muslimin, mengharuskan adanya tambahan amal sebagai wujud dari rasa syukur kepada Allah. Hal ini berdasarkan firman Allah setelah menceritakan sempurnanya nikmat bulan Ramadhan.
وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ اللّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya, dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur” (Al-Baqarah/2: 185)
Begitu pula firman Allah Tabaraka wa Ta’ala setelah selesai (menyebutkan) nikmat haji:
فَإِذَا قَضَيْتُم مَّنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُواْ اللّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْراً
“Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah (dengan menyebut) Allah. Sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikir lebih banyak dari itu” (QS. Al-Baqarah/2 : 200).
1. Barangsiapa Berbuat Kebajikan Dengan Kerelaan Hati, Maka itu Lebih Baik Baginya
Karena keutamaan-keutamaan di atas, maka Allah mewajibkan kaum muslimin (untuk melakukan ibadah) puasa Ramadhan, karena puasa memutuskan jiwa dari syahwatnya dan menghalangi dari apa yang biasa dilakukan. (Puasa Ramadhan) termasuk perkara yang paling sulit, karena itu kewajibannya-pun diundur sampai tahun kedua hijriyah, setelah hati kaum muslimin kokoh dalam bertauhid dan dalam mengangungkan syiar-syiar Allah, maka Allah membimbing mereka untuk melakukan puasa dengan bertahap. Pada awalnya mereka diberikan pilihan untuk berbuka atau puasa serta diberi semangat untuk puasa, karena puasa masih terasa berat bagi para shahabat -semoga Allah meridhai mereka semuanya-. Barangsiapa yang ingin berbuka kemudian membayar fidyah diperbolehkan, Allah berfirman:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْراً فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ وَأَن تَصُومُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan , maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah/2: 184)
2. Barangsiapa yang Mendapatkan Bulan Ramadhan, Hendaknya Berpuasa
Kemudian turunlah kelanjutan ayat tersebut yang menghapuskan hukum di atas, hal ini dikhabarkan oleh dua orang sahabat yang mulia : Abdullah bin Umar dan Salamah bin Al-Akwa’ رضى الله عنهما, keduanya berkata: “Kemudian ayat tersebut di-nasakh (dihapus) oleh ayat berikut ini:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَن كَانَ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ اللّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya, dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur” (QS. Al-Baqarah/2: 185)1
Dan dari Ibnu Abi Laila, dia berkata: “Sahabat Muhammad ﷺ telah menyampaikan kepada kami:
نَزَلَ رَمَضَانَ فَشَقَّ عَلَيْهِم، فَكَانَ مَنْ أَطْعَمَ كُلَّ يَومٍ مِسْكِيْنًا تَرَكَ الصَّوْمَ مِـمَّنْ يُطِيْقُهُ، وَرُخِّصَ لَهُمْ فِي ذَلِكَ، فَنَسَخَتْهَا: وَأَن تَصُومُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ، فَأُمِرُوا بِالضَّوْمِ
“Ketika turun kewajiban puasa Ramadhan terasa memberatkan mereka (para sahabat), maka barangsiapa yang tidak mampu diperbolehkan meninggalkan puasa dan memberi makan seorang miskin sebagai keringanan bagi mereka, kemudian hukum ini dihapus oleh ayat: “Berpuasa itu labih baik bagi kalian”, akhirnya mereka disuruh berpuasa”2
Sejak itu jadilah puasa salah satu simpanan Islam dan menjadi salah satu rukun agama berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ:
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامُ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءُ الزَّكَاةِ وَحَجُّ الْبَيْتِ وَصَوْمُ رَمَضَانَ
“Islam dibangun atas lima perkara : Syahadat an la ilaha illallah wa anna Muhamamad rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat dan naik haji ke Baitul Haram serta puasa Ramadhan” (HR. Bukhari 1/47, Muslim 16 dari Ibnu Umar).
____________________
- Hadits dari Ibnu Umar dikeluarkan oleh Bukhari 4/188, dan hadits dari Salamah dikeluarkan oleh Bukhari 8/181, Muslim 1145
- Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq (8/181 -Fath), dimausulkan oleh Baihaqi dalam Sunan 4/200, sanadnya Hasan. Diriwayatkan pula -dengan lafadz yang hampir sama namun panjang- oleh Abu Dawud no. 507 dari jalan lain dengan sanad yang Hasan sebagai syawahid. Juga diriwayatkan oleh Abu Nuaim dalam Al-Mustakhraj sebagaimana dalam Taghliqut Ta’liq 3/185 dari jalan yang ketiga dengan sanad yang hasan juga.
- Pengampunan Dosa
Allah dan Rasul-Nya memberikan targhib (spirit) untuk melakukan puasa Ramadhan dengan menjelaskan keutamaan serta tingginya kedudukan puasa, dan kalau seandainya orang yang puasa mempunyai dosa seperti buih di lautan niscaya akan diampuni dengan sebab ibadah yang baik dan diberkahi ini.
Dari Abu Hurairah رضي الله عنه dari Nabi ﷺ, (bahwasanya) beliau bersabda:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh iman dan ihtisab maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”1
Dari Abu Hurairah رضي الله عنه juga, -Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
اَلصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ لِمَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتُنِبَتِ الْكَبَائِرُ
“Shalat yang lima waktu, Jum’at ke Jum’at. Ramadhan ke Ramadhan adalah penghapus dosa yang terjadi di antara senggang waktu tersebut jika menjauhi dosa besar” (HR. Muslim 233)
Masih dari Abu Hurairah رضي الله عنه juga, (bahwasanya) Rasulullah ﷺ pernah naik mimbar kemudian berkata: Amin, Amin, Amin” Ditanyakan kepadanya: “Ya Rasulullah, engkau naik mimbar kemudian mengucapkan Amin, Amin, Amin?” Beliau bersabda: “Sesungguhnya Jibril عليهالسلام datang kepadaku, dia berkata : “Barangsiapa yang mendapati bulan Ramadhan tapi tidak diampuni dosanya maka akan masuk neraka dan akan Allah jauhkan dia, katakan “Amin”, maka akupun mengucapkan Amin….”2
* * *
- Hadits Riwayat Bukhari 4/99, Muslim 759. Makna “Iimanan wahtisaaban”berarti percaya sepenuhnya akan kewajiban puasa tersebut serta mengharapkan pahalanya. Menjalankan puasa dengan sepenuh jiwa tanpa adanya unsur keterpaksaan dan tidak juga merasa keberatan umntuk menjalaninya. Berikut ini ungkapan seseorang yang mempunyai gelar Amiirusy Syua’ara’, yaitu Ahmad Syauqi:
“Ramadhan telah berlalu,
datangkanla ia kembali.
Jiwa yang penuh kerinduan,
berjalan mengejar yang dirindukan.”
- Hadits Riwayat Ibnu Khuzaimah 3/192 dan Ahmad 2/246 dan 254 dan Al-Baihaqi 4/204 dari jalan Abu Hurairah. Hadits ini shahih, asalnya terdapat dalam Shahih Muslim 4/1978. Dalam bab ini banyak hadits dari beberapa orang sahabat, lihatlah dalam Fadhailu Syahri Ramadhan hal.25-34 karya Ibnu Syahin.
- Dikabulkannya Do’a dan Pembebasan Api Neraka
Rasullullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
إِنَّ لِلَّهِ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ عُتَقَاءَ مِنَ النَّارِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ، وَإِنَّ لِكُلِّ مُسْلِمٍ دَعْوَةً يَدْعُوْبِهَا، فَيُسْتَجَابُ لَهُ
“Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang dibebaskan dari neraka setiap siang dan malam dalam bulan Ramadhan, dan semua orang muslim yang berdo’a akan dikabulkan do’anya”1
* * *
- Hadits Riwayat Bazzar 3142, Ahmad 2/254 dari jalan A’mas, dari Abu Shalih dari Jabir, diriwayatkan oleh Ibnu Majah 1643 darinya secara ringkas dari jalan yang lain, haditsnya Shahih. Demikian juga do’a yang dikabulkan ketika berbuka, sebagaimana akan datang penjelasannya, lihat Misbahuh Azzujajah no. 60 karya Al-Bushri
- Orang yang Puasa Termasuk Shidiqin dan Syuhada
Dari ‘Amr bin Murrah Al-Juhani رضي الله عنه,1 ia berkata : Datang seorang pria kepada Nabi ﷺ kemudian berkata:
يَارَسُولَ اللهِ، أَرَأَيْتَ إِنْ شَهِدْتُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّكَ رَسُولُ اللهِ وَصَلَّيْتُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ وأَدَّيْتُ الزَّكَاةَ وَصُمْتُ رَمَضَانَ وَقُمْتُهُ، فَمِمَنْ أَنَا ؟ قَالَ مِنَ الصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ
“Ya Rasulullah, apa pendapatmu jika aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah, engkau adalah Rasulullah, aku shalat lima waktu, aku tunaikan zakat, aku lakukan puasa Ramadhan dan shalat tarawih di malam harinya, termasuk orang yang manakah aku?” Beliau menjawab. “Termasuk dari shidiqin dan syuhada” (HR. Ibnu Hibban [no.9 Zawaa-id] sanadnya Shahih)
* * *
- Lihat Al-Ansaab 3/394 karya As-Sam’ani, Al-Lubaab 1/317 karya Ibnul Atsir
Dari Abu Umamah Al-Bahili رضي الله عنه, ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
بَيْنَمَا أَنَا نَائِمٌ أَتَانِيْ رُجُلاَنِ فَأَخَذَا بِضَبُعِي فَأَتَيَابِيْ جَبَلاً وَعَرًا فَقَالَ: اِصْعَدْ، فَقُلْتُ: إِنِّي لاَ أُطِيْقُهُ.فَقَالَ:سَنُسَهِّلُهُ لَكَ. فَصَعِدْتُ، حَتَّي إِذَا كُنْتُ فِي سَوَادِ الْجَبَلِ إِذَا بِأَصْوَاتِ شَدِيْدَةٍ. قُلْتُ: مَا هَذِهِ الْأَصْوَاتُ؟ قَالُوا: هَذَا عُوَاءُ أَهْلِ النَّارِ ثُمَّ انْطَلَقَ بِي، فَإِذَا أَنَا بِقَوْمٍ مُعَلَّقِيْنَ بِعَرَاقِيْبِهِمْ، مُشَقَّقَةً أَشْدَاقُهُمْ، تَسِيلُ أَشْدَاقُهُمْ دَمًا. قَالَ: الَّذِيْنَ يُفْطِرُوْنَ قَبْلَ تَحِلَّةِ صَوْمِهِمْ
“Ketika aku tidur, datanglah dua orang pria kemudian memegang dua lenganku, membawaku ke satu gunung yang kasar (tidak rata), keduanya berkata, “Naik”. Aku katakan, “Aku tidak mampu”. Keduanya berkata, ‘Kami akan memudahkanmu’. Akupun naik hingga sampai ke puncak gunung, ketika itulah aku mendengar suara yang keras. Akupun bertanya, ‘Suara apakah ini?’. Mereka berkata, ‘Ini adalah teriakan penghuni neraka’. Kemudian keduanya membawaku, ketika itu aku melihat orang-orang yang digantung dengan kaki di atas, mulut mereka rusak/robek, darah mengalir dari mulut mereka. Aku bertanya, ‘Siapa mereka?’ Keduanya menjawab, ‘Mereka adalah orang-orang yang berbuka sebelum halal puasa mereka (sebelum tiba waktu berbuka puasa).”1
Adapun hadits yang diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ bersabda:
مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلاَ مَرَضٍ لَـمْ يَقْضِهِ صَوْمُ الدَّهْرِ وَإِنْ صَامَهُ
“Barangsiapa berbuka satu hari saja pada bulan Ramadhan bukan karena udzur ataupun sakit (dengan sengaja), tidak akan bisa diganti walau dengan puasa sepanjang zaman kalau dia lakukan”
Hadits ini lemah, tidak shahih. Pembahasan hadits ini secara rinci akan di bahas di akhir kitab ini.
* * *
- Riwayat An-Nasa’i dalam Kitab Al-Kubra sebagaimana dalam Tuhfatul Asyraf 4/166 dan Ibnu Hibban (no.1800-Zawaidnya) dan Al-Hakim 1/430 melalui beberapa jalan dari Abdurrahman bin Yazid bin Jabir, dari Salim bin ‘Amir dari Abu Umamah. Sanadnya Shahih.
Ketahuilah, wahai, hamba Allah, mudah-mudahan Allah mengajari kita semua, bahwa pahala (shaum) sungguh banyak lagi besar, dan kebaikannya melimpah sehingga tidak dapat dihitung, kecuali oleh Rabb Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Pahala dan kebaikan ini tidak akan pernah diperoleh, kecuali oleh orang yang mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, dengan mengikuti apa yang disunnahkan dan dijelaskan oleh penutup para Nabi, Muhammad ﷺ, berupa hukum-hukum yang berkenaan dengan kewajiban agung ini. Ramadhan inilah bulan yang penuh berkah.
Berikut ini kami berusaha memberikan penjelasan, tanpa bertaklid kepada siapa pun, melainkan berpegang pada al-Qur-an yang agung dan as-Sunnah yang suci dengan derajat shahih dan hasan. Selain itu, didukung pula dengan pemahaman ulama Salafush Shalih dari empat Imam, serta para Sahabat dan Tabi’in yang hidup sebelumnya, dan cukuplah hal tersebut menjadi dalil bagi Anda.
Kami memilihnya dari madzhab-madzhab Fiqih mereka yang paling ideal serta hasil ijtihad mereka yang paling adil.
- Menghitung Hari Bulan Sya’ban
Umat Islam seyogyanya menghitung bulan Sya’ban sebagai persiapan memasuki Ramadhan. Karena satu bulan itu terkadang dua puluh sembilan hari dan terkadang tiga puluh hari, maka berpuasa (itu dimulai) ketika melihat hilal bulan Ramdhan. Jika terhalang awan hendaknya menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari. Karena Allah menciptakan langit-langit dan bumi serta menjadikan tempat-tempat tertentu agar manusia mengetahui jumlah tahun dan hisab. Satu bulan tidak akan lebih dari tiga puluh hari.
Dari Abu Hurairah رضي الله عنه, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
“Puasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah karena melihat hilal. Jika kalian terhalangi awan, sempurnakanlah bulan Sya’ban tiga puluh hari” (HR. Bukhari 4/106 dan Muslim 1081)
Dari Abdullah bin Umar رضى الله عنهما, (bahwasanya) Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلَالَ وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
“Janganlah kalian puasa hingga melihat hilal, jangan pula kalian berbuka hingga melihatnya (hilal). Jika kalian terhalangi awan, hitunglah bulan Sya’ban” (HR. Bukhari 4/106 dan Muslim 1080)
Dari Adi bin Hatim رضي الله عنه, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
إِذَا جَاءَ رَمَضَانَ فَصُومُوا ثَلاَثِيْنَ إِلاَّ أَنْ تَرَوُا الْـهِلاَلَ قَبْلَ ذَلِكَ
“Jika datang bulan Ramadhan puasalah tiga puluh hari, kecuali kalian melihat hilal sebelum hari ke tiga puluh”1
* * *
- Hadits Riwayat [HR.] At-Thahawi dalam Musykilul Atsar No. 501, Ahmad 4/377, At-Thabrani dalam Al-Kabir 17/171. Dalam sanadnya ada Musalin bin Sa’id, beliau dhaif sebagaiamana dikatakan oleh Al-Haitsami dalam Majma Az-Zawaid 3/146, akan tetapi hadits ini mempunyai banyak syawahid, lihat Al-Irwaul Ghalil 901, karya Syaikhuna Al-Albany.
- Barangsiapa yang Berpuasa Hari Syak1, Berarti (ia) Telah Durhaka Kepada Abul Qasim صلى الله عليه وسلم
Oleh karena itu, seorang muslim tidak seyogyanya mendahului bulan puasa dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya dengan alasan hati-hati, kecuali kalau bertepatan dengan puasa sunnah yang biasa ia lakukan. Dari Abu Hurairah رضي الله عنه, ia berkata : Rasulullah ﷺ bersabda.
لَا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلَا يَوْمَيْنِ, إِلَّا رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا, فَلْيَصُمْهُ
“Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan melakukan puasa satu atau dua hari sebelumnya kecuali seorang yang telah rutin berpuasa maka berpuasalah” (HR. Muslim (573 -Mukhtashar dengan Muallaqnya))
Ketahuilah wahai saudaraku, di dalam Islam barangsiapa yang puasa pada hari yang diragukan, (berarti ia) telah durhaka kepada Abul Qasim Rasulullah ﷺ. Shillah bin Zyfar dari Ammar membawakan perkataan Ammar bin Yasir:
مَنْ صَامَ اَلْيَوْمَ اَلَّذِي يُشَكُّ فِيهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا اَلْقَاسِمِ صلى الله عليه وسلم
“Barangsiapa yang berpuasa pada hari yang diragukan berarti telah durhaka kepada Abul Qasim صلي الله عليه وسلم”2
* * *
- Yaitu hari yang masih diragukan, apakah sudah masuk bulan Ramadhan atau belum -ed
- Dibawakan tanpa sanad oleh Bukhari 4/119, dimaushulkan oleh Abu Daud 3334, Tirmidzi 686, Ibnu Majah 3334, An-Nasa’i 2199 dari jalan Amr bin Qais Al-Mala’i dari Abu Ishaq dari Shilah bin Zufar, dari Ammar. Dalam sanadnya ada Abu Ishaq, yakni As-Sabi’in mudallis dan dia telah ‘an-anah dalam hadits ini, dia juga telah bercampur hafalannya, akan tetapi hadits ini mempunyai banyak jalan dan mempunyai syawahid (pendukungnya) dibawakan oleh Al-Hafizd Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Ta’liqu Ta’liq 3/141-142 sehingga beliau menghasankan hadits ini.
- Jika Seorang Muslim Telah Melihat Hilal Hendaknya Kaum Muslimin Berpuasa atau Berbuka
Melihat hilal teranggap kalau ada dua orang saksi yang adil, berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ وَانْسُكُوا لَهَا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ فَصُومُوا وَأَفْطِرُوا
“Berpuasalah kalian karena melihat hilal, berbukalah kalian karena melihatnya, berhajilah kalian karena melihat hilal, jika kalian tertutup awan, maka sempurnakanlah (bilangan bulan Sya’ban menjadi) tiga puluh hari, jika ada dua saksi berpuasalah kalian dan berbukalah”1
Tidak diragukan lagi, bahwa diterimanya persaksian dua orang dalam satu kejadian tidak menunjukkan persaksian seorang diri itu ditolak, oleh karena itu persaksian seorang saksi dalam melihat hilal tetap teranggap (sebagai landasan untuk memulai puasa), dalam suatu riwayat yang shahih dari Ibnu Umar رضى الله عنهما, ia berkata : “Manusia mencari-cari hilal, maka aku khabarkan kepada Nabi صلي الله عليه وسلم bahwa aku melihatnya, maka Rasulullah-pun menyuruh manusia berpuasa.2
* * *
- HR. An-Nasa’i 4/133, Ahmad 4/321, Ad-Daruquthni 2/167 dari jalan Husain bin Al-Harist Al-jadal dari Abdurrahman bin Zaid bin Al-Khaththab dari para sahabat Rasulullah ﷺ, dan sanadnya hasan. Lafadz di atas adalah pada riwayat An-Nasa’i, Ahmad menambahkan : “Dua orang muslim”.
- HR. Abu Dawud 2342, Ad-Darimi 2/4, Ibnu Hibban 871, Al-Hakim 1/423, Al-Baihaqi 4/212 dari dua jalan, yakni dari jalan Ibnu Wahb dari Yahya bin Abdullah bin Salim dari Abu Bakar bin Nafi’ dari bapaknya dari Ibnu Umar, sanadnya Hasan, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam At-Talkhisul Habir 2/187
- Wajibnya Niat Puasa Sebelum Terbit Fajar
Jika telah jelas masuknya bulan Ramadhan dengan penglihatan mata atau persaksian atau dengan menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari, maka wajib atas setiap muslim yang mukallaf untuk niat puasa di malam harinya, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ.
مَنْ لَمْ يُجْمِعِ اَلصِّيَامَ قَبْلَ اَلْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
“Barangsiapa yang tidak niat untuk melakukan puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya”1
Dan sabda beliau صلي الله عليه وسلم.
مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ اَلصِّيَامُ مِنَ اللَّيْلِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
“Barangsiapa tidak niat untuk melakukan puasa pada malam harinya, maka tidak ada puasa baginya”2
Niat itu tempatnya di dalam hati, dan melafazdkannya adalah bid’ah yang sesat, walaupun manusia menganggapnya sebagai satu perbuatan baik. Kewajiban niat semenjak malam harinya ini hanya khusus untuk puasa wajib saja, karena Rasulullah ﷺ pernah datang ke Aisyah pada selain bulan Ramadhan, kemudian beliau bertanya,“Apakah engkau punya santapan siang ? Maka jika tidak ada aku akan berpuasa” (HR. Muslim 1154)
Hal ini juga dilakukan oleh para sahabat, (seperti) Abu Darda’, Abu Thalhah, Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, Hudzaifah Ibnul Yaman ?رضي الله عنهم dibawah benderanya Sayyid-nya bani Adam (Lihatlah dan takhrijnya dalam Taghliqul Ta’liq 3/144-147)
Ini berlaku (hanya) pada puasa sunnah saja, dan hal ini menunjukkan wajibnya niat di malam harinya sebelum terbit fajar pada puasa wajib. Wallahu Ta’ala a’lam
* * *
- HR. Abu Dawud 2454, Ibnu Majah 1933, Al-Baihaqi 4/202 dari jalan Ibnu Wahb dari Ibnu Lahi’ah dari Yahya bin Ayub dari Abdullah bin Abu Bakar bin Hazm dari Ibnu Syihab, dari Salim bin Abdillah, dari bapaknya, dari Hafshah. Dalam satu lafadz pada riwayat Ath-Thahawi dalam Syarah Ma’anil Atsar 1/54 : “Niat di malam hari” dari jalan dirinya sendiri. Dan dikeluarkan An-Nasa’i 4/196, Tirmidzi 730 dari jalan lain dari Yahya, dan sanadnya Shahih.
- HR. An-Nasa’i 4/196, Al-Baihaqi 4/202, Ibnu Hazm 6/162 dari jalan Abdurrazaq dari Ibnu Juraij, dari Ibnu Syihab, sanadnya shahih kalau tidak ada ‘an-anah Ibnu Juraij, akan tetapi shahih dengan riwayat sebelumnya.
- Kemampuan Adalah Dasar Pembebanan Syari’at
Barangsiapa yang mendapati bulan Ramadhan tetapi dia tidak tahu sehingga diapun makan dan minum, kemudian baru tahu, maka dia harus menahan diri (makan, minum dan hal-hal yang membatalkan puasa lainnya, -ed) serta menyempurnakan puasanya tersebut (tidak perlu di qadha’). Barangsiapa yang belum makan dan minum (tetapi tidak tahu sudah masuk bulan Ramadhan), maka tidak disyaratkan baginya niat pada malam hari, karena hal itu tidak mampu dilakukannya (karena dia tidak tahu telah masuk Ramadhan-ed) dan termasuk dari ushul syari’at yang telah ditetapkan: “Kemampuan adalah dasar pembebanan Syari’at”.
Dari Aisyah ?رضي الله عنها, dia berkata: “Adalah Rasulullah ﷺ pernah memerintahkan puasa Asyura, maka ketika diwajibkan puasa Ramadhan, maka bagi yang mau puasa Asyura diperbolehkan, dan yang mau berbuka dipersilahkan” (HR.Bukhari 4/212 dan Muslim 1135)
Dan dari Salamah bin Al-Akwa’ رضي الله عنه, ia berkata.”Nabi صلي الله عليه وسلم menyuruh seorang dari bani Aslam untuk mengumumkan kepada manusia, bahwasanya barangsiapa yang sudah makan hendaklah puasa sampai maghrib, dan barangsiapa yang belum makan teruskanlah berpuasa karena hari ini adalah hari Asyura” (HR. Bukhari 4/216, Muslim 1135)
Puasa hari Asyura dulunya adalah wajib, kemudian dimansukh (dihapus kewajiban tersebut), mereka telah diperintahkan untuk tidak makan dari mulai siang dan itu cukup bagi mereka. Puasa Ramadhan adalah puasa wajib, maka hukumnya sama dengan puasa Asyura ketika masih wajib, tidak berubah (berbeda) sedikitpun.
- Perbedaan Pendapat Sebagian Ulama
Ketahuilah saudara seiman, bahwa seluruh dalil menerangkan bahwa puasa Asyura ini wajib karena adanya perintah untuk puasa di hari tersebut sebagaimana pada hadits Aisyah, kemudian kewajiban ditekankan lagi karena diserukan secara umum, ditambah lagi dengan perintah orang yang makan untuk menahan diri (tidak makan lagi) sebagaiamana dalam hadits Salamah bin Akwa’ tadi, serta hadits Muhamamad bin Shaifi Al-Anshary: Rasulullah ﷺ keluar menemui kami pada hari Asyura kemudian beliau bersabda : “Apakah kalian puasa pada hari ini ?” sebagian mereka menjawab : “Ya” dan sebagian yang lainnya menjawab: “Tidak” (Kemudian) beliau bersabda : “Sempurnakanlah puasa hari pada sisa hari ini”. Dan beliau menyuruh mereka untuk memberitahu penduduk Arrud (di) kota Madinah -untuk menyempurnakan sisa hari mereka”1
Yang memutuskan perselisihan ini adalah perkataan Ibnu Mas’ud: “Ketika diwajibkan puasa Ramadhan ditinggalkanlah Asyura”.(HR. Muslim 1127)
Dan ucapan Aisyah: “Ketika turun kewajiban puasa Ramadhan, maka Ramadhanlah yang wajib dan ditinggalkanlah Asyura” (berarti puasa Asyura tidak wajib lagi hukumnya -pent) (HR. Muslim 1125)
Walaupun demikian sunnahnya puasa Asyura tidak dihilangkan, sebagaimana yang dinukil Al-Hafidzh dalam Fathul Bari 4/264 dari Ibnu Abdil Barr. Maka jelas lah bahwa sunnahnya puasa Asyura masih ada, sedang yang dihapus hanya kewajibannya. Wallahu a’lam.
Sebagian (ahlul ilmi) yang lainnya menyatakan : Jika puasa wajib telah mansukh (dihapus), maka dihapus juga hukum-hukum yang menyertainya. Yang benar (bahwa) hadits-hadits tentang Asyura menunjukkan beberapa perkara (yaitu) :
- Wajibnya puasa Asyura
- Barangsiapa yang tidak niat di malam hari ketika puasa wajib sebelum terbitnya fajar karena tidak tahu, maka tidaklah rusak puasanya, dan
- Barangsiapa terlanjur makan dan minum kemudian dia mengetahui datangnya bulan puasa, maka hendaklah ia menghentikan makan dan minumnya dan tetap melanjutkan puasanya dari waktu yang tersisa dan tidak ada kewajiban mengqadha’ baginya.
Yang mansukh adalah perkara yang pertama, hingga Asyura hanyalah sunnah sebagaimana yang telah dijelaskan. Dimansukhkannya hukum tersebut bukan berarti menghapus hukum-hukum lainnya. Wallahu a’lam.
Mereka berdalil dengan hadits Abu Dawud 2447 dan Ahmad 5/409 dari jalan Qatadah dari Abdurrahman bin Salamah dari pamannya, ia berkata: “Bahwa bani Aslam pernah mendatangi Nabi, kemudian beliau bersabda : “Kalian puasa hari ini?” Mereka menjawab, “Tidak” Rasulullahصلي الله عليه وسلم bersabda, “Sempurnakanlah sisa hari ini kemudian qadha’lah kalian”
Hadits ini lemah karena ada dua illat (cacat) yaitu:
- Majhulnya (tidak dikenalnya) Abdurrahman bin Salamah. Adz-Dzahabi berkata tentangnya di dalam Al-Mizan 2/567: “(Dia) tidak dikenal” Al-Hafidz berkata dalam At-Tahdzib 6/239: “Keduanya majhul”. Dibawakan oleh Ibnu Abi Hatim di dalam Al-Jarhu wa Ta’dil 5/288, tidak disebutkan padanya Jarh atau Ta’dil.
- Adanya ‘an-anah Qatadah, padahal dia seorang mudallis
* * *
- HR. Ibnu Khuzaimah 3/389, Ahmad 4/388, An-Nasa’i 4/192, Ibnu Majah 1/552, At-Thabrani dalam Al-Kabir 18/238 dari jalan As-Sya’bi darinya. Dengan sanad yang Shahih.
Pada awalnya, para sahabat Nabiyul Ummi Muhammadصلى الله عليه وسلم jika berpuasa dan hadir waktu berbuka mereka makan serta menjima’i isterinya selama belum tidur. Namun jika seseorang dari mereka tidur sebelum menyantap makan malamnya (berbuka), dia tidak boleh melakukan sedikitpun perkara-perkara di atas. Kemudian Allah dengan keluasan rahmat-Nya memberikan rukhshah (keringanan) hingga orang yang tertidur disamakan hukumnya dengan orang yang tidak tidur. Hal ini diterangkan dengan rinci dalam hadits berikut.
“Dahulu sahabat Nabi ﷺ jika salah seorang diantara mereka puasa dan tiba waktu berbuka, tetapi tertidur sebelum berbuka, tidak diperbolehkan makan malam dan siangnya hingga sore hari lagi. Sungguh Qais bin Shirmah Al-Anshari pernah berpuasa, ketika tiba waktu berbuka beliau mendatangi isterinya kemudian berkata: “Apakah engkau punya makanan ?” Isterinya menjawab : “Tidak, namun aku akan pergi mencarikan untukmu” Dia bekerja pada hari itu hingga terkantuk-kantuk dan tertidur, ketika isterinya kembali dan melihatnya isterinyapun berkata ” Khaibah”1 untukmu” Ketika pertengahan hari diapun terbangun, kemudian menceritakan perkara tersebut kepada Nabi ﷺ hingga turunlah ayat ini:
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَآئِكُمْ
“Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan puasa bercampur (berjima’) dengan isteri-isterimu” (Al-Baqarah/2 : 187)
Dan turun pula firman Allāh ﷻ:
وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
“Dan makan minumlah sehingga terang kepadamu benang putih dari benang hitam yaitu fajar” (Al-Baqarah/2 : 187)2
Inilah rahmat Rabbani yang dicurahkan oleh Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya yang berkata: “Kami mendengar dan kami taat wahai Rabb kami, ampunilah dosa kami dan kepada-Mu lah kami kembali” (yakni) dengan memberikan batasan waktu puasa: dimulainya puasa dan waktu berakhirnya. (Puasa) dimulai dari terbitnya fajar hingga hilangnya siang dengan datangnya malam, dengan kata lain hilangnya bundaran matahari di ufuk.
___________________
- Dari Al-Khaibah yaitu yang diharamkan, dikatakan khoba yakhibu jika tidak mendapat permintaannya mencapai tujuannya.
- HR. Bukhari 4/911
- Benang Putih dan Benang Hitam
Ketika turun ayat tersebut sebagian sahabat Nabiصلي الله عليه وسلم sengaja mengambil iqal (tali) hitam dan putih1 kemudian mereka letakkan di bawah bantal-bantal mereka, atau merka ikatkan di kaki mereka. Dan mereka terus makan dan minum hingga jelas dalam melihat kedua iqal tersebut (yakni dapat membedakan antara yan putih dari yang hitam-pent).
Dari Adi bin Hatimرضي الله عنه berkata: Ketika turun ayat.
“Sehingga terang kepadamu benang putih dari benang hitam yaitu fajar”, Aku mengambil iqal hitam digabungkan dengan iqal putih, aku letakkan di bawah bantalku, kalau malam aku terus melihatnya hingga jelas bagiku, pagi harinya aku pergi menemui Rasulullahصلي الله عليه وسلم dan kuceritakan padanya perbuatanku tersebut. Baliaupun bersabda: “Maksud ayat tersebut adalah hitamnya malam dan putihnya siang”2
Dari Sahl bin Sa’ad رضي الله عنه, ia berkata: Ketika turun ayat.”Makan dan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam”, Ada seorang pria jika ingin puasa, ia mengikatkan benang hitam dan putih di kakinya, dia terus makan dan minum hingga jelas dalam melihat kedua benang tersebut. Kemudian Allah menurunkan ayat: “(Karena) terbitnya fajar” , mereka akhirnya tahu yang dimaksud adalah hitam (gelapnya) malam dan terang (putihnya) siang. (HR.Bukhari 4/114 dan Muslim 1091)
Setelah penjelasan Qur’ani, sungguh telah diterangkan oleh Rasulullah ﷺ kepada sahabatnya batasan (untuk membedakan) serta sifat-sifat tertentu, hingga tidak ada lagi ruang untuk ragu atau tidak mengetahuinya.
Seorang penyair mengungkapkan:
“Tidak benar sedikitpun dalam akal
jikalau siang butuh bukti”
* * *
- Iqal yaitu tali yang dipakai untuk mengikat unta, Mashabih 2/422.
- HR. Bukhari 4/113 dan Muslim 1090, dhahir ayat ini bahwa Adi dulunya hadir ketika turun ayat ini, berarti telah Islam, tetapi tidak demikian, karena diwajibkannya puasa tahun kedua dari hijrah, Adi masuk Islam tahun sembilan atau kesepuluh, adapun tafsir Adi ketika turun : yakni ketika aku masuk Islam dan dibacakan surat ini kepadaku, inilah yang rajih sebagaimana riwayat Ahmad 4/377 : “Rasulullah ﷺ mengajari shalat dan puasa, beliau berkata : “Shalatlah begini dan begini dan puasalah, jika terbenam matahri makan dan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dan benang hitam, puasalah tiga puluh hari, kecuali kalau engkau melihat hilal sebelum itu, aku mengambil dua benang dari rambut hitam dan putih….hadits” Al-Fathul 4/132-133 dengan perubahan.
- Dua Macam Fajar
Diantara hukum yang dijelaskan oleh Rasulullah ﷺ dengan penjelasan yang rinci, bahwasanya fajar itu ada dua.
- Fajar Kadzib : Tidak dibolehkan ketika itu shalat shubuh dan belum diharamkan bagi yang berpuasa untuk makan dan minum.
- Fajar Shadiq : Yang mengharamkan makan bagi yang puasa, dan sudah boleh melaksanakan shalat shubuh.
Dari Ibnu Abbas رضى الله عنهما, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Fajar itu ada dua: Yang pertama tidak mengharamkan makan (bagi yang puasa), tidak halal shalat ketika itu, yang kedua mengharamkan makan dan telah dibolehkan shalat ketika terbit fajar tersebut”1
Dan ketahuilah -wahai saudara muslim- bahwa :
- Fajar Kadzib adalah warna putih yang memancar panjang yang menjulang seperti ekor binatang gembalaan.
- Fajar Shadiq adalah warna yang memerah yang bersinar dan tampak di atas puncak bukit dan gunung-gunung, dan tersebar di jalanan dan di jalan raya serta di atap-atap rumah. Fajar inilah yang berkaitan dengan hukum-hukum puasa dan shalat.
Dari Samurah رضي الله عنه, Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا يَغُرَّنَّ أَحَدَكُمْ نِدَاءُ بِلَالٍ مِنْ السَّحُورِ وَلَا هَذَا الْبَيَاضُ حَتَّى يَسْتَطِيرَ
“Janganlah kalian tertipu oleh adzannya Bilal dan jangan pula tertipu oleh warna putih yang memancar ke atas sampai melintang” (HR.Muslim 1094)
Dari Thalq bin Ali, (bahwasanya) Nabi صلي الله عليه وسلم bersabda:
كُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا يَغُرَّنَّكُمُ السَّاطِعُ الْمُصَعَّدُ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَعْتَرِضُ لَكُمُ الْأَحْمَرُ
“Makan dan minumlah, jangan kalian tertipu oleh fajar yang memancar ke atas. Makan dan minumlah sampai warna merah membentang”2
Ketahuilah -mudah-mudahan engkau diberi taufiq untuk mentaati Rabbmu- bahwasanya sifat-sifat fajar shadiq adalah yang bercocokan dengan ayat yang mulia.”Hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar”Karena cahaya fajar jika membentang di ufuk atas lembah dan gunung-ghunung akan tampak seperti benang putih, dan akan tampak di atasnya benang hitam yakni sisa-sisa kegelapan malam yang pergi menghilang.
Jika telah jelas hal tersebut padamu berhentilah dari makan, minum dan berjima’. Kalau di tanganmu ada gelas berisi air atau minuman, minumlah dengan tenang, karena itu merupakan rukhshah (keringanan) yang besar dari Dzat Yang Paling Pengasih kepada hamba-hamba-Nya yang puasa. Minumlah walaupun engkau telah mendengar adzan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ النِّدَاءَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلَا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
“Jika salah seorang dari kalian mendengar adzan padahal gelas ada di tangannya, janganlah ia letakkan hingga memenuhi hajatnya”3
Yang dimaksud adzan dalam hadits di atas adalah adzan subuh yang kedua karena telah terbitnya Fajar Shadiq dengan dalil tambahan riwayat, yang diriwayatkan oleh Ahmad 2/510, Ibnu Jarir At-Thabari 2/102 dan selain keduanya setelah hadits di atas.”dan muadzin melakukan adzan ketika sudah terbit fajar”4
Yang mendukung makna seperti ini adalah riwayat Abu Umamah رضي الله عنه.” Telah dikumandangkan iqamah shalat, ketika itu di tangan Umar masih ada gelas, dia berkata: ‘Boleh aku meminumnya ya Rasulullah?’ Rasulullah bersabda: “Ya’ minumlah” (HR. Ibnu Jarir 2/102 dari dua jalan dari Abu Umamah)
Jelaslah bahwa menghentikan makan sebelum terbit Fajar Shadiq dengan dalih hati-hati adalah perbuatan bid’ah yang diada-adakan.
Al-Hafidz Ibnu Hajar asy-Syafi’i رحمه الله berkata dalam Al-Fath 4/199: “Termasuk perbuatan bid’ah yang mungkar adalah yang diada-adakan pada zaman ini, yaitu mengumandangkan adzan kedua sepertiga jam sebelum waktunya di bulan Ramadhan, serta memadamkan lampu-lampu yang dijadikan sebagai tanda telah haramnya makan dan minum bagi orang yang mau puasa, mereka mengaku perbuatan ini dalam rangka ikhtiyath (hati-hati) dalam ibadah, tidak ada yang mengetahuinya kecuali beberapa gelintir manusia saja, hal ini telah menyeret mereka hingga melakukan adzan ketika telah terbenam matahari beberapa derajat untuk meyakinkan telah masuknya waktu -itu sangkaan mereka- mereka mengakhirkan berbuka dan menyegerakan sahur hingga menyelisihi sunnah. Oleh karena itu sedikit pada mereka kebaikan dan banyak tersebar kejahatan pada mereka. Allahul musta’an”.
Kami katakan: Bid’ah ini, yakni menghentikan makan (imsak) sebelum fajar dan mengakhirkan waktu berbuka, tetap ada dan terus berlangsung di zaman ini. Kepada Allah-lah kita mengadu.
* * *
- HR. Ibnu Khuzaimah 3/210, Al-Hakim 1/191 dan 495, Daruquthni 2/165, Baihaqi 4/261 dari jalan Sufyan dari Ibnu Juraij dari Atha dari Ibnu Abbas, Sanadnya SHAHIH. Juga ada syahid dari Jabir, diriwayatkan oleh Hakim 1/191, Baihaqi 4/215, Daruquthni 2/165, Diikhtilafkan maushil atau mursal, dan syahid dari Tsauban, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 3/27.
- HR. Tirmidzi 3/76, Abu Daud 2/304, Ahmad 4/66, Ibnu Khuzaimah 3/211 dari jalan Abdullah bin Nu’man dari Qais bin Thalaq dari bapaknya, sanadnya Shahih. Abdullah bin Nu’man dianggap tsiqah oleh Ibnu Ma’in, Ibnu Hibban dan Al-Ajali. Ibnu Khuzaimah tidak tahu keadilannya. Ibnu Hajar berkata Maqbul!!
- HR. Abu Daud 235, Ibnu Jarir 3115. Al-Hakim 1/426, Al-Baihaqi 2/218, Ahmad 3/423 dari jalan Hamad dari Muhammad bin Amir dari Abi Salamah dari Abu Hurairah, sanadnya HASAN. Ada jalan lain diriwayatkan oleh Ahmad 2/510, Hakim 1/203,205 dari jalan Hammad dari Amr bin Abi Amaran dari Abu Hurairah, sanadnya SHAHIH.
- Riwayat tambahan ini membatalkan ta’liq Syaikh Habiburrahman Al-Adhami Al-Hanafi terhadap Mushannaf Abdur Razaq 4/173 ketika berkata: “Ini dimungkinkan bahwa Nabi صلي الله عليه وسلم bahwasanya muadzin adzan sebelum terbit fajar!!” Walhamdulillahi wahdah.
- Menyempurnakan Puasa Hingga Malam Hari
Jika telah datang malam dari arah timur, menghilangkan siang dari arah barat dan matahari telah terbenam bebukalah orang yang puasa.
Dari Umar رضي الله عنه, ia berkata Rasullah صلي الله عليه وسلم bersabda:
إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَا هُنَا وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَا هُنَا وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ
“Jika malam datang dari sini, siang menghilang dari sini dan terbenam matahari, telah berbukalah orang yang puasa”1
Hal ini terwujud setelah terbenamnya matahari, walaupun sinarnya masih ada. Termasuk petunjuk Nabi صلي الله عليه وسلم, jika beliau puasa menyuruh seseorang untuk naik ke satu ketinggian, jika orang itu berkata: “Matahari telah terbenam”, beliaupun berbuka.2
Sebagian orang menyangka malam itu tidak terwujud langsung setelah terbenamnya matahari, tapi masuknya malam setelah kegelapan menyebar di timur dan di barat. Sangkaan seperti ini pernah terjadi pada sahabat Rasulullah ﷺ, kemudian mereka diberi pemahaman bahwa cukup dengan adanya awal gelap dari timur setelah hilangnya bundaran matahari.
Dari Abdullah bin Abi Aufa رضي الله عنه : “Kami pernah bersama Rasulullah ﷺ dalam suatu safar (perjalanan), ketika itu kami sedang berpuasa (di bulan Ramadhan). Ketika terbenam matahari, Rasulullah ﷺ bersabda kepada sebagian kaum: “Wahai Fulan (dalam riwayat Abu Daud : Wahai Bilal) berdirilah, ambilkan kami air”. Orang itu berkata, “Wahai Rasulullah, kalau engkau tunggu hingga sore”, dalam riwayat lain: matahari). Rasulullah ﷺ bersabda, “Turun, ambilkan air”. Bilal pun turun, kemudian Nabi minum. Beliau bersabda, “Kalau kalian melihatnya niscaya akan kalian lihat dari atas onta, yakni matahari”. Kemudian beliau melemparkan (dalam riwayat lain: berisyarat dengan tanganya) (Dalam riwayat Bukhari-Muslim: berisyarat degan telunjuknya ke arah kiblat) kemudian berkata: “Jika kalian melihat malam telah datang dari sini maka telah berbuka orang yang puasa.3
Telah ada riwayat yang menegaskan bahwa para sahabat Nabi صلي الله عليه وسلم mengikuti perkataannya, dan perbuatan mereka sesuai dengan perkataan Rasulullah ﷺ. Abu Said Al-Khudri رضي الله عنه berbuka ketika tenggelam (hilangnya) bundaran matahari.4
Peringatan :
- Hukum-hukum puasa yang diterangkan tadi berkaitan dengan pandangan mata manusia, tidak boleh bertakalluf atau berlebihan dengan mengintai hilal dan mengawasi dengan alat-alat perbintangan yang baru atau berpegangan dengan penanggalan ahli nujum yang menyelewengkan kaum muslimin dari sunnah Rasulullah ﷺ hingga menjadi sebab sedikitnya kebaikan pada mereka.5 Wallahu a’alam.
- Di sebagian negeri Islam para muadzin menggunakan jadwal-jadwal waktu shalat yang telah berlangsung lebih dari 50 tahun !! Hingga mereka mengakhirkan berbuka puasa dan menyegerakan sahur, akhirnya mereka menentang petunjuk Nabi صلي الله عليه وسلم
Di negeri-negeri seperti ini ada sekelompok orang yang bersemangat dalam mengamalkan sunnah dengan berbuka berpedoman pada matahari dan sahur berpedoman fajar. Jika terbenam matahari mereka berbuka, jika terbit fajar shadiq -sebagaimana telah dijelaskan- mereka menghentikan makan dan minum. Inilah perbuatan syar’i yang shahih, tidak diragukan lagi. Barangsiapa yang menyangka mereka menyelisihi sunnah, ia telah berprasangka dengan sangkaan yang salah. Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah. Jelaslah, ibadah puasa berkaitan dengan matahari dan fajar, jika ada orang yang menyelisihi kaidah ini, mereka telah salah, bukan orang yang berpegang dengan ushul dan mengamalkannya. Adzan adalah pemberitahuan masuknya waktu, (dan) tetap mengamalkan ushul/ pokok yang diajarkan Rasulullahصلي الله عليه وسلم adalah wajib. Camkanlah ini dan pahamilah.!
* * *
- HR. Bukhari 4/171, Muslim 1100. Perkataannya : “Telah berbuka orang yang puasa” yakni dari sisi hukum bukan kenyataan karena telah masuk puasa.
- HR. Al-Hakim 1/434, Ibnu Khuzaimah 2061, di SHAHIH kan oleh Al-Hakim menurut syarat Bukhari-Muslim. Perkataan Aufa : Yakni naik atau melihat.
- HR. Bukhari 4/199, Muslim 1101, Ahmad 4/381, Abu Daud 2352. Tambahan pertama dalam riwayat Muslim 1101. Tambahan kedua dalam riwayat Abdur Razaq 4/226. Perkataan beliau : “Ambilkan segelas air” yakni : siapkan untuk kami minuman dan makanan. Ashal Jadh : (mengaduk) menggerakkan tepung atau susu dengan air dengan menggunakan tongkat (kayu)
- Diriwayatkan oleh Bukhari dengan mu’allaq 4/196 dan dimaushulkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf 3/12 dan Siad bin Manshur sebagaiman dalam Al-Fath 4/196, Umdatul Qari 9/130, lihat Taghliqut Ta’liq 3/195
- Barangsiapa yang ingin tambahan penjelasan dan rincian yang baik akan dia temukan dalam kitab: Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah 25/126-202. Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab 6/279 karya Imam Nawawi. Talkhisul Kabir 2/187-188 karya Ibnu Hajar.
- Hikmahnya
Allah mewajibkan puasa kepada kita sebagaimana telah mewajibkan kepada orang-orang sebelum kita dari kalangan Ahlul Kitab. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa” (Al-Baqarah/2 : 183)
Waktu dan hukumnya pun sesuai dengan apa yang diwajibkan pada Ahlul Kitab, yakni tidak boleh makan dan minum dan menikah (jima’) setelah tidur. Yaitu jika salah seorang dari mereka tidur, tidak boleh makan hingga malam selanjutnya, demikian pula diwajibkan atas kaum muslimin sebagaimana telah kami terangkan di muka1 karena dihapus hukum tersebut. Rasulullahصلي الله عليه وسلم menyuruh makan sahur sebagai pembeda antara puasa kita dengan puasanya Ahlul Kitab.
Dari Amr bin ‘Ash رضي الله عنه, Rasulullahصلي الله عليه وسلم bersabda:
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ
“Pembeda antara puasa kita dengan puasanya ahli kitab adalah makan sahur” (HR. Muslim 1096)
* * *
- Lihat sebagai tambahan tafsir-tafsir berikut: Zadul Masir 1/184 oleh Ibnul Jauzi, Tafsir Quranil ‘Adhim 1/213-214 oleh Ibnu Katsir, Ad-Durul Mantsur 1/120-121 karya Imam Suyuthi.
- Keutamaannya
- Makan Sahur Adalah Barokah.
Dari Salman رضي الله عنه, Rasulullah ﷺ bersabda:
اَلْبَرَ كَهُ فِي ثَلاَثَةِ: اَلْـجَمَاعَةِ وَالثَّرِيْرِ وَالسَّحُورِ
“Barokah itu ada pada tiga perkara : Al-Jama’ah, Ats-Tsarid ( roti yang diremukkkan dan dirindam dalam kuah) dan makan Sahur”1
Dari Abu Hurairah رضي الله عنه, Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ اللهَ جَعَلَ اَلْبَرَ كَهَ فِي السَّحُورِ وَالْكَيْلِ
“Sesungguhnya Allah menjadikan barokah pada makan sahur dan takaran”2
Dari Abdullah bin Al-Harits dari seorang sahabat Rasulullah ﷺ : Aku masuk menemui Nabi صلي الله عليه وسلم ketika itu beliau sedang makan sahur, beliau bersabda: “Sesungguhnya makan sahur adalah barakah yang Allah berikan kepada kalian, maka janganlah kalian tinggalkan'” (HR. Nasa’i 4/145 dan Ahmad 5/270 sanadnya SHAHIH)
Keberadaan sahur sebagai barakah sangatlah jelas, karena dengan makan sahur berarti mengikuti sunnah, menguatkan dalam puasa, menambah semangat untuk menambah puasa karena merasa ringan orang yang puasa.
Dalam makan sahur juga (berarti) menyelisihi Ahlul Kitab, karena mereka tidak melakukan makan sahur. Oleh karena itu Rasulullah ﷺ menamakannya dengan makan pagi yang diberkahi sebagaimana dalam dua hadits Al-Irbath bin Syariyah dan Abu Darda ‘رضى الله عنهما.
هَلُمَّ إِلَي الغَدَاءِ الْـمُبَارَكِ يَعْنِي السَّحُورُ
“Marilah menuju al-ghadaa’ al-mubaarak (makanan penuh berkah), yakni sahur”3
- Allah dan Malaikat-Nya Bershalawat Kepada Orang-Orang yang Sahur
Mungkin barakah sahur yang tersebar adalah (karena) Allah سبحانه و تعالى akan meliputi orang-orang yang sahur dengan ampunan-Nya, memenuhi mereka dengan rahmat-Nya, malaikat Allah memintakan ampunan bagi mereka, berdo’a kepada Allah agar mema’afkan mereka agar mereka termasuk orang-orang yang dibebaskan oleh Allah di bulan Ramadhan.
Dari Abu Sa’id Al-Khudri رضي الله عنه, Rasulullah ﷺ bersabda:
السَّحُورُ أَكْلَةُبَرَكَةٍ فَلاَ تَدَعُوْهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ فَإِنَّ اللهَ عَزَّوَجَلَّ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَي الْمُتَسَحِّرِيْنَ
“Sahur itu makanan yang barakah, janganlah kalian meninggalkannya walaupun hanya meneguk setengah air, karena Allah dan malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang sahur”4
Oleh sebab itu seorang muslim hendaknya tidak menyia-nyiakan pahala yang besar ini dari Rabb Yang Maha Pengasih. Dan sahurnya seorang muslim yang paling afdhal adalah korma.
Bersabda Rasulullah ﷺ:
نِعْمَ سَحُورُ الْمُؤْمِنِ التَّمْرُ
“Sebaik-baik sahurnya seorang mukmin adalah korma”5
Barangsiapa yang tidak menemukan korma, hendaknya bersungguh-sungguh untuk bersahur walau hanya dengan meneguk satu teguk air, karena keutamaan yang disebutkan tadi, dan karena sabda Rasulullah ﷺ:
تَسَحَّرُوا وَلَوْ بِجُرْعَةٍ مِنْ مَاءٍ
“Makan sahurlah kalian walau dengan seteguk air” (Akan datang Takhrijnya)
* * *
- HR. Thabrani dalam Al-Kabir 5127, Abu Nu’aim dalam Dzikru Akhbar AShbahan 1/57 dari Salman Al-Farisi Al-Haitsami berkata Al-Majma 3/151 dalam sanadnya ada Abu Abdullah Al-Bashiri, Adz-Dzahabi berkata : “Tidak dikenal, peawi lainnya Tsiqat. Hadits ini mempunyai syahid dalam riwayat Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Al-Khatib dalam Munadih Auhumul Sam’i watafriq 1/203, sanadnya hasan.
- HR. As-Syirazy (Al-Alqzb) sebagaimana dalam Jami’us Shagir 1715 dan Al-Khatib dalam Al-Muwaddih 1/263 dari Abu Hurairah dengan sanad yang lalu. Hadits ini HASAN sebagai syawahid dan didukung oleh riwayat sebelumnya. Al-Manawi memutihkannya dalam Fawaidul Qadir 2/223, sepertinya ia belum menemukan sanadnya.!!
- Adapun hadits Al-Irbath diriwayatkan oleh Ahmad 4/126 dan Abu Daud 2/303, Nasa’i 4/145 dari jalan Yunus bin Saif dari Al-Harits bin ZIyad dari Abi Rahm dari Irbath. Al-Harits majhul. Sedangkan hadits Abu Darda diriwayatkan oleh Ibnu Hibban 223-Mawarid dari jalan Amr bin Al-Harits dari Abdullah bin Salam dari Risydin bin Sa’ad. Risydin dhaif. Hadits ini ada syahidnya dari hadits Al-Migdam bin Ma’dikarib. Diriwayatkan oleh Ahmad 4/133. Nasaai 4/146 sanadnya shahih, kalau selamat dari Baqiyah karena dia menegaskan hadits dari syaikhya! Akan tetapi apakah itu cukup atau harus tegas-tegas dalam seluruh thabaqat hadits, beliau termasuk mudllis taswiyha?! Maka hadits ini SHAHIH.
- HR. Ibnu Abi Syaibah 2/8, Ahmad 3/12, 3/44 dari tiga jalan dari Abu Said Al-Khudri. Sebagaimana menguatan yang lain.
- HR. Abu Daud 2/303, Ibnu Hibban 223, Baihaqi 4/237 dari jalan Muhammad bin Musa dari Said Al-Maqbari dari Abu Hurairah. Dan sanadnya SHAHIH.
- Mengakhirkan Sahur
Disunnahkan mengakhirkan sahur sesaat sebelum fajar, karena Nabi صلي الله عليه وسلم dan Zaid bin Tsabit رضي الله عنه melakukan sahur, ketika selesai makan sahur Nabi صلي الله عليه وسلم bangkit untuk shalat subuh, dan jarak (selang waktu) antara sahur dan masuknya shalat kira-kira lamanya seseorang membaca lima puluh ayat di Kitabullah.
Anas رضي الله عنه meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit رضي الله عنه.”Kami makan sahur bersama Rasulullah ﷺ kemudian beliau shalat” Aku tanyakan (kata Anas), “Berapa lama jarak antara adzan dan sahur?” Zaid menjawab, “kira-kira 50 ayat membaca Al-Qur’an”1
Ketahuilah wahai hamba Allah -mudah-mudahan Allah membimbingmu- kalian diperbolehkan makan, minum, jima’ selama (dalam keadaan) ragu fajar telah terbit atau belum, dan Allah serta Rasul-Nya telah menerangkan batasan-batasannya sehingga menjadi jelas, karena Allah Jalla Sya’nuhu mema’afkan kesalahan, kelupaan serta membolehkan makan, minum dan jima, selama belum ada kejelasan, sedangkan orang yang masih ragu (dan) belum mendapat penjelasan. Sesunguhnya kejelasan adalah satu keyakinan yang tidak ada keraguan lagi. Jelaslah.
* * *
- HR. Bukhari 4/118, Muslim 1097, Al-Hafidz berkata dalam Al-Fath 4/238: “Di antara kebiasaan Arab mengukur waktu dengan amalan mereka, (misal) : kira-kira selama memeras kambing. Fawaqa naqah (waktu antara dua perasan), selama menyembelih onta. Sehingga Zaid pun memakai ukuran lamanya baca mushaf sebagai isyarat dari beliau رضي الله عنه bahwa waktu itu adalah waktu ibadah dan amalan mereka membaca dan mentadhabur Al-Qur’an”. Sekian dengan sedikit perubahan.
- Hukumnya
Oleh karena itu Rasulullah ﷺ memerintahkannya -dengan perintah yang sangat ditekankan-. Beliau bersabda:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَصُومُ فَلْيَتَسَحَّرْ بِشَيْءٍ
“Barangsiapa yang mau berpuasa hendaklah sahur dengan sesuatu”1
Dan beliau bersabda:
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً
“Makan sahurlah kalian karena dalam sahur ada barakah” (HR. Bukhari 4/120, Muslim 1095 dari Anas)
Kemudian beliau menjelaskan tingginya nilai sahur bagi umatnya, beliau bersabda:
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ
“Pembeda antara puasa kami dan Ahlul Kitab adalah makan sahur” (Telah lewat Takhrijnya)
Nabi صلي الله عليه وسلم melarang meninggalkannya, beliau bersabda:
السَّحُورُ أَكْلَةُبَرَكَةٍ فَلاَ تَدَعُوْهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ فَإِنَّ اللهَ عَزَّوَجَلَّ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَي الْمُتَسَحِّرِيْنَ
“Sahur adalah makanan yang barakah, janganlah kalian tinggalkan walaupun hanya meminum seteguk air karena Allah dan Malaikat-Nya memberi sahalawat kepada orang-orang yang sahur” (Telah berlalu Takhrijnya)
Rasulullah ﷺ bersabda:
تَسَحَّرُوا وَلَوْ بِجُرْعَةٍ مِنْ مَاءٍ
“Sahurlah kalian walaupun dengan seteguk air”2
Dapat kami katakan: Kami berpendapat perintah Nabi ini sangat ditekankan anjurannya, hal ini terlihat dari tiga sisi.
- Hal ini memang diperintahkan
- Sahur adalah syiarnya puasa seorang muslim, dan pemisah antara puasa kita dan puasa Ahlul Kitab/ pemeluk agama lain
- Larangan meninggalkan sahur.
Ketiga sisi ini merupakan qarinah/ keterikatan yang sangat kuat dan dalil yang jelas.
Walaupun demikian, Al-Hafidz Ibnu Hajar menukilkan dalam kitabnya Fathul Bari 4/139 : Ijma atas sunnahnya. Wallahu ‘alam.
* * *
- Ibnu Abi Syaibah 3/8, Ahmad 3/367, Abu Ya’la 3/438, Al-Bazzar 1/465 dari jalan Syuraik dari Abdullah bin Muhammad bin Uqail dari Jabir.
- HR. Abu Ya’la 3340 dari Anas, ada kelemahan, didukung oleh hadits Abdullah bin Amr di Ibnu Hibban no.884 padanya ada ‘an-anah Qatadah. Hadits Hasan.
Ketahuilah wahai orang yang diberi taufik untuk mentaati Rabbnya Jalla Sya’nuhu, yang dinamakan orang puasa adalah orang yang mempuasakan seluruh anggota badannya dari dosa, mempuasakan lisannya dari perkataan dusta, kotor dan keji, mempuasakan lisannya dari perutnya dari makan dan minum dan mempuasakan kemaluannya dari jima’. Jika bicara, dia berbicara dengan perkataan yang tidak merusak puasanya, hingga jadilah perkataannya baik dan amalannya shalih.
Inilah puasa yang disyari’atkan Allah, bukan hanya tidak makan dan minum semata serta tidak menunaikan syahwat. Puasa adalah puasanya anggota badan dari dosa, puasanya perut dari makan dan minum. Sebagaimana halnya makan dan minum merusak puasa, demikian pula perbuatan dosa merusak pahalanya, merusak buah puasa hingga menjadikan dia seperti orang yang tidak berpuasa.
Nabi ﷺ telah menganjurkan seorang muslim yang puasa untuk berhias dengan akhlak yang mulia dan shalih, menjauhi perbuatan keji, hina dan kasar. Perkara-perkara yang jelek ini walaupun seorang muslim diperintahkan untuk menjauhinya setiap hari, namun larangannya lebih ditekankan lagi ketika sedang menunaikan puasa yang wajib.
Seorang muslim yang puasa wajib menjauhi amalan yang merusak puasanya ini, hingga bermanfaatlah puasanya dan tercapailah ketaqwaan yang Allah sebutkan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS. Al-Baqarah/2 : 183)
Karena puasa adalah pengantar kepada ketaqwaan, puasa menahan jiwa dari banyak melakukan perbuatan maksiat berdasarkan sabda Rasulullah: الصِّيَامُ جُنَّةٌ -Puasa adalah perisai-1, telah kami jelaskan masalah ini dalam bab keutamaan puasa.
Inilah saudaraku se-Islam, amalan-amalan jelek yang harus kau ketahui agar engkau menjauhinya dan tidak terjatuh ke dalamnya, bagi Allah-lah untaian syair:
Aku mengenal kejelakan bukan untuk berbuat jelek tapi untuk menjauhinya
Barangsiapa yang tidak tahu kebaikan dari kejelekkan akan terjatuh padanya.
_______________
- HR. Bukhari dan Muslim_Telah berlalu Takhrijnya
- Perkataan Palsu
Dari Abu Hurairah, صلي الله عليه وسلم bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَعَمِلَ بِهِ فَلَيْسَ للهِ عزّوجلّحَاجَةً أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan (tetap) mengamalkannya, maka tidaklah Allah Azza wa Jalla butuh (atas perbuatannya meskipun) meninggalkan makan dan minumnya” (HR. Bukhari 4/99)
- Perbuatan Sia-Sia Dan Kotor
Dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda.
لَيْسَصِّيَامُ مِنَ الْأَكْلِ وَالشَّرَابِ إِنَّـمَّا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ فَإِنْ سَابَّكَ أَوْ جَهِلَ عَلَيْكَ فَقُلْ إِنِّي صَائِمٌإِنِّي صَائِمٌ
“Puasa bukanlah dari makan, minum (semata), tetapi puasa itu menahan diri dari perbuatan sia-sia dan keji. Jika ada orang yang mencelamu, katakanlah : Aku sedang puasa, aku sedang puasa ” (HR. Ibnu Khuzaimah 1996, Al-Hakim 1/430-431, sanadnya SHAHIH)
Oleh karena itu Rasulullah ﷺ mengancam dengan ancaman yang keras terhadap orang-orang yang melakukan perbuatan tercela ini.Bersabda As-Shadiqul Masduq yang tidak berkata kecuali wahyu yang diwahyukan Allāh ﷻ kepadanya.
رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ وَالْعَطَشُ
“Berapa banyak orang yang puasa, bagian (yang dipetik) dari puasanya hanyalah lapar dan haus (semata)” (HR. Ibnu Majah 1/539, Darimi 2/211, Ahmad 2/441,373, Baihaqi 4/270 dari jalan Said Al-Maqbari dari Abu Hurairah. Sanadnya SHAHIH)
Sebab terjadinya yang demikian adalah karena orang-orang yang melakukan hal tersebut tidak memahami hakekat puasa yang Allah perintahkan atasnya, sehingga Allah memberikan ketetapan atas perbuatan tersebut dengan tidak memberikan pahala kepadanya. (Lihat Al-Lu’lu wal Marjan fima Ittafaqa ‘alaihi Asy-Syaikhani 707 dan Riyadhis Shalihin 1215)
Oleh sebab itu Ahlul Ilmi dari generasi pendahulu kita yang shaleh membedakan antara larangan dengan makna khusus dengan ibadah hingga membatalkannya dan membedakan antara larangan yang tidak khusus dengan ibadah hingga tidak membatalkannya. (Rujuklah: Jami’ul Ulum wal Hikam hal. 58 oleh Ibnu Rajab)
Seorang hamba yang taat serta paham Al-Qur’an dan Sunnah tidak akan ragu bahwa Allah menginginkan kemudahan bagi hamba-hamba-Nya dan tidak menginginkan kesulitan. Allah dan Rasul-Nya telah membolehkan beberapa hal bagi orang yang puasa, dan tidak menganggapnya suatu kesalahan jika mengamalkannya. Inilah perbuatan-pebuatan tersebut beserta dalil-dalilnya.
- Memasuki Waktu Subuh Dalam Keadaan Junub
Di antara perbuatan صلي الله عليه وسلم adalah masuk fajar dalam keadaan junub karena jima’ dengan isterinya, beliau mandi setelah fajar kemudian shalat.
Dari Aisyah dan Ummu Salamah رضى الله عنهما, keduanya berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ
“Sesungguhnya Nabi صلي الله عليه وسلم memasuki waktu subuh dalam keadaan junub karena jima’ dengan isterinya, kemudian ia mandi dan berpuasa” (HR. Bukhari 4/123, Muslim 1109)
- Bersiwak
Rasulullah ﷺ bersabda:
لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوءٍ
“Seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya aku suruh mereka untuk bersiwak setiap kali wudlu” (HR. Bukhari 2/311, Muslim 252 semisalnya).
Rasulullah ﷺ tidak mengkhususkan bersiwak untuk orang yang puasa ataupun yang lainnya, hal ini sebagai dalil bahwa bersiwak itu diperuntukkan bagi orang yang puasa dan selainnya ketika wudlu dan shalat. (Inilah pendapat Bukhari Rahimahullah, demikian pula Ibnu Khuzaimah dan selain keduanya. Lihat Fathul Bari 4/158, Shahih Ibnu Khuzaimah 3/247, Syarhus Sunnah 6/298)
Demikian pula hal ini umum di seluruh waktu sebelum zawal (tergelincir matahari) atau setelahnya. Wallahu ‘alam.
- Berkumur dan Istinsyaq
Karena beliau صلي الله عليه وسلم berkumur dan beristinsyaq (memasukkan air ke hidung) dalam keadan puasa, tetapi melarang orang yang berpuasa berlebihan ketika beristinsyaq.
Rasulullah ﷺ bersabda:
وَبَا لِغْ فِى الأِ سْتِنْثَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُونُ صَا ئِمًا
“Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq kecuali dalam keadaan puasa”1
* * *
- HR. Tirmidzi 3/146, Abu Daud 2/308, Ahmad 4/32, Ibnu Abi Syaibah 3/101, Ibnu Majah 407, An-Nasaai no. 87 dari Laqith bin Shabrah, sanadnya SHAHIH.
- Bercengkrama dan Mencium Isteri
Aisyah ?رضي الله عنها pernah berkata:
كَا نَ رَسُولُ الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ وَهُوَ صَا ئِمٌ وَيُبَا ثِرُ وَهُوَ صَا ئِمٌ وَلَكِنَّحُ كَانَ أَمْلَكَكُم لِاِرْبِهِ
“Adalah Rasulullah ﷺ pernah mencium dalam keadaan berpuasa dan bercengkrama dalam keadaan puasa, akan tetapi beliau adalah orang yang paling bisa menahan diri” (HR. Bukhari 4/131, Muslim 1106)
“Kami pernah berada di sisi Nabi صلي الله عليه وسلم, datanglah seorang pemuda seraya berkata, “Ya Rasulullah, bolehkah aku mencium dalam keadaan puasa ?” Beliau menjawab, “Tidak”. Datang pula seorang yang sudah tua dan dia berkata : “Ya Rasulullah, bolehkah aku mencium dalam keadaan puasa ?”. Beliau menjawab: “Ya” sebagian kami memandang kepada teman-temannya, maka Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ الشَيْخَ يَـمْلِكُ نَفْسَهُ
“Sesungguhnya orang tua itu (lebih bisa) mengendalikan nafsunya”.1
* * *
- HR. Ahmad 2/185,221 dari jalan Ibnu Lahi’ah dari yazid bin Abu Hubaib dari Qaushar At-Tufibi darinya. Sanadnya dhaif karena dhaifnya Ibnu Lahi’ah, tetapi punya syahid (pendukung) dalam riwayat Thabrani dalam Al-Kabir 11040 dari jalan Habib bin Abi Tsabit dari Mujahid dari Ibnu Abbas, Habib seorang mudallis dan telah ‘an-‘anah, dengan syahid ini haditsnya menjadi hasan, lihat Faqih AL-Mutafaqih 192-193 karena padanya terdapat hadits dari jalan-jalan yang lain.
- Mengeluarkan Darah dan Suntikan yang Tidak Mengandung Makanan
Hal ini1 bukan termasuk pembatal puasa, lihat pada pembahasan selanjutnya.
- Berbekam
Dahulu berbekam merupakan salah satu pembatal puasa, namun kemudian dihapus dan telah ada hadits shahih dari Nabi صلي الله عليه وسلم, bahwa beliau berbekam ketika puasa. Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas رضى الله عنهما:
أَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْتَجَمَ وَهُوَ صَا ئِمٌ
“Sesungguhnya Nabiصلي الله عليه وسلم berbekam, padahal beliau sedang berpuasa” (HR. Bukhari 4/155-Fath, Lihat Nasikhul Hadits wa Mansukhuhu 334-338 karya Ibnu Syahin)
* * *
- Lihat Risalatani Mujizatani fiz Zakati Washiyami hal.23 Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullah.
- Mencicipi Makanan
Hal ini dibatasi, yaitu selama tidak sampai di tenggorokan berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas رضى الله عنهما:
لاَبَأْسَ أَنْ يَذُوقَ الْـخَلَّ أَوِ الشَّيءٍ مَالَمْ يَدْخِلْ حَلْقَهُ وَهُوَ صَائِمٌ
“Tidak mengapa mencicipi sayur atau sesuatu yang lain dalam keadaan puasa, selama tidak sampai ke tenggorokan” (HR. Bukhari secara mu’allaq 4/154-Fath, dimaushulkan Ibnu Abi Syaibah 3/47, Baihaqi 4/261 dari dua jalannya, hadits ini Hasan. Lihat Taghliqut Ta’liq 3/151-152)
- Bercelak, Memakai Tetes Mata dan Lainnya Yang Masuk Ke Mata
Benda-benda ini tidak membatalkan puasa, baik rasanya yang dirasakan di tenggorokan atau tidak. Inilah yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam risalahnya yang bermanfaat dengan judul Haqiqatus Shiyam serta murid beliau yaitu Ibnul Qayim dalam kitabnya Zadul Ma’ad, Imam bukhari berkata dalam shahihnya1 “Anas bin Malik, Hasan Al-Bashri dan Ibrahim An-Nakha’i memandang, tidak mengapa bagi yang berpuasa”.
* * *
- (4/153-Fath), silahkan bandingkan dengan Mukhtashar Shahih Bukhari 451 karya Syaikh kami Al-Albani Rahimahullah, dan Taghliqut Ta’liq 3/151-152.
- Mengguyurkan Air Ke Atas Kepala dan Mandi
Bukhari menyatakan dalam kitab Shahihnya1 Bab: Mandinya Orang Yang Puasa, Umar membasahi2 bajunya kemudian dia memakainya ketika dalam keadaan puasa. As-Sya’bi masuk kamar mandi dalam keadaan puasa. Al-Hasan berkata: “Tidak mengapa berkumur-kumur dan memakai air dingin dalam keadaan puasa”.
Dalam satu riwayat disebutkan:
وَكَانَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُبُّالْمَاءَ عَلَى رَأْسِهِ وَهُوَ صَائِمٌ مِنَ الْعَطَشِ أَوْ مِنَ الْحَرِّ
Rasulullah ﷺ mengguyurkan air ke kepalanya dalam keadaan puasa karena haus atau kepanasan.3
* * *
- Lihat maraji’ di atas.
- Membasahi dengan air untuk mendinginkan badannya karena haus ketika puasa.
- HR. Abu Daud 2365, Ahmad 5/376,380,408,430 sanadnya shahih.
- Musafir
Banyak hadits shahih membolehkan musafir untuk tidak puasa, kita tidak lupa bahwa rahmat ini disebutkan di tengah-tengah kitab-Nya yang Mulia, Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang berfirman:
وَمَن كَانَ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu, pada hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS. Al-Baqarah/2: 185)
Hamzah bin Amr Al-Aslami bertanya kepada Rasulullah ﷺ: “Apakah boleh aku berpuasa dalam safar?” -dia banyak melakukan safar- maka Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنْ شِئْتَ فَصُمْ وَإِنْ شِئْتَ فَأَفْطِرْ
“Berpuasalah jika kamu mau dan berbukalah jika kamu mau” (HR.Bukhari 4/156 dan Muslim 1121)
Dari Anas bin Malik رضي الله عنه berkata:
كُنَّا نُسَافِرُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَعِبْ الصَّائِمُ عَلَى الْمُفْطِرِ وَلَا الْمُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ
“Aku pernah melakukan safar bersama Rasulullah ﷺ di bulan Ramadhan, orang yang puasa tidak mencela yang berbuka dan yang berbuka tidak mencela yang berpuasa” (HR. Bukhari 4/163 dan Muslim 1118)
Hadits-hadits ini menunjukkan bolehnya memilih, tidak menentukan mana yang afdhal, namun mungkin kita (bisa) menyatakan bahwa yang afdah adalah berbuka berdasarkan hadits-hadits yang umum, seperti sabda Rasulullah ﷺ:
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَي رُخَصُهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَي مَعْصِيَتَهُ
“Sesungguhnya Allah menyukai didatanginya rukhsah yang diberikan, sebagaimana Dia membenci orang yang melakukan maksiat” (HR. Ahmad 2/108, Ibnu Hibban 2742 dari Ibnu Umar dengan sanadnya yang Shahih)
Dalam riwayat lain disebutkan:
كَمَا يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَي عَزَائِمُهُ
“Sebagaimana Dia senang perintah-Nya dilaksanakan”1
Tetapi mungkin hal ini dibatasi bagi orang yang tidak merasa berat dalam mengqadha’ dan menunaikannya, agar rukhshah tersebut tidak melenceng dari maksudnya. Hal ini telah dijelaskan dengan gamblang dalam satu riwayat Abu Said Al-Khudri رضي الله عنه: “Para sahabat berpendapat barangsiapa yang merasa kuat kemudian puasa (maka) itu baik (baginya), dan barangsiapa yang merasa lemah kemudian berbuka (maka) itu baik (baginya)”2
Ketahuilah saudaraku seiman -mudah-mudahan Allah membimbingmu ke jalan petunjuk dan ketaqwaan serta memberikan rizki berupa pemahaman agama- sesungguhnya puasa dalam safar, jika memberatkan hamba bukanlah suatu kebajikan sedikitpun, tetapi berbuka lebih utama dan lebih dicintai Allah. Yang mejelaskan masalah ini adalah riwayat dari beberapa orang sahabat, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
لَيْسَ مِنْ الْبِرِّ الصَّوْمُ فِي السَّفَرِ
“Bukanlah suatu kebajikan melakukan puasa dalam safar” (HR. Bukhari 4/161 dan Muslim 1110 dari Jabir)
* * *
- HR. Ibnu Hibban 364, Al-Bazzar 990, At-Thabrani dalam Al-Kabir 11881 dari Ibnu Abbas dengan sanad yang Shahih. Dalam hadits -dengan dua lafadz ini- ada pembicaraan yang panjang, namun bukan di sini tempat menjelaskannya.
- HR. Tirmidzi 713, Al-Baghawi 1763 dari Abu Said, sanadnya Shahih walaupun dalam sanadnya ada Al-Jurairi, riwayat Abul A’la darinya termasuk riwayat yang paling Shahih sebagaimana dikatakan oleh Al-Ijili dan lainnya.
Peringatan
Sebagian orang ada yang menyangka bahwa pada zaman kita sekarang ini tidak diperbolehkan berbuka, sehingga (berakibat ada yang) mencela orang yang mengambil rukhsah tersebut, atau berpendapat bahwa puasa itu lebih baik karena mudah dan banyaknya sarana transportasi saat ini. Orang-orang seperti ini perlu kita usik ingatan mereka kepada firman Allah Yang Maha Mengetahui perkara ghaib dan nyata:
وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيّاً
“Dan tidaklah Tuhanmu lupa” (QS. Maryam/19: 64)
Dan juga firman-Nya:
وَاللّهُ يَعْلَمُ وَأَنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui” (QS. Al-Baqarah/2: 232)
Dan firman-Nya di tengah ayat tentang rukhshah berbuka dalam safar:
يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS. Al-Baqarah/2: 185)
Yakni, kemudahan bagi orang yang safar adalah perkara yang diinginkan, ini termasuk salah satu tujuan syar’iat. Cukup bagimu bahwa Dzat yang mensyari’atkan agama ini adalah pencipta zaman, tempat dan manusia. Dia lebih mengetahui kebutuhan manusia dan apa yang bermanfaat bagi mereka. Allāh ﷻ berfirman:
أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
“Apakah Allah Yang Menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui ?” (QS. Al-Mulk/67: 14)
Aku bawakan masalah ini agar seorang muslim tahu jika Allah dan Rasul-Nya sudah menetapkan suatu perkara, tidak ada pilihan lain bagi manusia, bahkan Allah memuji hamba-hamba-Nya yang mukmin yang tidak mendahulukan perkataan manusia di atas perkataan Allah dan Rasul-Nya:
سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
“Kami dengar dan kami taat, (Mereka berdo’a): “Ampunilah kami yang Tuhan kami dan kepada Engkau-lah tempat kembali” (QS.Al-Baqarah/2: 285)
- Orang Sakit
Allah membolehkan orang yang sakit untuk berbuka sebagai rahmat dari-Nya, dan kemudahan bagi orang yang sakit tersebut. Sakit yang membolehkan berbuka adalah sakit yang apabila dibawa berpuasa akan menyebabkan suatu madharat atau menjadi semakin parah penyakitnya atau dikhawatirkan terlambat kesembuhannya. Wallahu a’alam
- Wanita Haid dan Nifas
Ahlul ilmi telah bersepakat bahwa orang yang haid dan nifas tidak dihalalkan berpuasa, keduanya harus berbuka dan mengqadha, kalaupun keduanya puasa (maka puasanya) tidak sah. Akan datang penjelasannya, insya Allah.
- Kakek dan Nenek yang Sudah Lanjut Usia
Ibnu Abbas رضى الله عنهما berkata : “Kakek dan nenek yang lanjut usia, yang tidak mampu puasa harus memberi makan setiap harinya seorang miskin”1
Diriwayatkan oleh Daruquthni (2/207) dan dishahihkannya, dari jalan Manshur dari Mujahid dari Ibnu Abbas, beliau membaca ayat:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Orang-orang yang tidak mampu puasa harus mengeluarkan fidyah makan bagi orang miskin” (QS. Al-Baqarah/2: 184)
Kemudian beliau berkata: “Yakni lelaki tua yang tidak mampu puasa dan kemudian berbuka, harus memberi makan seorang miskin setiap harinya 1/2 gantang gandum” (Lihat ta’liq barusan)
Dari Abu Hurairah رضي الله عنه: “Barangsiapa yang mencapai usia lanjut dan tidak mampu puasa Ramadhan, harus mengeluarkan setiap harinya satu mud gandum” (Hadits Riwayat Daruquthni 2/208 dalam sanadnya ada Abdullah bin Shalih dia dhaif, tapi punya syahid)
Dari Anas bin Malik (bahwa) beliau lemah (tidak mampu untuk puasa) pada satu tahun, kemudian beliau membuat satu wadah Tsarid dan mengundang 30 orang miskin (untuk makan) hingga mereka kenyang. (Daruquthni 2/207, sanadnya Shahih)
* * *
- HR. Bukhari 4505, Lihat Syarhus Sunnah 6/316, Fathul bari 8/180. Nailul Authar 4/315. Irwaul Ghalil 4/22-25. Ibnul Mundzir menukil dalam Al-Ijma’ no. 129 akan adanya ijma (kesepakatan) dalam masalah ini.
- Wanita Hamil dan Menyusui
Di antara rahmat Allah yang agung kepada hamba-hamba-Nya yang lemah adalah Allah memberi rukhsah (keringanan) pada mereka untuk berbuka, dan diantara mereka adalah wanita hamil dan menyusui.
Dari Anas bin Malik1, ia berkata:”Kudanya Rasulullah ﷺ mendatangi kami, akupun mendatangi Rasulullah ﷺ, aku temukan beliau sedang makan pagi, beliau bersabda, “Mendekatlah, aku akan ceritakan kepadamu tentang masalah puasa..
إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلَاةِ وَعَنْ الْحَامِلِ أَوْ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوْ الصِّيَامَ
Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala menggugurkan 1/2 shalat atas orang musafir, menggugurkan atas orang hamil dan menyusui kewajiban puasa”.
Demi Allah, Rasulullah ﷺ telah mengucapkan keduanya atau salah satunya. Aduhai sesalnya jiwaku, kenapa aku tidak (mau) makan makanan Nabi صلي الله عليه وسلم” (HR. Tirmidzi 715, Nasa’i 4/180, Abu Daud 3408, Ibnu Majah 16687. Sanadnya Hasan sebagaimana pernyataan Tirmidzi)
* * *
- Dia adalah Al-Ka’bi, bukan Anas bin Malik Al-Anshari pembantu Rasulullah ﷺ, tapi ia adalah seorang pria dari bani Abdullah bin Ka’ab, pernah tinggal di Bashrah, beliau hanya meriwayatkan satu hadits saja dari Nabi, yakni hadits di atas.
- Kapan Orang yang Puasa Berbuka ?
Allah سبحانه و تعالى berfirman:
ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ
“Kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam” (QS. Al-Baqarah/2: 187)
Rasulullah ﷺ menafsirkan dengan datangnya malam dan perginya siang serta sembunyinya bundaran matahari. Kami telah membawakan (penjelasan ini pada pembasahan yang telah lalu,-ed) agar menjadi tenang hati seorang muslim yang mengikuti sunnatul huda.
Wahai hamba Allah, inilah perkataan-perkataan Rasulullah ﷺ ada di hadapanmu dapatlah engkau membacanya, dan keadaannya yang sudah jelas dan telah engkau ketahui, serta perbuatan para sahabatnya, ?رضي الله عنهم telah kau lihat, mereka telah mengikuti apa yang dibawa oleh Rasulullah ﷺ.
Imam Abdur Razaq telah meriwayatkan dalam Mushannaf 7591 dengan sanad yang dishahihkan oleh Al-Hafidz dalam Fathul Bari 4/199 dan al-Haitsami dalam Majma’ Zawaid 3/154 dari Amr bin Maimun Al-Audi:
كَنَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صلي الله عليه وسلم أَسْرَعَ النَّاسِ إِفْطَارًا وَبْطَأَهُمْ سَحُورًا
“Para sahabat Muhammad صلي الله عليه وسلم adalah orang-orang yang paling bersegera dalam berbuka dan paling akhir dalam sahur”
- Menyegerakan Berbuka
Wahai saudaraku seiman, wajib atasmu berbuka ketika matahari telah terbenam, janganlah dihiraukan oleh rona merah yang masih terlihat di ufuk, dengan ini berarti engkau telah mengikuti sunnah Rasuullah صلي الله عليه وسلم dan menyelisihi Yahudi dan Nasrani, karena mereka mengakhirkan berbuka. Pengakhiran mereka itu sampai pada waktu tertentu yakni hingga terbitnya bintang. Maka dengan mengikuti jalan dan manhaj Rasulullah ﷺ berarti engkau menampakkan syiar-syiar agama, memperkokoh petunjuk yang kita jalani, yang kita harapkan jin dan manusia berkumpul diatasnya. Hal-hal tersebut dijelaskan oleh Rasulullah ﷺ pada paragraf-paragraf yang akan datang.
- Menyegerakan Buka Berarti Menghasilkan Kebaikan.
Dari Sahl bin Sa’ad رضي الله عنه, Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا يَزَالُ اَلنَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا اَلْفِطْرَ
“Senantiasa manusia di dalam kebaikan selama menyegerakan bebuka” (HR.Bukhari 4/173 dan Muslim 1093)
- Menyegerakan Berbuka Adalah Sunnah Rasul صلي الله عليه وسلم
Jika umat Islamiyah menyegerakan berbuka berarti mereka tetap di atas sunnah Rasulullah ﷺ dan manhaj Salafus Shalih, dengan izin Allah mereka tidak akan tersesat selama “berpegang dengan Rasul mereka (dan) menolak semua yang merubah sunnah”.
Dari Sahl bin Sa’ad رضي الله عنه, Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا يَزَالُ أُمَّتِـي عَلَي سُنَّتِـي مَالَمْ تَنْتَظِرْ بِفِطْرِهَا النُّجُومَ
“Umatku akan senantiasa dalam sunnahku selama mereka tidak menunggu bintang ketika berbuka (puasa)”1.
- Menyegerakan Buka Berarti Menyelisihi Orang-orang yang Sesat dan Mendapat Murka (Yahudi dan Nashrani)
Tatkala manusia senantiasa berada di atas kebaikan dikarenakan mengikuti manhaj Rasul mereka, memelihara sunnahnya, karena sesungguhnya Islam (senantiasa) tetap tampak dan menang, tidak akan memudharatkan orang yang menyelisihinya, ketika itu umat Islam akan menjadi singa pemberani di lautan kegelapan, tauladan yang baik untuk diikuti, karena mereka tidak menjadi pengekor orang Timur dan Barat, (yaitu) pengikut semua yang berteriak, dan condong bersama angin kemana saja angin bertiup.
Dari Abu Hurairah رضي الله عنه, Rasulullah ﷺ bersabda:
ا يَزَالُ الدِّينُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ لِأَنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُونَ
“Agama ini akan senantiasa menang selama manusia menyegerakan berbuka, karena orang-orang Yahudi dan Nasrani mengakhirkannya” (HR. Abu Dawud 2/305, Ibnu Hibban 223, sanadnya Hasan)
Kami katakan: Hadits-hadits di atas mempunyai banyak faedah dan catatan-catatan penting, sebagai berikut:
- Kemenangan agama ini dan berkibarnya bendera akan tercapai dengan syarat menyelisihi orang-orang sebelum kita dari kalangan Ahlul Kitab, ini sebagai penjelasan bagi umat Islam, bahwa mereka akan mendapatkan kebaikan yang banyak, jika membedakan diri dan tidak condong ke Barat ataupun ke Timur, menolak untuk mengekor Kremlin atau mencari makan di Gedung Putih -mudah-mudahan Allah merobohkannya-, jika umat ini berbuat demikian mereka akan menjadi perhiasan diantara umat manusia, jadi pusat perhatian, disenangi oleh semua hati. Hal ini tidak akan terwujud, kecuali dengan kembali kepada Islam, berpegang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam masalah Aqidah dan Manhaj.
- Berpegang dengan Islam baik secara global maupun rinci, berdasarkan firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ ادْخُلُواْ فِي السِّلْمِ كَآفَّةً
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu dalam Islam secara kaffah (keseluruhan)” (QS.Al-Baqarah/2: 208)
Atas dasar inilah, maka ada yang membagi Islam menjadi inti dan kulit, (ini adalah pembagian) bid’ah jahiliyah modern yang bertujuan mengotori fikrah kaum muslimin dan memasukkan mereka ke dalam lingkaran kekhawatiran. (Hal ini) tidak ada asalnya dalam agama Allah, bahkan akhirnya akan merembet kepada perbuatan orang-orang yang dimurkai Allah, (yaitu) mereka yang mengimani sebagian kitab dan mendustakan sebagian yang lainnya; Kita diperintah untuk menyelisihi mereka secara global maupun terperinci, dan sungguh! kita mengetahui buah dari menyelisihi Yahudi dan Nasrani adalah tetap (tegak)nya agama lahir dan batin.
- Dakwah ke jalan Allah dan memberi peringatan kepada mukminin tidak akan terputus, perkara-perkara baru yang menimpa umat Islam tidak menyebabkan kita memilah syiar-syiar Allah, jangan sampai kita mengatakan seperti perkataan kebanyak mereka: “Ini perkara-perkara kecil, furu’. khilafiyah dan hawasyiyah, kita wajib meninggalkannya, kita pusatkan kesungguhan kita untuk perkara besar yang memecah belah shaf kita dan mencerai beraikan barisan kita.
Perhatikan wahai kaum muslimin, da’i ke jalan Allah di atas basyirah, engkau telah tahu dari hadits-hadits yang mulia bahwa jayanya agama ini bergantung pada disegerakannya berbuka puasa yang dilakukan tatkala lingkaran matahari telah terbenam, Maka bertaqwalah kepada Allah (wahai) setiap orang yang menyangka berbuka ketika terbenamnya matahari adalah fitnah, dan seruan untuk menghidupkan sunnah ini adalah dakwah yang sesat dan bodoh, menjauhkan umat Islam dari agamanya atau menyangka (hal tersebut) sebagai dakwah yang tidak ada nilainya, (yang) tidak mungkin seluruh muslimin berdiri di atasnya, karena hal itu adalah perkara furu’, khilafiyah atau masalah kulit!! Walaa haula walaa quwwata illa billah.
- Berbuka Sebelum Shalat Maghrib
Rasulullah ﷺ berbuka sebelum shalat Maghrib2 karena menyegerakan berbuka termasuk akhlaknya para nabi. Dari Abu Darda’ رضي الله عنه:
“Tiga perkara yang merupakan akhlak para nabi: menyegerakan berbuka, mengakhirkan sahur dan meletakkan tangan di atas tangan kiri dalam shalat”3
* * *
- HR. Ibnu Hibban (891) dengan sanad Shahih, asalnya -telah lewat dalam shahihain- Kami katakan : Syia’h Rafidhoh telah mencocoki Yahudi dan Nasrani dalam mengakhirkan buka hingga terbitnya bintang. Mudah-mudahan Allah melindungi kita semua dari kesesatan.
- HR. Ahmad (3/164), Abu Dawud (2356) dari Anas dengan sanad Hasan.
- HR. Thabrani dalam Al-Kabir sebagaimana dalam Al-Majma (2/105) dia berkata : “….. marfu’ dan mauquf shahih adapaun yang marfu’ ada perawi yang tidak aku ketahui biografinya”. Aku katakan Mauquf -sebagaimana telah jelas- mempunyai hukum marfu’.
- Berbuka Dengan Apa ?
Rasulullah ﷺ berbuka dengan korma, kalau tidak ada korma dengan air, ini termasuk kesempurnaan kasih sayang dan semangatnya Rasulullah ﷺ (untuk kebaikan) umatnya dan dalam menasehati mereka. Allah berfirman:
لَقَدْ جَاءكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan olehmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin” (QS. At-Taubah/9: 128)
Karena memberikan ke tubuh yang kosong sesuatu yang manis, lebih membangkitkan selera dan bermanfaat bagi badan, terutama badan yang sehat, dia akan menjadi kuat dengannya (korma). Adapun air, karena badan ketika dibawa puasa menjadi kering, jika didinginkan dengan air akan sempurna manfaatnya dengan makanan.
Ketahuilah wahai hamba yang taat, sesungguhnya korma mengandung berkah dan kekhususan -demikian pula air- dalam pengaruhnya terhadap hati dan mensucikannya, tidak ada yang mengetahuinya kecuali orang yang berittiba’. Dari Anas bin Malik رضي الله عنه (ia berkata):”Adalah Rasulullah ﷺ berbuka dengan korma basah (ruthab), jika tidak ada ruthab maka berbuka dengan korma kering (tamr), jika tidak ada tamr maka minum dengan satu tegukan air”1
* * *
- HR. Ahmad (3/163), Abu Dawud (2/306), Ibnu Khuzaimah (3/277,278), Tirmidzi 93/70) dengan dua jalan dari Anas, sanadnya shahih.
- Yang Diucapkan Ketika Berbuka
Ketahuilah wahai saudaraku yang berpuasa -mudah-mudahan Allah memberi taufiq kepada kita untuk mengikuti sunnah Nabi-Nya صلي الله عليه وسلم- sesungguhnya engkau punya do’a yang dikabulkan, maka manfaatkanlah, berdo’alah kepada Allah dalam keadaan engkau yakin akan dikabulkan,- ketahuilah sesungguhnya Allah tidak mengabulkan do’a dari hati yang lalai-. Berdo’alah kepada-Nya dengan apa yang kamu mau dari berbagai macam do’a yang baik, mudah-mudahan engkau bisa mengambil kebaikan di dunia dan akhirat.
Dari Abu Hurairah رضي الله عنه, Rasulullah ﷺ bersabda:
ثَلاَثَ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ دَعْوَةَ الصَّائِمِ دَعْوَةَ الـمَظْلُومِ دَعْوَةَ الـمُسَافِرِ
“Tiga do’a yang dikabulkan: do’anya orang yang berpuasa, do’anya orang yang terdhalimi dan do’anya musafir”1
Do’a yang tidak tertolak ini adalah ketika waktu engkau berbuka berdasarkan hadits dari Abu Hurairah رضي الله عنه bahwasanya Nabi صلي الله عليه وسلم bersabda:
ثَلاثٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ: الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالإِمَامُ الْعَادِلُ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ
“Tiga orang yang tidak akan ditolak do’anya: orang yang puasa ketika berbuka, Imam yang adil dan do’anya orang yang didhalimi”2
Dari Abdullah bin Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ لَدَعْوَةً مَاتُرَدُّ
“Sesungguhnya orang yang puasa ketika berbuka memiliki doa yang tidak akan ditolak”3
Do’a yang paling afdhal adalah do’a ma’tsur dari Rasulullah ﷺ, bahwa beliau jika berbuka mengucapkan:
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتْ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
“Telah hilang dahaga dan telah basah urat-urat, dan telah ditetapkan pahala Insya Allah”4
* * *
- HR. Uqaili dalam Ad-Dhu’afa’ (1/72), Abu Muslim Al-Kajji dalam Juz-u-nya, dan dari jalan Ibnu Masi dalam Juzul Anshari (ب/وق) sanadnya hasan kalau tidak ada ‘an-‘annah Yahya bin Abi Katsir, hadits ini punya syahid yaitu hadits selanjutnya.
- HR. Tirmidzi (2528), Ibnu Majah (1752), Ibnu Hibban (2407) ada ke-majhul -an Abu Mudillah.
- HR. Ibnu Majah (1/557), Hakim (1/422), Ibnu Sunni (128), Thayalisi (299) dari dua jalan Al-Bushiri berkata: (2/81) ini sanad yang shahih, perawi-perawinya tsiqat .
- HR. Abu Dawud 92/306), Baihaqi (4/239), Al-Hakim (1/422) Ibnu Sunni (128), Nasaai dalam ‘Amalul Yaum (296), Daruquthni (2/185) dia berkata: “sanadnya hasan”. Aku katakan: memang seperti ucapannya.
- Memberi Makan Orang yang Puasa
Bersemangatlan wahai saudaraku -mudah-mudahan Allah memberkatimu dan memberi taufik kepadamu untuk mengamalkan kebajikan dan taqwa- untuk memberi makan orang yang puasa karena pahalanya besar dan kebaikannya banyak.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
“Barangsiapa yang memberi buka orang yang puasa akan mendapatkan pahala seperti pahalanya orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun”1
Orang yang puasa harus memenuhi undangan (makan) saudaranya, karena barangsiapa yang tidak menghadiri undangan berarti telah durhaka kepada Abul Qasim صلي الله عليه وسلم, dia harus berkeyakinan bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan sedikitpun amal kebaikannya, tidak akan dikurangi pahalanya sedikitpun.
Orang yang diundang disunnahkan mendo’akan pengundangnya setelah selesai makan dengan do’a-do’a dari Nabi صلي الله عليه وسلم.
وَأَكَلَ طَعَامَكُمُ اْلأَبْرَارُ وَصَلَّتْ عَلَيْكُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَأَفْطَرَ عِنْدَكُمُ الصَّائِمُوْنَ
“Telah makan makanan kalian orang-orang bajik, dan para malaikat bershalawat (mendo’akan kebaikan) atas kalian, orang-orang yang berpuasa telah berbuka di sisi kalian”2
اَللَّهُمَّ أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِيْ وَاسْقِ مَنْ سَقَانِيْ
“Ya Allah, berilah makan orang yang memberiku makan berilah minum orang yang memberiku minum” (HR. Muslim 2055 dari Miqdad)
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُمْ وَارْحَمْهُمْ وَبَارِكْفِيْمَا رَزَقْتَهُمْ
“Ya Allah, ampunilah mereka dan rahmatilah, berilah barakah pada seluruh rizki yang Engkau berikan” (HR. Muslim 2042 dari Abdullah bin Busr)
* * *
- HR. Ahmad (4/144,115,116,5/192) Tirmidzi (804), ibnu Majah (1746), Ibnu Hibban (895), dishahihkan oleh Tirmidzi.
- HR. Abi Syaibah (3/100), Ahmad (3/118), Nasa’i dalam ‘Amalul Yaum” (268), Ibnu Sunni (129), Abdur Razaq (4/311) dari berbagai jalan darinya, sanadnya shahih.
Peringatan:
Apa yang ditambahkan oleh sebagian orang tentang hadits ini : “Allah menyebutkan di majlis-Nya” adalah tidak ada asalanya. Perhatikan !!
Banyak perbuatan yang harus dijauhi oleh orang yang puasa, karena kalau perbuatan ini dilakukan pada siang hari bulan Ramadhan akan merusak puasanya dan akan berlipat dosanya.1
_____________________
- Haid dan Nifas Membatalkan Puasa, namun tentunya tidak berdosa ~Ibnu Majjah
- Makan dan Minum Dengan Sengaja
Allah Azza Sya’nuhu berfirman:
وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam” (QS. Al-Baqarah/2: 187)
Difahami bahwa puasa itu (mencegah) dari makan dan minum, jika makan dan minum berarti telah berbuka, kemudian dikhususkan kalau sengaja, karena jika orang yang puasa melakukannya karena lupa, salah atau dipaksa, maka tidak membatalkan puasanya. Masalah ini berdasarkan dalil-dalil.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِذَا نَسِيَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ
“Jika ia lupa hingga makan dan minum, hendaklah menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah yang memberinya makan dan minum” (HR. Bukhari 4/135 dan Muslim 1155)
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ اللهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِي الْـخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِ هُوا عَلَيْهِ
“Allah meletakkan (tidak menghukum) umatku karena kesalahandan lupa serta karena dipaksa atas mereka”1
* * *
- HR. Thahawi dalam Syrahu Ma’anil Atsar 2/56, Al-Hakim 2/198, Ibnu Hazm dalam Al-Ihkam 5/149, Ad-Daruquthni 4/171 dari dua jalan yaitu dari Al-Auza’i dari Atha’ bin Abi Rabah dari Ubaid bin Umar, dari Ibnu Abbas, sanadnya Shahih.
- Muntah Dengan Sengaja
Karena barangsiapa yang muntah karena terpaksa tidak membatalkan puasanya. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَمَنْ اسْتَقَاءَ عَمْدًا فَلْيَقْضِ
“Barangsiapa yang terpaksa(tidak sengaja) muntah, maka tidak wajib baginya untuk mengqadha’ puasanya, dan barangsiapa muntah dengan sengaja, maka wajib baginya mengqadha’ puasanya”1
* * *
- HR. Abu Dawud 2/310, Tirmidzi 3/79, Ibnu Majah 1/536, Ahmad 2/498 dari jalan Hisyam bin Hasan, dari Muhammad bin Sirin, dari Abu Hurairah, sanadnya Shahih sebagaimana yang diucapkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Haqiqtus Shyam halaman 14.
- Haid dan Nifas
Jika seorang wanita haidh atau nifas, pada satu bagian siang, baik di awal ataupun di akhirnya, maka mereka harus berbuka dan mengqadha’ kalau puasa tidak mencukupinya. Rasulullah ﷺ bersabda:
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ قُلْنَ بَلَى قَالَ فَذَلِكِ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا
“Bukankah jika haid dia tidak shalat dan puasa ? Kami katakan: “Ya”, Beliau berkata : ‘Itulah (bukti) kurang agamanya” (HR. Muslim 79, dan 80 dari Ibnu Umar dan Abu Hurairah)
Dalam riwayat lain:
وَتَمْكُثُ اللَّيَالِي مَا تُصَلِّي وَتُفْطِرُ فِي رَمَضَانَ فَهَذَا نُقْصَانُ الدِّينِ
“Berdiam beberapa malam dan berbuka di bulan Ramadhan, ini adalah (bukti) kurang agamanya”
Perintah mengqadha’ puasa terdapat dalam riwayat Mu’adzah, dia berkata.
“Aku pernah bertanya kepada Aisyah رضي الله عنها: ‘ Mengapa orang haid mengqadha’ puasa tetapi tidak mengqadha shalat?’ Aisyah berkata:
‘Apakah engkau orang Haruri,1 Aku menjawab : ‘Aku bukan Haruri, tapi hanya (sekedar) bertanya’. Aisyah berkata : ‘Kamipun haidh ketika (bulan) puasa, tetapi kami hanya diperintahkan untuk mengqadha puasa, tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat” (HR. Bukhari 4/429 dan Muslim 335)
* * *
- Al-Haruri nisbat kepada Harura’ (yaitu) negeri yang jaraknya 2 mil dari Kufah, orang yang beraqidah Khawarij disebut Haruri karena kelompok pertama dari mereka yang memberontak kepada Ali di negeri tersebut, hingga dinisbatkan di sana. Demikian dikatakan oleh Al-Hafidz dalam Fathul Bari 4/424, dan lihat A Lubab 1/359 karya Ibnu Atsir. Mereka orang-orang Haruriyah mewajbkan wanita-wanita yang telah suci daari Haid untuk mengqadha shalat yang terluput semasa haidnya. Aisyah khawatir Mu’adzah menerima pertanyaan dari Khawrij, yang mempunyai kebiasaan menentang sunnah dengan pikiran mereka, orang-orang seperti mereka pada zaman ini banyak, Lihat pasal At-Tautsiq ‘anillah wa ra rasuluhi dari tuliasan Dirasat Manhajiyat fi Aqidah As-Salafiyah karya Salim Al-Hilaly.
- Suntikan yang Mengandung Makanan
Yaitu menyalurkan zat makanan ke perut dengan maksud memberi makan bagi orang sakit. Suntikan seperti ini membatalkan puasa, karena memasukkan makanan kepada orang yang puasa.1 Adapun jika suntikan tersebut tidak sampai kepada perut tetapi hanya ke darah, maka itupun juga membatalkan puasa, karena cairan tersebut kedudukannya menggantikan kedudukan makanan dan minuman. Kebanyakan orang yang pingsan dalam jangka waktu yang lama diberikan makanan dengan cara seperti ini, seperti jauluz (Glukosa/Dextrosa) dan salayin (Cairan Garam/Natrium Clorida (NaCl)), demikian pula yang dipakai oleh sebagian orang yang sakit asma, inipun membatalalkan puasa.
* * *
- Lihat Haqiqatus Shiyam halaman 15, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
- Jima’
Imam Syaukani berkata (Dararul Mudhiyah 2/22) : “Jima’ dengan sengaja, tidak ada ikhtilaf (perbedaan pendapat) padanya bahwa hal tersebut membatalkan puasa, adapaun jika jima’ tersebut terjadi karena lupa, maka sebagian ahli ilmu menganggapnya sama dengan orang yang makan dan minum dengan tidak sengaja”
Ibnul Qayyim berkata (Zaadul Ma’ad 2/66): “Al-Qur’an menunjukkan bahwa jima’ membatalkan puasa seperti halnya makan dan minum, tidak ada perbedaan pendapat akan hal ini”.
Dalilnya adalah firman Allah:
فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللّهُ لَكُمْ
“Sekarang pergaulilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kalian” (QS. Al-Baqarah/2: 187)
Diizinkannya bergaul (dengan istri) di malam hari, (maka bisa) difahami dari sini bahwa puasa itu dari makan, minum dan jima’. Barangsiapa yang merusak puasanya dengan jima’ harus mengqadha’ dan membayar kafarat, dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah رضي الله عنه (dia berkata) :
“Pernah datang seseorang kepada Rasulullah ﷺ kemudian ia berkata, ‘Ya Rasulullah binasalah aku!’ Rasulullah bertanya, ‘Apa yang membuatmu binasa?’ Orang itu menjawab, ‘Aku menjimai istriku di bulan Ramadhan’. Rasulullah bersabda, ‘Apakah kamu mampu memerdekakan seorang budak?’ Orang itu menjawb, ‘Tidak’. Rasulullah bersabda, ‘Apakah engkau mampu memberi makan enam puluh orang miskin?’ Orang itu menjawab, ‘Tidak’ Rasulullah bersabda, ‘Duduklah’. Diapun duduk. Kemudian ada yang mengirim satu wadah korma kepada Nabi صلي الله عليه وسلم. Rasulullah bersabda, ‘Bersedekahlah’, Orang itu berkata, ‘Tidak ada di antara dua kampung ini keluarga yang lebih miskin dari kami’. Maka Nabiصلي الله عليه وسلم pun tertawa hingga terlihat gigi serinya, lalu beliau bersabda, ‘Ambillah, berilah makan keluargamu”1
* * *
- Hadits Shahih dengan berbagai lafadz yang berbeda dari Bukhari 11/516, Muslim 1111, Tirmidzi 72, Baghwai 6/288, Abu Dawud 2390, Ad-Darimi 2/11, Ibnu Majah 1617, Ibnu Abi Syaibah 2/183-184, Ibnu Khuzaimah 3/216, Ibnul Jarud 139, Syafi’i 199, Malik 1/297, Abdur Razaq 4/196, sebagian memursalkan, sebagian riwayat mereka ada tambahan: “Qadhalah satu hari sebagai gantinya”. Dishahihkan oleh Al-Hafidz dalam Fathul Bari 11/516, memang demikian.
- Qadha’ Tidak Wajib Segera Dilakukan
Ketahuilah wahai sauadaraku se-Islam -mudah-mudahan Allah memberikan pemahaman agama kepada kita- bahwasanya mengqdha’ puasa Ramadhan tidak wajib dilakukan segera, kewajibannya dengan jangka waktu yang luas berdasarkan satu riwayat dari Sayyidah Aisyah ?رضي الله عنها, dia berkata: “Aku punya hutang puasa Ramadhan dan tiak bisa mengqadha’nya kecuali di bulan Sya’ban” (HR. Bukhari 4/166, Muslim 1146)
Berkata Al-Hafidz di dalam Al-Fath 4/191: “Dalam hadits ini sebagai dalil atas bolehnya mengakhirkan qadha’ Ramadhan secara mutlak, baik karena udzur ataupun tidak”.
Sudah diketahui dengan jelas bahwa bersegera dalam mengqadha’ lebih baik daripada mengakhirkannya, karena masuk dalam keumuman dalil yang menunjukkan untuk bersegera dalam berbuat baik dan tidak menunda-nunda, hal ini didasarkan ayat dalam Al-Qur’an.
وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ
“Bersegeralah kalian untuk mendapatkan ampunan dari Rabb kalian” (QS. Ali Imran/3: 133)
أُوْلَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ
“Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya” (QS. Al-Mu’minuun/23: 61)
- Tidak Wajib Berturut-Turut Dalam Mengqadha’ Karena Ingin Menyamakan Dengan Sifat Penunaiannya
Berdasarkan firman Allah pada surah Al-Baqarah ayat 185:
فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain”(QS. Al-Baqarah/2: 185)
Dan Ibnu Abbas رضي الله عنهما berkata: “Tidak mengapa dipisah-pisah (tidak berturut-turut)”1
Abu Hurairah berkata: “Diselang-selingi kalau mau” (Lihat Irwaul Ghalil 4/95)
Adapun yang diriwayatkan Al-Baihaqi 4/259, Daruquthni 2/191-192 dari jalan Abdurrahman bin Ibrahim dari Al’Ala bin Abdurrahman dari bapaknya dan Abu Hurairah secara marfu’. “Barangsiapa yang punya hutang puasa Ramadhan, hendaknya diqadha’ secara berturut-turut tidak boleh memisahnya”, Ini adalah riwayat yang Dhaif.
Daruquthni bekata: Abdurrahman bin Ibrahim Dhaif.
Al-Baihaqi berkata: Dia (Abdurrahman bin Ibrahim) di dhaifkan oleh Ma’in, Nasa’i dan Daruquthni”.
Ibnu Hajar menukilkan dalam Talkhisul Habir 2/206 dari Abi Hatim bahwa beliau mengingkari hadits ini karena Abdurrahman.
Syaikh kami Al-Albany رحمه الله telah membuat penjelasan dhaifnya hadits ini dalam Irwa’ul Ghalil no. 943. Adapun yang terdapat dalam Silsilah Hadits Dhaif 2/137 yang terkesan bahwa beliau menghasankannya dia ruju’ dari pendapatnya.
Peringatan:
Kesimpulannya, tidak ada satupun hadits yang marfu’ dan shahih -menurut pengetahuan kami- yang mejelaskan keharusan memisahkan atau secara berturut-turut dalam mengqadha’, namun yang lebih mendekati kebenaran dan mudah (dan tidak memberatkan kaum muslimin,-ed) adalah dibolehkan kedua-duanya. Demikian pendapatnya Imam Ahlus Sunnah Ahmad bin Hanbal رحمه الله. Abu Dawud berkata dalam Al-Masail-nya hal. 95 : “Aku mendengar Imam Ahmad ditanya tentang qadha’ Ramadhan” Beliau menjawab : “Kalau mau boleh dipisah, kalau mau boleh juga berturut-turut”. Wallahu ‘alam.
Oleh karena itu dibolehkannya memisahkan tidak menafikan dibolehkannya secara berturut-turut.
* * *
- Bukhari 4/189 secara mu’allaq, dimaushulkan sandnya oleh ‘Abdurrazaq dan Daruquthni dan Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahih. Lihat juga kitab Taqhliiqut Ta’liiq 3/186.
- Ulama Telah Sepakat Bahwa Barangsiapa yang Wafat dan Punya Hutang Shalat, Maka Walinya Apa Lagi Orang Lain Tidak Bisa Mengqadha’nya
Begitu pula orang yang tidak mampu puasa, tidak boleh dipuasakan oleh anaknya selama dia hidup, tapi dia harus mengeluarkan makanan setiap harinya untuk seorang miskin, sebagaimana yang dilakukan Anas dalam satu atsar yang kami bawakan tadi.
Namun barangsiapa yang wafat dalam keadaan mempunyai hutang nadzar puasa, harus dipuasakan oleh walinya berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ.
مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صَوْمٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ
“Barangsiapa yang wafat dan mempunyai hutang puasa nadzar hendaknya diganti oleh walinya” (HR. Bukhari 4/168, Muslim 1147)
Dan dari Ibnu Abbas رضى الله عنهما, ia berkata: “Datang seseorang kepada Rasulullah ﷺ kemudian berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku wafat dan dia punya hutang puasa setahun, apakah aku harus membayarnya?” Rasulullah ﷺ menjawab: “Ya, hutang kepada Allah lebih berhak untuk dibayar” (HR. Bukhari 4/168, Muslim 1148)
Hadits-hadits umum ini menegaskan disyariatkannya seorang wali untuk puasa (mempuasakan) mayit dengan seluruh macam puasa, demikian pendapat sebagian Syafi’iyah dan madzhabnya Ibnu Hazm (7/2,8).
Tetapi hadits-hadits umum ini dikhususkan, seorang wali tidak puasa untuk mayit kecuali dalam puasa nadzar, demikian pendapat Imam Ahmad seperti yang terdapat dalam Masa’il Imam Ahmad riwayat Abu Dawud hal. 96 dia berkata: Aku mendengar Ahmad bin Hambal berkata: “Tidak berpuasa atas mayit kecuali puasa nadzar”. Abu Dawud berkata, “Puasa Ramadhan ?”. Beliau menjawab, “Memberi makan”.
Inilah yang menenangkan jiwa, melapangkan dan mendinginkan hati, dikuatkan pula oleh pemahaman dalil karena memakai seluruh hadits yang ada tanpa menolak satu haditspun dengan pemahaman yang selamat khususnya hadits yang pertama. Aisyah tidak memahami hadits-hadits tersebut secara mutlak yang mencakup puasa Ramadhan dan lainnya, tetapi dia berpendapat untuk memberi makan (fidyah) sebagai pengganti orang yang tidak puasa Ramadhan, padahal beliau adalah perawi hadits tersebut, dengan dalil riwayat ‘Ammarah bahwasanya ibunya wafat dan punya hutang puasa Ramadhan kemudian dia berkata kepada Aisyah: “Apakah aku harus mengqadha’ puasanya ?” Aisyah menjawab: “Tidak, tetapi bersedekahlah untuknya, setiap harinya setengah gantang untuk setiap muslim”. Diriwayatkan Thahawi dalam Musykilat Atsar 3/142, Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 7/4, ini lafadz dalam Al-Muhalla, dengan sanad sahih.
Sudah disepakati bahwa rawi hadits lebih tahu makna riwayat hadits yang ia riwayatkan. Yang berpendapat seperti ini pula adalah Hibrul Ummah Ibnu Abbas رضي الله عنهما, beliau berkata : “Jika salah seorang dari kalian sakit di bulan Ramadhan kemudian wafat sebelum sempat puasa, dibayarkan fidyah dan tidak perlu qadha’, kalau punya hutang nadzar diqadha’ oleh walinya” Diriwayatkan Abu Dawud dengan sanad shahih dan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 7/7, beliau menshahihkan sanadnya.
Sudah maklum bahwa Ibnu Abbas رضى الله عنهما adalah periwayatan hadits kedua, lebih khusus lagi beliau adalah perawi hadits yang menegaskan bahwa wali berpuasa untuk mayit puasa nadzar. Sa’ad bin Ubadah minta fatwa kepada Nabi صلي الله عليه وسلم ” Ibuku wafat dan beliau punya hutang puasa nadzar?” Beliau bersabda : “Qadha’lah untuknya”. Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim serta lainnya.
Perincian seperti ini sesuai dengan kaidah ushul syari’at sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dalam I’lamul Muwaqi’in dan ditambahkan lagi penjelasannya dalam Tahdzibu Sunan Abi Dawud 3/279-282. (Wajib) atasmu untuk membacanya karena sangat penting.
- Barangsiapa yang wafat dan punya hutang puasa nadzar dibolehkan diqadha’ oleh beberapa orang sesuai dengan jumlah hutangnya
Al-Hasan berkata : “Kalau dibayarkan oleh tiga puluh orang, yakni setiap orang mewakili satu hari yang ditinggalkan, maka hal itu dibolehkan”1
Diperbolehkan juga memberi makan kalau walinya mengumpulkan orang miskin sesuai dengan hutangnya, kemudian mengenyangkan mereka, demikian perbuatan Anas bin Malik رضي الله عنه.
* * *
- Bukhari 4/112 secara mu’allaq, dimaushulkan oleh Daruquthni dalam Kitabul Mudabbaj, dishahihkan sanadnya oleh Syaikhuna Al-Albany dalam Mukhtashar Shahih Bukhari 1/58.
- Kafarat Bagi Laki-Laki Yang Menjima’i Isterinya
Telah lewat hadits Abu Hurairah رضي الله عنه, tentang laki-laki yang menjima’i isterinya di siang hari bulan Ramadhan, bahwa dia harus mengqadha’ puasanya dan membayar kafarat yaitu: membebaskan seorang budak, kalau tidak mampu makan puasa dua bulan berturut-turut, kalau tidak mampu maka memberi makan enam puluh orang miskin.
Ada yang mengatakan : Kafarat jima’ itu boleh dipilih secara tidak tertib (yaitu tidak urut seperti yang dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah, -ed), tetapi yang meriwayatkan dengan tertib (sesuai urutannya, -ed) perawinya lebih banyak, maka riwayatnya lebih rajih karena perawinya lebih banyak jumlahnya dan padanya terdapat tambahan ilmu, mereka sepakat menyatakan tentang batalnya puasa karena jima’. Tidak pernah terjadi hal seperti ini dalam riwayat-riwayat lain, dan orang yang berilmu menjadi hujjah atas yang tidak berilmu, yang menganggap lebih rajih yang tertib disebabkan karena tertib itu lebih hati-hati, karena itu berpegang dengan tertib sudah cukup, baik bagi yang menyatakan boleh memilih atau tidak, berbeda dengan sebaliknya.
- Gugurnya Kafarat
Barang siapa yang telah wajib membayar kafarat, namun tidak mampu mebebaskan seorang budak ataupun puasa (dua bulan berturut-turut) dan juga tidak mampu memberi makan (enam puluh orang miskin), maka gugurlah kewajibannya membayar kafarat, karena tidak ada beban syari’at kecuali kalau ada kemampuan. Allah berfirman:
لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا
“Allah tidak membebani jiwa kecuali sesuai kemampuan” (QS. Al-Baqarah/2: 286)
Dan dengan dalil Rasulullah ﷺ menggugurkan kafarat dari orang tersebut, ketika mengabarkan kesulitannya dan memberinya satu wadah korma untuk memberikan keluarganya.
- Kafarat Hanya Bagi Laki-Laki
Seorang wanita tidak terkena kewajiban membayar kafarat, karena ketika dikhabarkan kepada Rasulullah ﷺ perbuatan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan, beliau hanya mewajibkan satu kafarat saja. Wallahu ‘alam.
- Bagi Siapa Fidyah Itu ?
Bagi ibu hamil dan menyusui jika dikhawatirkan keadaan keduanya, maka diperbolehkan berbuka dan memberi makan setiap harinya seorang miskin, dalilnya adalah firman Allah:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan orang-orang yang tidak mampu berpuasa hendaknya membayar fidyah, dengan memberi makan seorang miskin” (QS. Al-Baqarah/2: 184)
Sisi pendalilannya, bahwasanya ayat ini adalah khusus bagi orang-orang yang sudah tua renta (baik laki-laki maupun perempuan), orang yang sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya, ibu hamil dan menyusui, jika dikhawatirkan keadaan keduanya, sebagaimana akan datang penjelasannya dari Ibnu Abbas رضى الله عنهما.
- Penjelasan Ibnu Abbas
Engkau telah mengetahui wahai saudaraku seiman, bahwasanya dalam pembahasan yang lalu ayat ini mansukh berdasarkan dua hadits Abdullah bin Umar dan Salamah bin Al-Akwa رضى الله عنهما, tetapi ada riwayat dari Ibnu Abbas yang menegaskan bahwa ayat ini tidak mansukh dan ini berlaku bagi laki-laki dan wanita yang sudah tua dan bagi orang yang tidak mampu berpuasa, maka hendaknya mereka memberi makan setiap hari seorang miskin.(Hadits Riwayat Bukhari 8/135)
Oleh karena itu Ibnu Abbas رضى الله عنهما dianggap menyelisihi jumhur sahabat atau pendapatnya saling bertentangan, lebih khusus lagi jika engkau mengetahui bahwasanya beliau menegaskan adanya mansukh. Dalam riwayat lain (disebutkan): “Diberi rukhsah bagi laki-laki dan perempuan yang sudah tua yang tidak mampu berpuasa, hendaknya berbuka kalau mau, atau memberi makan seorang miskin dan tidak ada qadha’, kemudian dimansukh oleh ayat:
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Karena itu, barangsiapa diantara kamu hadir di bulan itu (Ramadhan-ed) maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” (QS. Al-Baqarah/2: 185)
Telah shahih bagi kakek dan nenek yang sudah tua jika tidak mampu berpuasa, ibu hamil dan menyusui yang khawatir keadaan keduanya untuk berbuka, kemudian memberi makan setiap harinya seorang miskin. (Ibnu Jarud 381, Al-Baihaqi 4/230, Abu Dawud 2318 sanadnya Shahih)
Sebagian orang ada yang melihat dhahir riwayat yang lalu, yaitu riwayat Bukhari pada kitab Tafsir dalam Shahihnya yang menegaskan tidak adanya naskh, hingga mereka menyangka Hibrul Ummat (Ibnu Abbas رضى الله عنهما) menyelisihi jumhur, tetapi tatkala diberikan riwayat yang menegaskan adanya naskh, mereka menyangka adanya saling pertentangan !
- Yang Benar Ayat Tersebut (Al-Baqarah: 185) Mansukh
Yang benar dan tidak diragukan lagi ayat tersebut adalah mansukh, tetapi dalam pengertian orang-orang terdahulu, karena Salafus Shalih رضي الله عنهم menggunakan kata nask untuk menghilangkan pemakaian dalil-dalil umum, mutlak dan dhahir dan selainnya, adapun dengan mengkhususkan atau mengaitkan atau menunjukkan yang mutlak kepada muqayyad, penafsirannya, penjelasannya sehingga mereka menamakan istisna’ (pengecualian), syarat dan sifat sebagai naskh. Karena padanya mengandung penghilangan makna dan dhahir maksud lafadz tersebut. Naskh dalam bahasa arab menjelaskan maksud tanpa memakai lafadz tersebut, bahkan (bisa juga) dengan sebab dari luar. (Lihat I’lamul Muwaqi’in 1/35 karya Ibnu Qayyim dan Al-Muwafaqat 3/118 karya As-Syatibi)
Sudah diketahui bahwa barangsiapa yang memperhatikan perkataan mereka (orang arab) akan melihat banyak sekali contoh masalah tersebut, sehingga akan hilanglah musykilat (problema) yang disebabkan memaknakan perkataan Salafus Shalih dengan perngetian yang baru yang mengandung penghilangan hukum syar’i terdahulu dengan dalil syar’i muataakhirin yang dinisbatkan kepada mukallaf.
- Ayat Tersebut Bersifat Umum
Yang menguatkan hal ini, ayat di atas adalah bersifat umum bagi seluruh mukallaf yang mencakup orang yang bisa berpuasa atau tidak bisa puasa. Penguat hal ini dari sunnah adalah apa yang diriwayatkan Imam Muslim dan Salamah bin Al-Akwa رضي الله عنه : “Kami pernah pada bulan Ramadhan bersama Rasulullah ﷺ, barangsiapa yang mau puasa maka puasalah, dan barangsiapa yang mau berbuka maka berbukalah, tetapi harus berbuka dengan memberi fidyah kepada seorang miskin, hingga turun ayat:
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Karena itu, barangsiapa diantara kamu hadir di bulan itu (Ramadhan-ed) maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” (QS. Al-Baqarah/2: 185)
Mungkin adanya masalah itu terjadi karena hadits Ibnu Abbas yang menegaskan adanya nash bahwa rukhsah (keringanan) itu untuk laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia dan tidak mampu berpuasa, tetapi masalah ini akan hilang jika jelas bagimu bahwa hadits tersebut hanya sebagai dalil bukan membatasi orangnya, dalil untuk memahami hal ini terdapat pada hadits itu sendiri. Jika rukhsah tersebut hanya untuk laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia saja kemudian dihapus (dinaskh), hingga tetap berlaku bagi laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia, maka apa makna rukhsah yang ditetapkan dan yang dinafikan itu jika penyebutan mereka bukan sebagai dalil ataupun pembatasan ?
Jika engkau telah merasa jelas dan yakin, serta berpendapat bahwa makna ayat mansukh bagi orang yang mampu berpuasa, dan tidak mansukh bagi yang tidak mampu berpuasa, hukum yang pertama mansukh dengan dalil Al-Qur’an adapun hukum kedua dengan dalil dari sunnah dan tidak akan dihapus sampai hari kiamat.
Yang menguatkan hal ini adalah pernyataan Ibnu Abbas dalam riwayat yang menjelaskan adanya naskh: “Telah tetap bagi laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia dan tidak mampu berpuasa, serta wanita yang hamil dan menyusui jika khawatir keadaan keduanya, untuk berbuka dan memberi makan orang miskin setiap harinya”.
Dan yang menambah jelas lagi hadits Muadz bin Jabal رضي الله عنه : “Adapun keadaan-keadaan puasa Rasulullah ﷺ datang ke Madinah menetapkan puasa selama tiga hari setiap bulannya, dan puasa Asyura’ kemudian Allah mewajibkan puasa turunlah ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kalian berpuasa ….” (QS. Al-Baqarah/2: 183)
Kemudian Allah menurunkan ayat:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ
“Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkan padanya Al-Qur’an ….” (QS. Al-Baqarah/2: 185)
Allah menetapkan puasa bagi orang mukim yang sehat, dan memberi rukhsah bagi orang yang sakit dan musafir dan menetapkan fidyah bagi orang tua yang tidak mampu berpuasa, inilah keadaan keduanya ….” (HR. Abu Dawud dalam Sunannya 507, Al-Baihaqi dalam Sunannya 4/200, Ahmad dalam Musnad 5/246-247 dan sanadnya Shahih)
Dua hadits ini menjelaskan bahwa ayat ini mansukh bagi orang yang mampu berpuasa, dan tidak mansukh bagi orang yang tidak mampu berpuasa, yakni ayat ini dikhususkan.
Oleh karena itu Ibnu Abbas رضى الله عنهما mencocoki sahabat, haditsnya mencocoki dua hadits yang lainnya (yaitu) hadits Ibnu Umar dan Salamah bin Al-Akwa ?رضي الله عنهم, dan juga tidak saling bertentangan. Perkataannya tidak mansukh ditafsirkan oleh perkataannya: itu mansukh, yakni ayat ini dikhususkan, dengan keterangan ini jelaslah bahwa naskh dalam pemahaman sahabat berlawanan dengan pengkhususan dan pembatasan di kalangan ahlus ushul mutaakhirin, demikianlah diisyaratkan oleh Al-Qurthubi dalam tafsirnya.(Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an 2/288)
- Hadits Ibnu Abbas dan Muadz Hanya Ijtihad ?
Mungkin engkau menyangka wahai saudara muslim hadits dari Ibnu Abbas dan Muadz رضي الله عنهم hanya semata ijtihad dan pengkhabaran hingga tidak setingkat dengan hadits marfu’ yang bisa mengkhususkan pengumuman dalam Al-Qur’an dan membatasi yang mutlaknya, menafsirkan yang global, dan jawabannya sebagai berikut.
- Dua hadits ini memiliki hukum marfu’ menurut kesepakatan ahlul ilmi tentang hadits Rasulullah ﷺ. Seorang yang beriman mencintai Allah dan Rasul-Nya tidak boleh menyelisihi dua hadits ini jika ia anggap shahih, karena dua hadits ini ada dalam tafsir ketika menjelaskan asbabun nuzul, yakni dua shahabat ini menyaksikan wahyu dan turunnya Al-Qur’an, mengabarkan ayat Al-Qur’an, bahwa turunnya begini, maka ini adalah hadits musnad, (Lihat Tadribur Rawi 1/192-193 karya Suyuhthi, ‘Ulumul Hadits hal.24 karya Ibnu Shalah)
- Ibnu Abbas رضي الله عنهما menetapkan hukum ini bagi wanita yang menyusui dan hamil, dari mana beliau mengambil hukum ini? Tidak diragukan lagi beliau mengambil dari sunnah, terlebih lagi beliau tidak sendirian tapi disepakati oleh Abdullah bin Umar رضي الله عنهما yang meriwayatkan bahwa ayat ini mansukh.
Dari Malik dari Nafi’ bahwasanya Ibnu Umar رضي الله عنهما ditanya tentang seorang wanita yang hamil jika mengkhawatirkan anaknya, beliau berkata: “Berbuka dan gantinya memberi makan satu mud gandum setiap harinya kepada seorang miskin” (Al-Baihaqi dalam As-Sunan 4/230 dari jalan Imam Syafi’i, sanadnya Shahih)
Daruquthni meriwayatkan I/207 dari Ibnu Umar رضي الله عنهما dan beliau menshahihkannya, bahwa beliau (Ibnu Umar) berkata:
“Seorang wanita hamil dan menyusui boleh berbuka dan tidak mengqadha”.
Dari jalan lain beliau meriwayatkan: Seorang wanita yang hamil bertanya kepada Ibnu Umar, beliau menjawab: “Berbukalah, dan berilah makan orang miskin setiap harinya dan tidak perlu mengqadha” sanadnya jayyid.
Dari jalan yang ketiga: Anak perempuan Ibnu Umar adalah istri seorang Quraisy, dan hamil. Dan dia kehausan ketika puasa Ramadhan, Ibnu Umar pun menyuruhnya berbuka dan memberi makan seorang miskin.
- Tidak ada Shahabat yang menentang Ibnu Abbas رضى الله عنهما. (Sebagaimana dinashkan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni 3/21)
- Wanita Hamil dan Menyusui Gugur Puasanya
Keterangan ini menjelaskan makna: “Allah menggugurkan kewajiban puasa dari wanita hamil dan menyusui” yang terdapat dalam hadits Anas yang lalu, yakni dibatasi “Kalau mengkhawatirkan diri dan anaknya” dia bayar fidyah tidak mengqadha.
- Musafir Gugur Puasanya dan Wajib Mengqadha’
Barangsiapa menyangka gugurnya puasa wanita hamil dan menyusui sama dengan musafir sehingga mengharuskan qadha’, perkataan ini tertolak karena Al-Qur’an menjelaskan makna gugurnya puasa dari musafir:
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Barangsiapa diantara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah bagimu berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain” (QS. Al-Baqarah/2: 184)
Dan Allah menjelaskan makna gugurnya puasa bagi yang tidak mampu menjalankannya dalam firman-Nya:
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah (yaitu) memberi makan seorang miskin” (QS. Al-Baqarah/2: 184)
Maka jelaslah bagi kalian, bahwa wanita hamil dan menyusui termasuk orang yang tercakup dalam ayat ini, bahkan ayat ini adalah khusus untuk mereka.
Keutamaannya (Lailatul Qadar) sangat besar, karena malam ini menyaksikan turunnya Al-Qur’an Al-Karim, yang membimbing orang-orang yang berpegang dengannya ke jalan kemuliaan dan mengangkatnya ke derajat yang mulia dan abadi. Umat Islam yang mengikuti sunnah Rasulnya صلى الله عليه وسلم tidak memasang tanda-tanda tertentu dan tidak pula menancapkan anak-anak panah serta gapura untuk menyambut malam ini, akan tetapi mereka berloma-lomba untuk bangun di malam harinya dengan penuh iman dan mengharap pahala dari Allah.
Inilah wahai saudaraku muslim, ayat-ayat Qur’aniyah dan hadits-hadits nabawiyah yang shahih menjelaskan tentang malam tersebut:
- Keutamaan Malam Lailatul Qadar
Cukuplah untuk mengetahui tingginya kedudukan Lailatul Qadar dengan mengetahui bahwasanya malam itu lebih baik dari seribu bulan, Allah سبحانه و تعالي berfirman:
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ. وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ. لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ. تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ. سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ
“Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Qur’an pada malam Lailatul Qadar, tahukah engkau apakah malam Lailatul Qadar itu ? Malam Lailatul Qadar itu lebih baik dari seribu bulan, pada malam itu turunlah melaikat-malaikat dan Jibril dengan izin Allah Tuhan mereka (untuk membawa) segala usrusan, selamatlah malam itu hingga terbit fajar” (QS. Al-Qadar/97: 1-5)
Dan pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, Allah سبحانه و تعالي berfirman:
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ. فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ. أَمْراً مِّنْ عِندِنَا إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ. رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. Ad-Dukhan/44: 3-6)
- Waktu Lailatul Qadar
Diriwayatkan dari Nabi صلي الله عليه وسلم bahwa malam tersebut terjadi pada tanggal malam 21,23,25,27,29 dan akhir malam bulan Ramadhan.1
Imam Syafi’i رحمه الله berkata: “Menurut pemahamanku. wallahu ‘alam, Nabi صلي الله عليه وسلم menjawab sesuai yang ditanyakan, ketika ditanyakan kepada beliau: “Apakah kami mencarinya di malam ini?”, beliau menjawab: “Carilah di malam tersebut” (Sebagaimana dinukil Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah 6/386)
Pendapat yang paling kuat, terjadinya malam Lailatul Qadar itu pada malam terakhir bulan Ramadhan berdasarkan hadits Aisyah ?رضي الله عنها, dia berkata Rasulullah ﷺ beri’tikaf di sepuluh hari terkahir bulan Ramadhan dan beliau bersabda: “Carilah malam Lailatul Qadar di (malam ganjil) pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan” (HR. Bukhari 4/225 dan Muslim 1169)
Jika seseorang merasa lemah atau tidak mampu, janganlah sampai terluput dari tujuh hari terakhir, karena riwayat dari Ibnu Umar, dia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
الْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلَا يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِي
“Carilah di sepuluh hari terakhir, jika tidak mampu maka jangan sampai terluput tujuh hari sisanya” (HR. Bukhari 4/221 dan Muslim 1165)
Ini menafsirkan sabdanya:
أَرَى رُؤْيَاكُمْ قَدْ تَوَاطَأَتْ فَمَنْ كَانَ مُتَحَرِّيهَا فَلْيَتَحَرَّهَا مِنْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ
“Aku melihat bahwa mimpi kalian benar, oleh karena itu, barangsiapa yang mencarinya carilah pada tujuh hari terakhir” (Lihat Maraji’ tadi)
Telah diketahui dalam sunnah, pemberitahuan ini ada karena perdebatan para sahabat. Dari Ubadah bin Shamit رضي الله عنه, ia berkata: Rasulullah ﷺ ke luar pada malam Lailatul Qadar, ada dua orang sahabat berdebat, beliau bersabda: “Aku keluar untuk mengkhabarkan kepada kalian tentang malam Lailatul Qadar, tapi ada dua orang berdebat hingga tidak bisa lagi diketahui kapannya; mungkin ini lebih baik bagi kalian, carilah di malam 29. 27. 25 (dan dalam riwayat lain: tujuh, sembilan dan lima)” (HR. Bukhari 4/232)
Peringatan:
Telah banyak hadits yang mengisyaratkan bahwa malam Lailatul Qadar itu pada sepuluh hari terakhir, yang lainnya menegaskan, di malam ganjil sepuluh hari terakhir. Hadits yang pertama sifatnya umum sedang hadits kedua adalah khusus, maka riwayat yang khusus lebih diutamakan dari pada yang umum, dan telah banyak hadits yang lebih menerangkan bahwa malam Lailatul Qadar itu ada pada tujuh hari terakhir bulan Ramadhan, tetapi ini dibatasi kalau tidak mampu dan lemah, tidak ada masalah, dengan ini cocoklah hadits-hadits tersebut, tidak saling bertentangan, bahkan bersatu tidak terpisah.
Kesimpulannya. Jika seorang muslim mencari malam lailatul Qadar carilah pada malam ganjil sepuluh hari terakhir: 21, 23,25,27 dan 29. Kalau lemah dan tidak mampu mencari pada sepuluh hari terakhir, maka carilah pada malam ganjil tujuh hari terakhir yaitu 25,27 dan 29. Wallahu ‘alam
* * *
- Pendapat-pendapat yang ada dalam masalah ini berbeda-beda, Imam Al-Iraqi telah mengarang satu risalah khusus diberi judul Syarh Shadr Bidzikri Lailatul Qadar, membawakan perkataan para ulama dalam masalah ini, lihatlah…
- Bagaimana Mencari Malam Lailatul Qadar!?
Sesungguhnya malam yang diberkahi ini, barangsiapa yang diharamkan untuk mendapatkannya, maka sungguh telah diharamkan seluruh kebaikan (baginya). Dan tidaklah diharamkan kebaikan itu, melainkan (bagi) orang yang diharamkan (untuk mendapatkannya). Oleh karena itu dianjurkan bagi muslimin (agar) bersemangat dalam berbuat ketaatan kepada Allah untuk menghidupkan malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala-Nya yang besar, jika (telah) berbuat demikian (maka) akan diampuni Allah dosa-dosanya yang telah lalu.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa berdiri (shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Bukhari 4/217 dan Muslim 759)
Disunnahkan untuk memperbanyak do’a pada malam tersebut. Telah diriwayatkan dari Sayyidah Aisyah ?رضي الله عنها, dia berkata: “Aku bertanya, “Ya Rasulullah ! Apa pendapatmu jika aku tahu kapan malam Lailatul Qadar (terjadi), apa yang harus aku ucapkan ?” Beliau menjawab, “Ucapkanlah:
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عُفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
“”Ya Allah Engkau Maha Pengampun dan mencintai orang yang meminta ampunan, maka ampunilah aku”1
Saudaraku -semoga Allah memberkahimu dan memberi taufiq kepadamu untuk mentaati-Nya- engkau telah mengetahui bagaimana keadaan malam Lailatul Qadar (dan keutamaannya) maka bangunlah (untuk menegakkan shalat) pada sepuluh malam terakhir, menghidupkannya dengan ibadah dan menjauhi wanita, perintahkan kepada isterimu dan keluargamu untuk itu, perbanyaklah perbuatan ketaatan.
Dari Aisyah ?رضي الله عنها dia berkata: “Adalah Rasulullah ﷺ, apabila masuk pada sepuluh hari (terakhir bulan Ramadhan), beliau mengencanngkan kainnya1 menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya” (HR. Bukhari 4/233 dan Muslim 1174)
Juga dari Aisyah berkata: “Adalah Rasulullah ﷺ bersungguh-sungguh (beribadah apabila telah masuk) malam kesepuluh (terakhir) yang tidak pernah beliau lakukan pada malam-malam lainnya” (HR. Muslim 1174)
* * *
- Hadits Riwayat Tirmidzi 3760, Ibnu Majah 3850 dari Aisyah, sanadnya Shahih. Lihat syarahnya Bughyatul Insan fi Wadhaifi Ramadhan hal. 55-57 karya Ibnu Rajab Al-Hambali.
- Menjauhi wanita (yaitu istri-istrinya) karena ibadah, menyingsingkan badan untuk mencarinya.
- Tanda-tanda Lailatul Qadar1
- Tanda-Tandanya
Ketahuilah hamba yang taat -mudah-mudahan Allah menguatkanmu dengan ruh dari-Nya dan membantu dengan pertolongan-Nya- sesungguhnya Rasulullah ﷺ menggambarkan paginya malam Lailatul Qadar agar seorang muslim mengetahuinya.
Dari ‘Ubay رضي الله عنه, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
صَبِيحَةَ لَيْلَةِ الْقَدْرِ تَطْلُعُ الشَّمْسُ لاَ شُعَاعَ لَهَا كَأَنَّهَا طَسْتٌ حَتَّي تَرْتَفِعَ فَرَأَيْتُهُ
“Pagi hari malam Lailatul Qadar, matahari terbit tidak menyilaukan, seperti bejana hingga meninggi” (HR. Muslim 762)
Dari Abu Hurairah, ia berkata: Kami menyebutkan malam Lailatul Qadar di sisi Rasulullah ﷺ beliau bersabda: “Siapa di antara kalian yang ingat ketika terbit bulan seperti syiqi jafnah”2
Dan dari Ibnu Abbas رضى الله عنهما, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةٌ سَمْحَةٌ طَلِقَةٌ لاَحَارَّةٌ وَلاَ بَارِدَةٌ تُصْبِحُ السَّمْسُ صَبِيْحَتَهَا ضَعِيْفَةً حَمْرَاءَ
“Lailatul Qadar adalah malam yang indah, cerah, tidak panas dan tidak juga dingin, (dan) keesokan harinya cahaya sinar mataharinya melemah kemerah-merahan” (Thayalisi 349, Ibnu Khuzaimah 3/231, Bazzar 1/486, sanadnya Hasan)
* * *
- Mengenai tanda-tanda Lailatul Qadar ini masyarakat awam memiliki banyak khurafat dan keyakinan yang menyimpan, diantaranya adalah bahwa pohon-pun bersujud dan gedung-gedung tidur, dan demikian seterusnya.
- HR. Muslim 1170. Perkataan: “Syiqi jafnah” syiq artinya setengah, jafnah artinya bejana. Al-Qadhi ‘Iyadh berkata : “Dalam hadits ini ada isyarat bahwa malam Lailatul Qadar hanya terjadi di akhir bulan, karena bulan tidak akan seperti demikian ketika terbit kecuali di akhir-akhir bulan”
- Hikmahnya
Al-Alamah Ibnul Qayyim رحمه الله berkata: “Manakala hadir dalam keadaan sehat dan istiqamah (konsisten) di atas rute perjalanan menuju Allah Ta’ala tergantung pada kumpulnya (unsur pendukung) hati tersebut kepada Allah, dan menyalurkannya dengan menghadapkan hati tersebut kepada Allah Ta’ala secara menyeluruh, karena kusutnya hati tidak akan dapat sembuh kecuali dengan menghadapkan(nya) kepada Allah Ta’ala, sedangkan makan dan minum yang berlebih-lebihan dan berlebih-lebihan dalam bergaul, terlalu banyak bicara dan tidur, termasuk dari unsur-unsur yang menjadikan hati bertambah berantakan (kusut) dan mencerai beraikan hati di setiap tempat, dan (hal-hal tersebut) akan memutuskan perjalanan hati menuju Allah atau akan melemahkan, menghalangi dan menghentikannya.
Rahmat Allah Yang Maha Perkasa lagi Penyayang menghendaki untuk mensyariatkan bagi mereka puasa yang bisa menyebabkan hilangnya kelebihan makan dan minum pada hamba-Nya, dan akan membersihkan kecenderungan syahwat pada hati yang (mana syahwat tersebut) dapat merintangi perjalanan hati menuju Allah Ta’ala, dan disyariatkannya (i’tikaf) berdasarkan maslahah (kebaikan yang akan diperoleh) hingga seorang hamba dapat mengambil manfaat dari amalan tersebut baik di dunia maupun di akhirat. Tidak akan merusak dan memutuskannya (jalan) hamba tersebut dari (memperoleh) kebaikannya di dunia maupun di akhirat kelak.
Dan disyariatkannya i’tikaf bagi mereka yang mana maksudnya serta ruhnya adalah berdiamnya hati kepada Allah Ta’ala dan kumpulnya hati kepada Allah, berkhalwat dengan-Nya dan memutuskan (segala) kesibukan dengan makhluk, hanya menyibukkan diri kepada Allah semata. Hingga jadilah mengingat-Nya, kecintaan dan penghadapan kepada-Nya sebagai ganti kesedihan (duka) hati dan betikan-betikannya, sehingga ia mampu mencurahkan kepada-Nya, dan jadilah keinginan semuanya kepadanya dan semua betikan-betikan hati dengan mengingat-Nya, bertafakur dalam mendapatkan keridhaan dan sesuatu yang mendekatkan dirinya kepada Allah. Sehingga bermesraan ketika berkhalwat dengan Allah sebagai ganti kelembutannya terhadap makhluk, yang menyebabkan dia berbuat demikian adalah karena kelembutannya tersebut kepada Allah pada hari kesedihan di dalam kubur manakala sudah tidak ada lagi yang berbuat lembut kepadanya, dan (manakala) tidak ada lagi yang dapat membahagiakan (dirinya) selain daripada-Nya, maka inilah maksud dari i’tikaf yang agung itu” (Zaadul Ma’ad 2/86-87)
- Pengertian I’tikaf
I’tikaf yaitu berdiam (tinggal) di atas sesuatu, dapat dikatakan bagi orang-orang yang tinggal di masjid dan menegakkan ibadah di dalamnya sebagai mu’takif dan ‘Akif. (Al-Mishbahul Munir 3/424 oleh Al-Fayumi, dan Lisanul Arab 9/252 oleh Ibnu Mandhur)
- Disyari’atkannya I’tikaf
Disunnahkan pada bulan Ramadhan dan bulan yang lainya sepanjang tahun. Telah shahih bahwa Nabi صلي الله عليه وسلم beritikaf pada sepuluh (hari) terakhir bulan Syawwal. (HR. Bukhari 4/226 dan Muslim 1173)
Dan Umar pernah bertanya kepada Nabi صلي الله عليه وسلم: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ini pernah bernadzar pada zaman jahiliyah (dahulu), (yaitu) aku akan beritikaf pada malam hari di Masjidil Haram’. Beliau menjawab :Tunaikanlah nadzarmu”. Maka ia (Umar رضي الله عنه) pun beritikaf pada malam harinya. (Riwayat Bukhari 4/237 dan Muslim 1656)
I’tikaf yang paling utama (yaitu) pada bulan Ramadhan beradasarkan hadits Abu Hurairah رضي الله عنه (bahwasanya) Rasulullah ﷺ sering beritikaf pada setiap Ramadhan selama sepuluh hari dan manakala tibanya tahun yang dimana beliau diwafatkan padanya, beliau (pun) beritikaf selama dua puluh hari. (Riwayat Bukhari 4/245)
Dan yang lebih utama yaitu pada akhir bulan Ramadhan karena Nabi صلي الله عليه وسلم seringkali beritikaf pada sepuluh (hari) terakhir di bulan Ramadhan hingga Allah Yang Maha Perkasa dan Mulia mewafatkan beliau. (Riwayat Bukhari 4/266 dan Muslim 1173 dari Aisyah)
- Syarat-Syarat I’tikaf
- Tidak disyari’atkan kecuali di masjid, berdasarkan firman-Nya Ta’ala:
وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Dan janganlah kamu mencampuri mereka itu1 sedangkan kamu beritikaf di dalam masjid” (Al-Baqarah : 187)
- Dan masjid-masjid disini bukanlah secara mutlak (seluruh masjid ,-pent), tapi telah dibatasi oleh hadits shahih yang mulai (yaitu) sabda beliau صلي الله عليه وسلم:
لاَ اعْتِكَافَ إِلاَّ فِيْ الـمَسَاجِدِ الثَّلاَثَةِ
“Tidak ada I’tikaf kecuali pada tiga masjid”.2
- Dan sunnahnya bagi orang-orang yang beritikaf (yaitu) hendaknya berpuasa sebagaimana dalam (riwayat) Aisyah ?رضي الله عنها yang telah disebutkan.3
* * *
- Yakni “Janganlah kami mejima-i mereka” pendapat tersebut merupakan pendapat jumhur (ulama). Lihat Zaadul Masir 1/193 oleh Ibnul Jauzi.
- Hadits tersebut shahih, dishahihkan oleh para imam serta para ulama, dapat dilihat takhrijnya serta pembicaraan hal ini pada kitab yang berjudul Al-Inshaf fi Ahkamil I’tikaf oleh Ali Hasan Abdul Hamid. Untuk memperjelas keterangan, silahkan lihat juga Juz-ul I’tikaf karya al-Hammami
- Dikeluarkan oleh Abdur Razaq di dalam Al-Mushannaf 8037 dan riwayat 8033 dengan maknanya dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas.
- Perkara-Perkara yang Boleh Dilakukan Orang yang Sedang I’tikaf
- Diperbolehkan keluar dari masjid jika ada hajat, boleh mengeluarkan kepalanya dari masjid untuk dicuci dan disisir (rambutnya). Aisyah ?رضي الله عنها berkata. “Dan sesungguhnya Rasulullah ﷺ pernah memasukkan kepalanya kepadaku, padahal beliau sedang itikaf di masjid (dan aku berada di kamarku) kemudian aku sisir rambutnya (dalam riwayat lain: aku cuci rambutnya) (dan antara aku dan beliau (ada) sebuah pintu) (dan waktu itu aku sedang haid) dan adalah Rasulullah tidak masuk ke rumah kecuali untuk (menunaikan) hajat (manusia) ketika sedang I’tikaf”1
- Orang yang sedang Itikaf dan yang yang lainnya diperbolehkan untuk berwudhu di masjid berdasarkan ucapan salah seorang pembantu Nabi صلي الله عليه وسلم: “Nabi صلي الله عليه وسلم berwudhu di dalam masjid dengan wudhu yang ringan” (Dikeluarkan oleh Ahmad 5/364 dengan sanad yang shahih)
- Dan diperbolehkan bagi orang yang sedang I’tikaf untuk mendirikan tenda (kemah) kecil pada bagian di belakang masjid sebagai tempat dia beri’tikaf, karena Aisyah ?رضي الله عنها (pernah) membuat kemah (yang terbuat dari bulu atau wool yang tersusun dengan dua atau tiga tiang) apabila beliau beri’tikaf2 dan hal ini atas perintah Nabi صلي الله عليه وسلم.3
- Dan diperbolehkan bagi orang yang sedang beritikaf untuk meletakkan kasur atau ranjangnya di dalam tenda tersebut, sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu Umar رضى الله عنهما bahwa Nabi صلي الله عليه وسلم jika i’tikaf dihamparkan kasur atau diletakkan untuknya ranjang di belakang tiang At-Taubah.4
* * *
- Hadits Riwayat Bukhari 1/342 dan Muslim 297 dan lihat Mukhtashar Shahih Bukhari no. 167 oleh Syaikh kami Al-Albani Rahimahullah dan Jami’ul Ushul 1/3452 oleh Ibnu Asir.
- Sebagaimana dalam Shahih Bukhari 4/226
- Sebagaimana dalam Shahih Muslim 1173
- Dikeluarkan oleh Ibnu Majah 642-zawaidnya dan Al-Baihaqi, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Bushiri dari dua jalan. Dan sanadnya Hasan.
- I’tikafnya Wanita Dan Kunjungannya Ke Masjid
- Diperbolehkan bagi seorang isteri untuk mengunjungi suaminya yang berada di tempat i’tikaf, dan suami diperbolehkan mengantar isteri sampai ke pintu masjid. Shafiyyah ?رضي الله عنها berkata: “Dahulu Nabi صلي الله عليه وسلم (tatkala beliau sedang) i’tikaf (pada sepuluh (hari) terkahir di bulan Ramadhan) aku datang mengunjungi pada malam hari (ketika itu di sisinya ada beberapa isteri beliau sedang bergembira ria) maka aku pun berbincang sejenak, kemudian aku bangun untuk kembali, (maka beliaupun berkata: jangan engkau tergesa-gesa sampai aku bisa mengantarmu) kemudian beliaupun berdiri besamaku untuk mengantar aku pulang, -tempat tinggal Shafiyyah yaitu rumah Usamah bin Zaid- (sesampainya di samping pintu masjid yang terletak di samping pintu Ummu Salamah) lewatlah dua orang laki-laki dari kalangan Anshar dan ketika keduanya melihat Nabi صلي الله عليه وسلم, maka keduanyapun bergegas, kemudian Nabi-pun bersabda: “Tenanglah1, ini adalah Shafiyah binti Huyaiy”, kemudian keduanya berkata : ‘Subhanahallah (Maha Suci Allah) ya Rasullullah”. Beliaupun bersabda: “Sesungguhnya syaitan itu menjalar (menggoda) anak Adam pada aliran darahnya dan sesungguhnya aku khawatir akan bersarangnya kejelakan di hati kalian -atau kalian berkata sesuatu”2
- Seorang wanita boleh i’tikaf dengan didampingi suaminya ataupun sendirian. berdasarkan ucapan Aisyah ?رضي الله عنها : “Nabi صلي الله عليه وسلم i’tikaf pada sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkan beliau, kemudian isteri-isteri beliau i’tikaf setelah itu”.(Telah lewat takhrijnya)
Berkata Syaikh kami (yakni Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani رحمه الله, -pent) :”Pada atsar tersebut ada suatu dalil yang menunjukkan atas bolehnya wanita i’tikaf dan tidak diragukan lagi bahwa hal itu dibatasi (dengan catatan) adanya izin dari wali-wali mereka dan aman dari fitnah, berdasarkan dalil-dalil yang banyak mengenai larangan berkhalwat dan kaidah fiqhiyah:
دَرْءُ الْـمَفَاسِدَ مُقَدَّمٌ عَلَي جَلْبِ الْـمَصَالِحِ
“Menolak kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil manfaat”
* * *
- Janganlah kalian terburu-buru, ini bukanlah sesuatu yang kami benci.
- Dikeluarkan oleh Bukhari 4/240 dan Muslim 2157 dan tambahan yang terkahir ada pada Abu Dawud 7/142-143 di dalam Aunul Ma’bud.
- Pensyari’atan Shalat Tarawih
Shalat tarawih disyari’atkan secara berjama’ah berdasarkan hadits Aisyah رضي الله عنها: “Rasulullah ﷺ pada suatu malam keluar dan shalat di masjid, orang-orang pun ikut shalat bersamanya, dan mereka memperbincangkan shalat tersebut, hingga berkumpullah banyak orang, ketika beliau shalat, mereka-pun ikut shalat bersamanya, mereka meperbincangkan lagi, hingga bertambah banyaklah penghuni masjid pada malam ketiga, Rasulullah ﷺ keluar dan shalat, ketika malam keempat masjid tidak mampu menampung jama’ah, hingga beliau hanya keluar untuk melakukan shalat Shubuh. Setelah selesai shalat beliau menghadap manusia dan bersyahadat kemudian bersabda: “Amma ba’du. Sesungguhnya aku mengetahui perbuatan kalian semalam, namun aku khawatir diwajibkan atas kalian, sehingga kalian tidak mampu mengamalkannya” Rasulullah ﷺ wafat dalam keadaan tidak pernah lagi melakukan shalat tarawih secara berjama’ah” (HR. Bukhari 3/220 dan Muslim 761)
Ketika Rasulullah ﷺ menemui Rabbnya (dalam keadaan seperti keterangan hadits diatas) maka berarti syari’at ini telah tetap, maka shalat tarawih berjama’ah disyari’atkan karena kekhawatiran tersebut sudah hilang dan ‘illat telah hilang (juga). Sesungguhnya ‘illat itu berputar bersama ma’lulnya, adanya atau tidak adanya.
Dan yang menghidupkan kembali sunnah ini adalah Khulafa’ur Rasyidin Umar bin Al-Khaththab رضي الله عنه sebagaimana dikabarkan yang demikian oleh Abdurrahman bin Abdin Al-Qoriy1 beliau berkata: “Aku keluar bersama Umar bin Al-Khaththab رضي الله عنه suatu malam di bulan Ramadhan ke masjid, ketika itu manusia berkelompok-kelompok2. Ada yang shalat sendirian dan ada yang berjama’ah, maka Umar berkata: “Aku berpendapat kalau mereka dikumpulkan dalam satu imam, niscaya akan lebih baik”. Kemudian beliau mengumpulkan mereka dalam satu jama’ah dengan imam Ubay bin Ka’ab, setelah itu aku keluar bersamanya pada satu malam, manusia tengah shalat bersama imam mereka, Umar-pun berkata, “Sebaik-baik bid’ah3 adalah ini, orang yang tidur lebih baik dari yang bangun, ketika itu manusia shalat di awal malam”. (Dikeluarkan Bukhari 4/218 dan tambahannya dalam riwayat Malik 1/114, Abdurrazaq 7733)
- Jumlah Raka’atnya
Manusia berbeda pendapat tentang batasan raka’atnya, pendapat yang mencocoki petunjuk Nabi ﷺ adalah delapan raka’at tanpa witir berdasarkan hadits Aisyah رضي الله عنها:
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Nabi ﷺ tidak pernah shalat malam di bulan Ramadhan atau selainnya lebih dari sebelas raka’at”4
Yang telah mencocoki Aisyah adalah Ibnu Umar5 رضى الله عنهما, beliau menyebutkan:
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم لَـمَّا أَحْيَي بِالنَّاسِ لَيْلَةً فِيْ رَمَضَانَ صَلَّي ثَـمَانِيَ رَكَعَاتٍ وَأَوْتَرَ
“Nabi ﷺ menghidupkan malam Ramadhan bersama manusia delapan raka’at kemudian witir.6
Ketika Umar bin Al-Khaththab menghidupkan sunnah ini beliau mengumpulkan manusia dengan sebelas raka’at sesuai dengan sunnah shahihah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Malik 1/115 dengan sanad yang shahih dari jalan Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, ia berkata: “Umar bin Al-Khaththab menyuruh Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Daari untuk mengimami manusia dengan sebelas raka’at”. Ia berkata: “Ketika itu imam membaca dua ratus ayat hingga kami bersandar/bertelekan pada tongkat karena lamanya berdiri, kami tidak pulang kecuali ketika furu’ fajar”.7
Riwayat beliau ini diselisihi oleh Yazid bin Khashifah, beliau berkata: “Dua puluh raka’at” Riwayat Yazid ini syadz (ganjil/menyelisihi yang lebih shahih), karena Muhammad bin Yusuf lebih tsiqah dari Yazid bin Khashifah. Riwayat Yazid tidak bisa dikatakan ziyadah tsiqah kalau kasusnya seperti ini, karena ziyadah tsiqah itu tidak ada perselisihan, tapi hanya sekedar tambahan ilmu saja dari riwayat tsiqah yang pertama sebagaimana (yang disebutkan) dalam Fathul Mughit (1/199), Muhashinul Istilah hal. 185, Al-Kifayah hal 424-425. Kalaulah sendainya riwayat Yazid tersebut shahih, itu adalah perbuatan, sedangkan riwayat Muhammad bin Yusuf adalah perkataan, dan perkataan lebih diutamakan dari perbuatan sebagaimana telah ditetapkan dalam ilmu ushul fiqh.
Abdur Razaq meriwayatkan dalam Al-Mushannaf 7730 dari Daud bin Qais dan lainnya dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid: “Bahwa Umar mengumpulkan manusia di bulan Ramadhan, dengan dua puluh satu raka’at, membaca dua ratus ayat, selesai ketika awal fajar”
Riwayat ini menyelisihi yang diriwayatkan oleh Malik dari Muhamad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, dhahir sanad Abdur Razaq shahih seluruh rawinya tsiqah. Sebagian orang-orang yang berhujjah dengan riwayat ini, mereka menyangka riwayat Muhammad bin Yusuf mudhtharib, hingga selamatlah pendapat mereka dua puluh raka’at yang terdapat dalam hadits Yazid bin Khashifah.
Anggapan mereka ini tertolak, karena hadits mudhtarib adalah hadits yang diriwayatkan dari seorang rawi satu kali atau lebih, atau diriwayatkan oleh dua orang atau lebih dengan lafadz yang berbeda-beda, mirip dan sama, tapi tidak ada yang bisa menguatkan (mana yang lebih kuat). (Tadribur Rawi 1/262)
Namun syarat seperti ini tidak terdapat dalam hadits Muhammad bin Yusuf karena riwayat Malik lebih kuat dari riwayat Abdur Razaq dari segi hapalan. Kami ketengahkan hal ini kalau kita anggap sanad Abdur Razaq selamat dari illat (cacat), akan tetapi kenyatannya tidak demikian (karena hadits tersebut mempunyai cacat, pent) kita jelaskan sebagai berikut:
- Yang meriwayatkan Mushannaf dari Abdur Razaq lebih dari seorang, diantaranya adalah Ishaq bin Ibrahim bin Ubbad Ad-Dabari
- Hadits ini dari riwayat Ad-Dabari dari Abdur Razaq, dia pula yang meriwayatkan Kitabus Shaum (Al-Mushannaf 4/153)
- Ad-Dabari mendengar dari Abdur Razaq karangan-karangannya ketika berumur tujuh tahun (Mizanul I’tidal 1/181)
- Ad-Dabari bukan perawi hadits yang dianggap shahih haditsnya, juga bukan seorang yang membidangi ilmu ini (Mizanul I’tidal 1/181)
- Oleh karena itu dia banyak keliru dalam meriwayatkan dari Abdur Razaq, dia banyak meriwayatkan dari Abdur Razaq hadits-hadits yang mungkar, sebagian ahlul ilmi telah mengumpulkan kesalahan-kesalahan Ad-Dabari dan tashif-tashifnya dalam Mushannaf Abdur Razaq, dalam Mushannaf (Mizanul I’tidal 1/181)
Dari keterangan di atas maka jelaslah bahwa riwayat ini mungkar, Ad-Dabari dalam meriwayatkan hadits diselisihi oleh orang yang lebih tsiqah darinya, yang menentramkan hadits ini kalau kita nyatakan kalau hadits inipun termasuk tashifnya Ad-Dabari, dia mentashifkan dari sebelas raka’at (menggantinya menjadi dua puluh satu rakaat), dan engkau telah mengetahui bahwa dia banyak berbuat tashif/ kekeliruan (Lihat Tahdzibut Tahdzib 6310 dan Mizanul I’tidal 1/181)
Oleh karena itu riwayat ini mungkar dan mushahaf (hasil tashif), sehingga tidak bisa dijadikan hujjah, dan menjadi tetaplah sunnah yang shahih yang diriwayatkan di dalam Al-Muwatha’ 1/115 dengan sanad Shahih dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid. Perhatikanlah.8
___________________
- Dengan tanwin (‘abdin) dan (alqoriyyi) dengan bertasydid -tanpa dimudhofkan- lihat Al-Bab fi Tahdzib 3/6-7 karya Ibnul Atsir
- Berkelompok-kelompok tidak ada bentuk tunggalnya, seperti nisa’ ibil … dan seterusnya
- Perkataan Umar رضي الله عنه ini adalah salah satu contoh bid’ah diartikan/ dilihat dari segi bahasa, karena shalat tarawih tidaklah Bid’ah bila dilihat dari syariat/ agama karena telah jelas dalil pensyariatannya sebagaimana diuraikan pada Hadits sebelumnya. Jadi perkataan Umar bukanlah dalil bolehnya Bid’ah dalam Agama. Perhatikanlah!! Ibnu Majjah
- Dikeluarkan oleh Bukhari 3/16 dan Muslim 736 Al-Hafidz رحمه الله berkata (Fath 4/54): “Demikianlah kenyataannya dengan keberadaannya yang lebih tahu tentang Nabi ﷺ pada malam hari daripada orang lain”
- Pada Terbitan Pustaka Imam Syafi’i disebutkan Jabir bin Abdullah. Ibnu Majjah
- Dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya 920, Thabrani dalam As-Shagir halaman 108 dan Ibnu Nasr (Qiyamul Lail) halaman 90, sanadnya hasan sebagaimana syahidnya.
- Furu’ fajar: awalnya, permulaan fajar
- Dan tambahan terperinci mengenai bantahan dari Syubhat ini, maka lihatlah : [a] Al-Kasyfus Sharih ‘an Aghlathis Shabun fii Shalatit Tarawih oleh Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid [b] Al-Mashabih fii Shalatit Tarawih oleh Imam Suyuthi, dengan ta’liq Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, cetakan Dar ‘Ammar.
- Hukum Zakat Fithri
Zakat Fithri ini (hukumnya) wajib berdasarkan hadits (dari) Ibnu Umar رضى الله عنهما:
رَضَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدَقَةَ الْفِطْرِ
“Rasulullah ﷺ mewajibkan zakat fithri (pada bulan Ramadhan kepada manusia)”1
Juga berdasarkan hadits Ibnu Abbas رضى الله عنهما:
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ صَدَقَةَ الْفِطْرِ
“Rasulullah ﷺ mewajibkan zakat fithri”2
Sebagian Ahul ilmi menyatakan bahwa zakat fithri telah mansukh oleh hadits Qais bin Sa’ad bin Ubadah, berkata : “Rasulullah ﷺ memerintahkan kami dengan shadaqah fithri sebelum diturunkan (kewajiban) zakat dan tatkala diturunkan (kewajiban) zakat beliau tidak memerintahkan kami dan tidak pula melarang kami, tetapi kami mengerjakannya (mengeluarkan zakat fithri)”.
Al-Hafidz رحمه الله menjawab sangkaan tersebut dengan perkataannya 3/368: “Bahwa pada sanadnya ada seorang rawi yang tidak dikenal3 dan kalaupun dianggap shahih tidak ada dalil yang menunjukkan atas naskh (dihapusnya) hadits Qais yang menunjukkan wajibnya zakat fithri, mungkin Rasulullah ﷺ mencukupkan dengan perintah yang pertama, karena turunnya suatu kewajiban tidaklah menggugurkan kewajiban yang lain”.
Imam Al-Kahthabiy رحمه الله berkata dalam Ma’alimus Sunnan 2/214 : “Ini tidak menunjukkan hilangnya kewajiban zakat fithri, tetapi hanya menunjukkan tambahan dalam jenis ibadah, tidak mengharuskan dimansukhnya hukum sebelumnya, kedudukan zakat harta (sebagaimana) kedudukan zakat fithri (yaitu) berkaitan dengan riqab (orang-perorang/jiwa)”
* * *
- Hadits Riwayat Bukhari 3/291 dan Muslim 984 dan tambahannya pada Muslim.
- Riwayat Abu Dawud 1622 dan An-Nasa’i 5/50, padanya ada Al-Hasan yang ber-‘an’anah. Dan hadits sebelumnya sebagai syahid.
- Tetapi, dia didukung hadits lain. Telah diriwayatkan oleh an-Nasai 4/49, Ibnu Majah 1/585, Ahmad 6/6, Ibnu Khuzaimah 4/81. Al-Hakim 1/410, al-Baihaqi 4/159 melalui beberapa jalan dan sanad hadits ini shahih.
- Siapa Yang Wajib Zakat Fithri?
Zakat fithri wajib atas kaum muslimin, anak kecil, besar, laki-laki, perempuan, orang yang merdeka maupun hamba. Hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin Umar رضى الله عنهما. “
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ
“Rasulullah ﷺ mewajibkan zakat fithri sebanyak satu sha’ kurma, atau satu sha’ gandum atas hamba dan orang yang merdeka, kecil dan besar dari kalangan kaum muslimin” (HR. Bukhari 3/291 dan Muslim 984)
Sebagian ahlul ilmi ada yang mewajibkan zakat fithri pada hamba yang kafir karena hadits Abu Hurairah رضي الله عنه. “Hamba tidak ada zakatnya kecuali zakat fithri” (HR. Muslim 982). Hadits ini umum sedang hadits Ibnu Umar khusus, sudah maklum hadits khusus jadi penentu hadits umum.
Sedangkan ulama lainnya berkata. “Tidak wajib atas orang yang puasa karena hadits Ibnu Abbas رضى الله عنهما:
فَرَضَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم زَكَاةَ اَلْفِطْرِ; طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اَللَّغْوِ, وَالرَّفَثِ, وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
“Rasulullah ﷺ mewajibkan zakat fithri, pensuci bagi orang yang puasa dari perbuatan sia-sia, yang jelek dan (memberi) makanan bagi orang miskin” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Imam Al-Khathabiy dalam Ma’alimus Sunan 3/214 menegaskan : “Zakat fithri wajib atas orang yang puasa yang kaya atau orang fakir yang mendapatkan makanan dari dia, jika illat diwajibkannya karena pensucian, maka seluruh orang yang puasa butuh akan hal itu, jika berserikat dalam ‘illat berserikat pula dalam hukum”.
Al-Hafidz menjawab 3/369: “Pensucian disebutkan untuk menghukumi yang dominan, zakat fithri diwajibkan pula atas orang yang tidak berpuasa seperti diketahui keshahihannya atau orang yang masuk Islam sesaat sebelum terbenamnya matahari”. Sebagian lagi berpendapat bahwa zakat fithri wajib juga atas janin, tetapi kami tidak menemukan dalil akan hal itu, karena janin tidak bisa disebut sebagai anak kecil atau besar, baik menurut masyarakat maupun istilah.
- Jenis Makanan untuk Zakat Fithri
Zakat fithri dikeluarkan berupa satu sha’ (± 2,5 liter) gandum, satu sha’ korma, satu sha’ susu, satu sha’ anggur kering atau salt, karena hadits Abu Sa’id Al-Khudri رضي الله عنه.
كُنَّا نُعْطِيهَا فِي زَمَانِ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم صَاعًا مِنْ طَعَامٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ
“Kami mengeluarkan zakat pada zaman Rasulullah ﷺ satu sha’ (gantang) makanan, satu sha’ gandum, satu sha’ korma, satu sha’ susu kering, satu sha’ anggur kering” (HR. Bukhari 3/294 dan Muslim 985)
Juga didasarkan pada hadits Ibnu Umar رضى الله عنهما, dia bercerita Rasulullah ﷺ bersabda:
فَرَضَ صَدَقَةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ سَلَتٍ
“Zakat fithri diwajibkan satu sha’ gandum, satu sha’ korma dan satu sha’ salt”1
Telah ikhtilaf (perbedaan pendapat) dalam tafsir lafadz ath-tha’am (makanan) dalam hadits Abu Said Al-Khudri ada yang bilang hinthah (gandum yang bagus) ada yang bilang selain itu, namun yang paling kuat (yang membuat hati ini tenang) lafadz di atas mencakup seluruh yang dimakan termasuk hinthah dan jenis lainnya, tepung dan adonan, semuanya telah dilakukan oleh para sahabat berdasarkan hadits Ibnu Abbas رضى الله عنهما. “Rasulullah ﷺ menyuruh kami untuk mengeluarkan zakat Ramadhan satu sha’ makanan dari anak kecil, besar, budak dan orang yang merdeka. Barangsiapa yang memberi salt (sejenis gandum yang tidak berkulit) akan diterima, kau mengira beliau berkata, “Barangsiapa yang mengeluarkan berupa tepung akan diterima, barangsiapa yang menerima berupa adonan diterima”2
Dan beliau صلي الله عليه وسلم bersabda. “Zakat Fithri satu sha’ makanan, barangsiapa yang membawa gandum diterima, yang membawa korma diterima, yang membawa salt (gandum yang tidak berkulit) diterima, yang membawa anggur kering diterima, aku mengira beliau berkata : “Yang membawa adonan diterima”3
Adapun hadits-hadits yang menafikan adanya hinthah (gandum) atau bahwasanya Muawiyah رضي الله عنه berpendapat untuk mengeluarkan dua mud dari samara (gandum) Syam, dan bahwa satu mud hinthah sebanding, ini dimungkinkan karena jarangnya dan banyaknya jenis lain, atau karena jenis-jenis hinthah itu melebihi yang ada di sini. Ini dikuatkan oleh perkataan Abu Sa’id: “Dulu makanan kami adalah gandum, anggur kering, susu yang dikeringkan dan korma”4
Yang membantah seluruh dalil orang yang menyelisihi kita adalah satu pembahasan yang akan datang ketika menjelaskan takaran zakat fithri, menurut hadits-hadits shahih yang menegaskan adanya hinthah bahwa dua mud hinthah sama dengan satu sha’ anggur, agar kaum muslimin yang mendudukan sahabat sesuai dengan kedudukan mereka, bahwa pendapat Mu’awiyah bukanlah ijtihad hasil pikiran sendiri, tetapi berdasarkan hadist marfu’ sampai kepada Rasulullah ﷺ.
* * *
- Dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah 4/80 dan Al-Hakim 1/409-410.
- Dikeluarkan Ibnu Khuzaimah 4/180, dan sanadnya Hasan, [pada terbitan Pustaka Imam Syafi’i hadits ini dan setelahnya dikatakan dengan sanad Shahih] Ibnu Majjah
- Dikeluarkan Ibnu Khuzaimah 4/180, dan sanadnya Hasan
- Telah lewat takhrijnya
- Ukuran Zakat Fithri
Seorang muslim diperbolehkan zakat fithri sesuai dengan jenis yang disebutkan tadi, mereka ikhtilaf tentang hinthah, ada yang mengatakan setengah sha’ ini yang rajih (kuat), dan yang paling shahih berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ.
أَدُّوا صَاعًا مِنْ بُرٍّ أَوْ قَمْحٍ بَيْنَ اثْنَيْنِ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ وَعَبْدٍ وَصَغِيرٍ وَكَبِيرٍ
“Tunaikanlah satu sha’ gandum atau korma, untuk dua orang atau satu sha’ dari gandum atas orang merdeka, hamba, anak kecil atau dewasa”1
sha’ yang teranggap adalah sha’-nya penduduk Madinah, berdasarkan hadits Ibnu Umar رضى الله عنهما, dia bercerita Rasulullah ﷺ bersabda:
الْوَزْنُ وَزْنُ أَهْلِ مَكَّةَ وَالْمِكْيَالُ مِكْيَالُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ
“Timbangan yang teranggap adalah timbangannya Ahlu Mekah, dan takaran yang teranggap adalah takarannya-nya orang Madinah”2
* * *
- Dikeluarkan oleh Ahmad 5/432 dari Tsa’labah bin Shuair, sanad rawinya seluruhnya tasiqah, ada hadits oleh Daruquthni 2/151 dari Jabir dengan sanad Shahih.
- Riwayat Abu Dawud 2340, Nasa’i 7/281, Al-Baihaqi 6/31 dari Ibnu Umar dengan sanad Shahih.
- Siapakah Yang Harus Dibayar Zakatnya?
Seorang muslim harus mengeluarkan zakat fithri untuk dirinya dan seluruh orang yang dibawah tanggungannya, baik anak kecil ataupun orang tua laki-laki dan perempuan, orang yang merdeka dan budak, berdasarkan hadits Ibnu Umar رضى الله عنهما: “Kami diperintah oleh Rasulullah ﷺ (mengeluarkan) shadaqah fithri atas anak kecil dan orang tua, orang merdeka dan hamba yang menjadi tanggungan”1
* * *
- Dikeluarkan oleh Daruquthni 2/14 dan al-Baihaqi 4/161 dari Ibnu Umar dengan sanad dhoif (lemah). Dan dikeluarkan al-Baihaqi 4/16 dari jalan yang lain dari Ali, dan sanadnya terputus. Dan padanya ada jalan yang mauquf dari Ibnu Umar pada Ibnu Asi Syaibah dalam Al-Mushannaf 4/37 dengan sanad shahih. Maka -dengan jalan-jalan ini maka haditsnya menjadi hasan-
- Kemana Zakat Fithri Disalurkan
Zakat fithri tidak boleh diberikan kecuali kepada orang yang berhak menerimanya, mereka adalah orang-orang miskin berdasarkan hadits Ibnu Abbas رضى الله عنهما. “Rasulullah ﷺ zakat fithri sebagai pembersih (diri) bagi yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan perbuatan kotor dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin”1
Pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam di dalam Majmu’ Fatawa 2/71-78 serta murid beliau Ibnul Qayyim pada kitabnya yang bagus Zaadul Ma’ad 2/44.
Sebagian Ahlul ilmi berpedapat bahwa zakat fithri diberikan kepada delapan golongan, tetapi (pendapat) ini tidak ada dalilnya. Dan Syaikhul Islam telah membantahnya pada kitab yang telah disebutkan baru saja, maka lihatlah ia, karena hal tersebut sangat penting.
Termasuk amalan sunnah jika ada seseorang yang bertugas mengumpulkan zakat tersebut (untuk dibagikan kepada yang berhak, -pent). Sungguh Nabi صلي الله عليه وسلم telah mewakilkan kepada Abu Hurairah رضي الله عنه, ia berkata: Rasulullah mengkhabarkan kepadaku agar aku menjaga zakat Ramadhan” (HR. Bukhari 4/396)
Dan sungguh dahulu pernah Ibnu Umar رضي الله عنهما mengeluarkan zakat kepada orang-orang yang menangani zakat dan mereka adalah panitia yang dibentuk oleh Imam (pemerintah-pent) untuk mengumpulkannya. Beliau (Ibnu Umar) mengeluarkan zakatnya satu hari atau dua hari sebelum Idul fithri, dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah 4/83 dari jalan Abdul Warits dari Ayyub, aku katakan: “Kapankah Ibnu Umar mengeluarkan satu sha’ ?” Berkata Ayyub : “Apabila amil (petugas pengumpul zakat) telah duduk (bertugas)”. Aku katakan: ‘Kapankah petugas itu mulai bertugas?” Beliau menjawab: “Satu hari atau dua hari sebelum Idul Fithri”.
* * *
- Telah Berlalu Takhrijnya
- Waktu Penunaian Zakat Fithri
Zakat fithri ditunaikan sebelum orang-orang keluar (rumah) menuju shalat ‘Id1 dan tidak boleh diakhirkan (setelah) shalat atau dimajukan penunaiannya, kecuali satu atau dua hari (sebelum Id) berdasarkan riwayat perbuatan Ibnu Umar رضى الله عنهما berdasarkan kaidah rawi hadits diketahui dengan makna riwayat dan apabila penunaian zakat itu diakhirkan (setelah) shalat maka dianggap sebagai shadaqah berdasarkan hadits Ibnu Abbas رضى الله عنهما :
….فَمَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ اَلصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ, وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ اَلصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ اَلصَّدَقَاتِ
” … Barangsiapa yang menunaikan zakatnya sebelum shalat maka dia adalah zakat yang diterima, dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka dia adalah merupakan suatu shadaqah dari beberapa shadaqah biasa” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
* * *
- Lihat pada kitab Ahkamul ‘Idain fis Sunnah Al-Muthahharah karya Ali Hasan Ali Abdul Hamid, cet. Maktabah Al-Islamiyah.
- Hikmah Zakat Fithri
Allah Ta’ala mewajibkan zakat sebagai penscucian diri bagi orang-orang yang berpuasa dari (perbuatan) sia-sia dan kotor serta sebagai makanan bagi orang-orang miskin untuk mencukupi (kebutuhan) mereka pada hari yang bagus tersebut berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas رضى الله عنهما yang telah lalu.
Kami menilai perlunya dibawakan pasal ini pada kitab kami, karena adanya sesuatu yang teramat penting yang tidak diragukan lagi sebagai peringatan bagi manusia, dan sebagai penegasan terhadap kebenaran, maka kami katakan: Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menetapkan sunnah Nabi secara adil, (untuk) memusnahkan penyimpangan orang-orang sesat dari sunnah, dan mematahkan ta’wilan para pendusta dari sunnah dan menyingkap kepalsuan para pemalsu sunnah.
Sejak dahulu sunnah Nabi telah dikeruhkan oleh banyak hal: berupa hadits-hadits yang dhaif, dusta, diada-adakan atau lainnya. Hal ini telah diterangkan oleh para imam terdahulu dan ulama salaf dengan penjelasan dan keterangan yang sempurna.
Orang yang melihat dunia para penulis dan para pemberi nasehat akan melihat bahwa mereka -kecuali yang diberi rahmat oleh Allah- tidak memperdulikan masalah yang mulia ini walau sedikit perhatianpun walaupun banyak sumber ilmu yang memuat keterangan shahih dan menyingkap yang bathil.
Maksud kami bukan membahas dengan detail masalah ini, serta pengaruh yang akan terjadi pada ilmu dan manusia, tapi akan kita cukupkan sebagian contoh yang baru masuk dan masyhur dikalangan manusia dengan sangat masyhurnya, hingga tidaklah engkau membaca makalah atau mendengar nasehat kecuali hadits-hadits ini -sangat disesalkan- menduduki kedudukan tinggi. (Ini semua) sebagai pengamalan hadits :
بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً
“Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat …” (HR.Bukhari 6/361),
dan sabda beliau :
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ
“Agama itu nasehat” (HR. Muslim no. 55)
Maka kami katakan wabillahi taufik: Sesungguhnya hadits-hadits yang tersebar di masyarakat banyak sekali, hingga mereka hampir tidak pernah menyebutkan hadits shahih -walau banyak-yang bisa menghentikan mereka dari menyebut hadits dhaif. Semoga Allah merahmati Al-Imam Abdullah bin Mubarak yang mengatakan: “(Menyebutkan) hadits shahih itu menyibukkan (diri) dari yang dhaifnya”. Jadikanlah Imam ini sebagai suri tauladan kita, jadikanlah ilmu shahih yang telah tersaring sebagai jalan (hidup kita).
Dan (yang termasuk) dari hadits-hadits yang tersebar digunakan (sebagai dalil) di kalangan manusia di bulan Ramadhan, diantaranya:
Pertama
لَوْ يَعْلَمُ الْعِبَادُ مَا فِي رَمَضَانَ لَتَمَنَّتْ أُمَّتِي أَنْ يَكُوْنَ رَمَضَانَ السَّنَةُ كٌلَّهَا، إِنَّ الْـجَّنَّةَ لَتَزَيَّنُ لِرَمَضَانَ مِنْ رَأْسِ الْحَوْلِ إِلَي الْحَوْلِ
“Kalaulah seandainya kaum muslimin tahu apa yang ada di dalam Ramadhan, niscaya umatku akan berangan-angan agar satu tahun Ramadhan seluruhnya. Sesungguhnya surga dihiasi untuk Ramadhan dari awal tahun kepada tahun berikutnya ….” Hingga akhir hadits ini.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (no. 1886) dan Ibnul Jauzi di dalam Kitabul Maudhuat (2/188-189) dan Abu Ya’la di dalam Musnad-nya sebagaimana pada Al-Muthalibul ‘Aaliyah (Bab/A-B/tulisan tangan) dari jalan Jabir bin Burdah dari Abu Mas’ud al-Ghifari. Hadits ini maudhu’ (palsu), penyakitnya pada Jabir bin Ayyub, biografinya ada pada Ibnu Hajar di dalam Lisanul Mizan (2/101) dan beliau berkata : “Mashur dengan kelemahannya”. Juga dinukilkan perkataan Abu Nua’im, ” Dia suka memalsukan hadits”, dan dari Bukhari, berkata, “Mungkarul hadits” dan dari An-Nasa’i, “Matruk” (ditinggalkan) haditsnya”. Ibnul Jauzi menghukumi hadits ini sebagai hadits palsu, dan Ibnu Khuzaimah berkata serta meriwayatkannya, “Andaikan khabar ini shahih, karena dalam hatiku ada keraguan pada Jarir bin Ayyub Al-Bajali”.
Kedua
أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيْمٌ مُبَارَكٌ ، شَهْرٌ فِيْهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، جَعَلَ اللهُ صِيَامَهُ فَرِيْضَةً ، وَقِيَامَهُ تَطَوُّعًا ، مَنْ تَقَرَّبَ فِيْهِ بِخَصْلَةٍ مِنَ الْخَيْرِ ، كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيْضَةً فِيْمَا سِوَاهُ…وَهُوَ شَهْرٌ أَوَّلُه رَحْمَةٌ وَأَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ
“Wahai manusia, sungguh bulan yang agung telah datang (menaungi) kalian, bulan yang di dalamnya terdapat suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan, Allah menjadikan puasa (pada bulan itu) sebagai satu kewajiban dan menjadikan shalat malamnya sebagai amalan sunnah. Barangsiapa yang mendekatkan diri pada bulan tersebut dengan (mengharapkan) suatu kebaikan, maka sama (nilainya) dengan menunaikan perkara yang wajib pada bulan yang lain …. Inilah bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya adalah merupakan pembebasan dari api neraka ….” sampai selesai.
Hadits ini juga panjang, kami cukupkan dengan membawakan perkataan yang paling sering disampaikan.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1887) dan Al-Muhamili di dalam Amalinya (293) dan Al-Asbahani dalam At-Targhib (q/178, b/tulisan tangan) dari jalan Ali bin Zaid Jad’an dari Sa’id bin Al-Musayyib dari Salman.
Hadits ini sanadnya Dhaif, karena lemahnya Ali bin Zaid, berkata Ibnu Sa’ad, Di dalamnya ada kelemahan dan jangan berhujjah dengannya, berkata Imam Ahmad bin Hanbal: Tidak kuat, berkata Ibnu Ma’in: Dha’if berkata Ibnu Abi Khaitsamah: Lemah di segala penjuru, dan berkata Ibnu Khuzaimah: Jangan berhujjah dengan hadits ini, karena jelek hafalannya. Demikian di dalam Tahdzibut Tahdzib [7/322-323].
Dan Ibnu Khuzaimah berkata setelah meriwayatkan hadits ini: “Andaikan1 khabar itu benar..”. Berkata Ibnu Hajar di dalam Al-Athraf, Sumbernya pada Ali bin Zaid bin Jad’an, dan dia lemah, sebagaimana hal ini dinukilkan oleh Imam As-Suyuthi di dalam Jami’ul Jawami (no. 23714 -tertib urutannya). Dan Ibnu Abi Hatim menukilkan dari bapaknya di dalam Illalul Hadits (I/249), hadits yang Mungkar.
___________________
- Didalam beberapa referensi tidak disebutkan kata in (andaikan), seperti misalnya pada kitab at-Targhiib wat Tarhib 2/95 dan lain-lain. Sehingga ketiadaan kata in menyebabkan rusaknya makna. Karenanya pula banyak sebagian pelajar yang tertipu.
Ketiga
صُوْمُوا تَصِحُّوْا
“Berpuasalah, niscaya kalian akan sehat”
Hadits tersebut merupakan potongan dari hadits riwayat Ibnu Adi di dalam Al-Kamil (7/2521) dari jalan Nahsyal bin Sa’id, dari Ad-Dhahak dari Ibu Abbas.
Nashsyal (termasuk) yang ditinggal (karena) dia pendusta dan Ad-Dhahhak tidak mendengar dari Ibnu Abbas.
Diriwayatkan oleh At-Thabrani di dalam Al-Ausath (1/q 69/Al-Majma’ul Bahrain) dan Abu Nu’aim di dalam At-Thibun Nabawiy dari jalan Muhammad bin Sulaiman bin Abi Dawud, dari Zuhair bin Muhammad, dari Suhail bin Abi Shalih dari Abu Hurairah. Dan sanad hadits ini lemah.
Berkata Abu Bakar Al-Atsram, “Aku mendengar Imam Ahmad -dan beliau menyebutkan riwayat orang-orang Syam dari Zuhair bin Muhammad- berkata, “Mereka meriwayatkan darinya (Zuhair,-pent) beberapa hadits mereka (orang-orang Syam, -pent) yang dhoif itu”.
Ibnu Abi Hatim berkata, “Hafalannya jelek dan hadits dia dari Syam lebih mungkar daripada haditsnya (yang berasal) dari Irak, karena jeleknya hafalan dia”. Al-Ajalaiy berkata. “Hadits ini tidak membuatku kagum”, demikianlah yang terdapat pada Tahdzibul Kamal (9/417).
Aku katakan: Dan Muhammad bin Sulaiman Syaami, biografinya (disebutkan) pada Tarikh Damasqus (15/q 386-tulisan tangan) maka riwayatnya dari Zuhair sebagaimana di naskhan oleh para Imam adalah mungkar, dan hadits ini darinya.
Keempat
مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلاَ مَرَضٍ لَـمْ يَقْضِهِ صَوْمُ الدَّهْرِ وَإِنْ صَامَهُ
“Barangsiapa yang berbuka puasa satu hari pada bulan Ramadhan tanpa ada sebab dan tidak pula karena sakit maka puasa satu tahun pun tidak akan dapat mencukupinya walaupun ia berpuasa pada satu tahun penuh”
Hadits ini diriwayatkan Bukhari dengan mu’allaq dalam shahih-nya (4/160-Fathul Bari) tanpa sanad. Ibnu Khuzaimah telah memasukkan hadits tersebut di dalam Shahih-nya (19870), At-Tirmidzi (723), Abu Dawud (2397), Ibnu Majah (1672) dan Nasa’i di dalam Al-Kubra sebagaimana pada Tuhfatul Asyraaf (10/373), Baihaqi (4/228) dan Ibnu Hajar dalam Taghliqut Ta’liq (3/170) dari jalan Abil Muthawwas dari bapaknya dari Abu Hurairah. Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari (4/161) : “Dalam hadits ini ada perselisihan tentang Hubaib bin Abi Tsabit dengan perselisihan yang banyak, hingga kesimpulannya ada tiga penyakit: idhthirah (goncang), tidak diketahui keadaan Abil Muthawwas dan diragukan pendengaran bapak beliau dari Abu Hurairah”.
Ibnu Khuzaimah berkata setelah meriwayatkannya: “Andaikan khabar ini shahih, karena aku tidak mengenal Abil Muthawwas dan tidak pula bapaknya”. Dengan demikian hadits ini dhaif juga.
Wa ba’du:
Inilah empat hadits yang didhaifkan oleh para ulama dan di lemahkan oleh para Imam, namun walaupun demikian kita (sering) mendengar dan membacanya pada hari-hari di bulan Ramadhan yang diberkahi khususnya dan selain pada bulan itu pada umumnya.
Tidak menutup kemungkinan bahwa sebagian hadits-hadits ini memiliki makna-makna yang benar, yang sesuai dengan syari’at kita yang lurus baik dari Al-Qur’an maupun Sunnah, akan tetapi (hadits-hadits ini) sendiri tidak boleh kita sandarkan kepada Rasulullah ﷺ, dan terlebih lagi -segala puji hanya bagi Allah- umat ini telah Allah khususkan dengan sanad dibandingkan dengan umat-umat yang lain. Dengan sanad dapat diketahui mana hadits yang dapat diterima dan mana yang harus ditolak, membedakan yang shahih dari yang jelek. Ilmu sanad adalah ilmu yang paling rumit, telah benar dan baik orang yang menamainya: “Ucapan yang dinukil dan neraca pembenaran khabar”.
(Semoga Allah Mengaruniakan Surga-Nya Kepada Kita)
Wahai, saudaraku, yang bersungguh-sungguh untuk mentaati Allah Yang Maha-hidup lagi Maha Berdiri Sendiri, inilah sifat puasa Nabi صلي الله عليه وسلم yang sekarang ada di hadapan Anda. Petunjuk mengenai puasa Ramadhan sudah tidak tersembunyi lagi bagi Anda. Oleh karena itu, bergegaslah untuk menggapai kebaikan dan berpegang teguhlah pada pemahaman yang telah dikaruniakan Allah kepada Anda.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ
“Mahasuci Engkau, ya, Allah, segala puji hanya bagi-Mu. Aku bersaksi bahwasanya tidak ada Ilah yang berhak diibadahi, melainkan hanya Engkau semata, aku memohon ampunan-Mu, dan bertaubat kepada-Mu.”
25 Ramadhan 1403 H
Ditulis oleh:
Dua Orang Pencari Ilmu Nabi صلي الله عليه وسلم
Salim al-Hilali,
‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid
- Al-Qur-aanul Kariim
- Al-Ijmaa’, Ibnul Mundzir, Saudi Arabia.
- Al-Ihkaam, Ibnu Hazm, ditahqiq oleh Ahmad Syakir, Mesir.
- Ahkaamul ‘Iedain, ‘AliHasan ‘Ali ‘Abdul Hamid, Amman.
- Irwaa-ul Ghaliil, al-Albani, Beirut.
- Al-Ishaabab fit Tamyiizish Shabaabah, Ibnu Hajar, Beirut.
- I’laamul Muwaqqi’iin, Ibnu Qayyim, Mesir.
- Amaalii al-Muhaamili, ditahqiq oleh Ibrahim al-Qaisi, Mesin ketik.
- Al-Ansaab, as-Sam’ani, Beirut dan India.
- Al-Inshaaf fit Abkaamil I’tikaaf, ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid, Amman.
- Bughyatul Insaan fii Wazhaa-ifi Rama-dhaan, Ibnu Rajab, Beirut.
- Taariikh Dimasyqa, Ibnu ‘Asaakir, manuskrip.
- Tajriid Asmaa’-ish Shabaabah, adz-Dzahabi, India.
- Tuhfatul Asyraaf, al-Mizzi, India.
- Takhriij Ahaadiits Ihyaa’ ‘Uluumuddin, al-‘Iraqi, Mesir.
- Tadriibur Raawi, as-Suyuthi, Mesir.
- At-Targhiib wat Tarhiib, al-Ashbahani, manuskrip.
- At-Targhiib wat Tarhiib, al-Mundziri, Mesir.
- Taghliiqut Ta’liiq, Ibnu Hajar, Amman dan Beirut.
- Tafsiirul Qur-aanil ‘Azhiim, Ibnu Katsir, Beirut.
- At-Talkhiishul Habiir, Ibnu Hajar, Mesir.
- Tahdziibut Tahdziib, Ibnu Hajar, India.
- Tahdziibul Kamaal, al-Mizzi, Beirut.
- Jaami’ul Ushuul, Ibnul Atsir, Damaskus.
- Al-Jaami’ush Shaghiir, as-Suyuthi, Mesir.
- Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam, Ibnu Rajab, Mesir.
- Al-Jaami’ li Ahkaamil Qur-aan, al-Qurthubi, Mesir.
- Jaami’ul Bayaan, ath-Thabari, Mesir.
- Al-Jarh wat Ta’diil, Ibnu Abi Hatim, India.
- Juz-ul I’tikaaf, al-Hammami, ditahqiq oleh ‘Ali Hasan Ali Abdul Hamid.
- Juz-ul Anshaari, Ibnu Maasi, manuskrip.
- Jam’ul Jawaami’, as-Suyuthi, Mesir.
- Haqiiqatush Shiyaam, Ibnu Taimiyyah, Beirut.
- Hilyatul Auliyaa’, Abu Nu’aim, Mesir.
- Diraasaat Minhajiyyah fil ‘Aqiidatis Salafiyyah, Salim al-Hilali, Amman.
- Ad-Durrul Mantsuur, as-Suyuthi, Beirut.
- Risaalataani Maujizataani fiz Zakaat wash Shiyaam, Abdul Aziz bin Baaz, Saudi.
- Riyaadhush Shaalihiin, an-Nawawi, Beirut.
- Zaadul Masiir fii ‘Ilmit Tafsiir, Ibnul Jauzi, Damaskus.
- As-Sunan, Ibnu Majah, Mesir.
- As-Sunan, Abu Dawud, Mesir.
- As-Sunan, at-Tirmidzi, Mesir.
- As-Sunan, ad-Daraquthni, Mesir.
- As-Sunan, ad-Darimi, Mesir.
- As-Sunan, an-Nasa-i, Mesir.
- As-Sunanul Kubraa, al-Baihaqi, India.
- Syarh Ihyaa’ ‘Uluumiddin, az-Zubaidi, Mesir.
- Syarhus Sunnah, al-Baghawi, Beirut.
- Syarhush Shadr bi Dzikri Lailatil Qadar, al-‘Iraqi, Mesir.
- Syarhu Ma’aanil Aatsaar, ath-Thahawi, Mesir.
- Shahiih Ibni Khuzaimah, tahqiq: Mushthafa al-A’zhami, Damaskus.
- Shahiih al-Bukhari, Mesir.
- Shahiih Muslim, Mesir.
- Adh-Dhu’afaa’, al-‘Uqaili, Beirut.
- llalul Hadiits, Ibnu Abi Hatim, Mesir.
- ‘Uluumul Hadiits, Ibnush Shalah, Damaskus.
- ‘Umdatul Qaari, al-Aini, Mesir.
- ‘Amalul Yaum wal Lailah, Ibnus Sunni, India.
- ‘Amalul Yaum wal Lailah, an-Nasa-i, Marokko.
- Annul Ma’buud, al-Azhim Abadi, Mesir.
- Fat-hul Baari, Ibnu Hajar, Mesir.
- Fat-hul Mughiits, as-Sakhawi, Mesir.
- Fadhaa-ilu Syahri Ramadhaan, Ibnu Syahain az-Zarqa’, Yordania.
- Al-Faqiih wal Mutafaqqih, al-Khathib, Saudi.
- Faidhul Qadiir, al-Manawi, Mesir.
- Qiyaamul Lail, Ibnu Nashr, India.
- Al-Kaamil fidh Dhu’afaa’, Ibnu Adi, Beirut.
- Kasyful Astaar ‘an Zawaa-idil Bazzaar, al-Haitsami, Beirut.
- Al-Kasyfush Shariih ‘an Aghlaathish Shaabuuni fii Shalaatit Taraawih, ‘Ali Hasan.
- Al-Kifaayah fii ‘Ilmir Raawi, al-Khathib al-Baghdadi, India.
- Al-Lubaab fii Tahdziibil Ansaab, Ibnul Atsir, Beirut.
- Lisaanul ‘Arab, Ibnu Manzhur, Beirut.
- Al-Lu’-lu’-u wal Marjaan fiimat Tafaqa ‘Alaihi Syaikhaani, Muhammad Fuad Abdul Baqi, Mesir.
- Majma’ul al-Bahrain fii Zawaa-idil Mu’-jamiin, al-Haitsami, manuskrip.
- Majmu’uz Zawaa-id, al-Haitsami, Mesir.
- Al-Majmuu’, an-Nawawi, Mesir.
- Majmuu’ Fataawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Saudi Arabia.
- Mahaasinul Ishthilaah, al-Balqini, Mesir.
- Al-Muhalla, Ibnu Hazm, Mesir.
- Mukhtashar Shahih al-Bukhari, al-Albani, Beirut.
- Al-Mustadrak, al-Hakim, India.
- Musykilul Aatsaar, ath-Thahawi, India.
- Al-Musnad, Abu Ya’la, Damaskus.
- Al-Musnad, Ahmad bin Hanbal, Mesir.
- Al-Musnad, al-Imam asy-Syafi’i, Mesir.
- Al-Musnad, Abu Dawud ath-Thayalisi, India.
- Al-Mashaabiih fii Shalaatit Taraawiih, as-Suyuthi. Tahqiq: ‘Ali Hasan, Amman.
- Mishbaahuz Zujaajah fii Zawaa-id Ibni Majah, al-Bushairi, Beirut.
- Al-Misbbaabul Muniir, al-Fayyumi, Mesir.
- Al-Mushannaf, Ibnu Abi Syaibah, India.
- Al-Mushannaf, Abdurrazzaq ash-Shan’ani, Beirut.
- Al-Mathaalibul ‘Aaliyah fii Zawaa-idil Masaaniidits Tsamaaniyah, Ibnu Hajar, manuskrip.
- Ma’aalimus Sunan, al-Khathabi, Mesir.
- Mu’jam ath-Thabrani ash-Shaghiir, Mesir.
- Mu’jam ath-Thabrani al-Kabiir, tahqiq: Hamdi Abdul Majid as-Salafi, Iraq.
- Al-Mughni, Ibnu Qudamah, Mesir.
- Al-Muntaqa, Ibnul Jarud, Mesir.
- Mawaariduzh Zham-aan fii Zawaa-id Ibni Hibban, al-Haitsami, Mesir.
- Al-Muwaafaqaat, asy-Syathibi, Mesir.
- Muwadhdhihu Auhaamil Jam’i wat Tafriiq, al-Khathib al-Baghdadi, India.
- Al-Maudhuu’aat, Ibnul Jauzi, Mesir.
- Al-Muwaththa ‘, Malik bin Anas, Mesir.
- Miizaanul I’tidaal, adz-Dzahabi, Mesir.
- An-Naasikh wal Mansuukh, Ibnu Syahin, az-Zurqa’, Yordania.
- Nailul Authaar, asy-Syaukani, Mesir.
- Al-Waabilush Shayyib, Ibnul Qayyim, Damaskus.[]
TEMPAT DAN TANGGAL LAHIR
Beliau dilahirkan di Al-Khalil (Hebron), Palestina pada 1377 H (1957 M)
LATAR BELAKANG PENDIDIKAN
Beliau menemani Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani رحمه الله –Ahli Hadits dan Mujaddid pada abad ini– dan berguru kepadanya selama seperempat abad (25 tahun).
Beliau bertemu dan belajar dengan banyak `ulama di India, Pakistan dan Hijaz, yang memberinya ijazah (pengakuan) untuk mengajar dan menyampaikan dari mereka. Seperti Syaikh Badi` Ar-Rashidi (Ahli Hadits dari Sind), Syaikh Muhibbuddin Ar-Rashidi, Syaikh `Abdul Ghafar hasan, Syaikh Muhammad `Abdah Al-Falaah, Syaikh ‘Ataa-ulaah Hanif (Ahli Hadits dari Punjab) dan Syaikh Hammad Al-Anshori (Ahli Hadits dari Madinah)
PERANAN BELIAU DALAM DAKWAH:
Beliau berperan aktif dalam menyerukan kepada Manhaj Salaf. Beliau mungkin adalah salah satu Syaikh Salafi yang paling terkenal di barat karena beliau secara konstan mengunjungi dan menghadiri konferensi Islam, seminar dan program di Inggris dan Amerika Serikat. Beliau juga mengajar di Yordania, sehingga menghasilkan banyak rekaman dalam bahasa Arab dan Inggris (terjemahan).
KARYA BELIAU :
Beliau telah menulis banyak buku dan yang sudah dicetak adalah lebih dari 100 buku. Diantaranya :
- Bahjatun-Nadhirin Syarh Riyadhus Shalihin (3 jilid) [penjelasan kitab Riyadhus-Shalihin]
- Mawsuu’atul-Manaahii asy-Syara’iyyah fi Shahih As-Sunnah an- Nabawiyyah (4 jilid)
- Kifaayatul-Hafadza Syarh Muqaddimah al-Muqidhah [Penjelasan sebuah buku tentang Terminologi Hadits]
- Limaadza Akhtartu al-Manhaj as-Salafi [mengapa memilih manhaj Salaf]
- Basho’ir Dhiwi Syaraf [Sebuah buku yang menjelaskan beberapa prinsip Manhaj Salaf]
- Mu’alifaat Sa’id Hawa [Kritik ilmiah terhadap buku-buku Sa`id hawa]
- Al-Jama’at al-islamiyyah [Buku tentang jama`ah-jama`ah Islam] beliau menulis buku ini ketika berusia 25 tahun.
- Al-Qabiduun `alal-Jamr [Pengikut Sunnah – Mereka yang memegang bara api]
- Madaarij al-`Ubudiyyah
- Tuubaa Lil-Ghurabaa [Koleksi dan tahqiq hadits tentang Al-Ghuroba]
- As-Sabr
- Maqaami’ ash-Shaytaan
- Halaawatul-Eemaan [Manisnya Iman]
- Qisat Ka’ab Ibn Maalik [Faedah dari hadits Ka’ab Ibn Maalik]
- Al-Qoulul-Mubin fi Jamaa’atul-Muslimin
- Ar-Riyaa
- Al-Hayaa
- Makaarim al-Akhlaaq
Selain buku-buku yang beliau tulis, Beliau juga memeriksa, men-tahqiq dan meringkas sejumlah kitab `ulama sebelumnya, seperti:
- Al-Waabil as-Sayyib oleh Ibn Al-Qayyim (ringkasan)
- Al-`Itishom oleh As-Syathibi (2 jilid)
- Taklid buta Madzhab oleh al-Ma’sumi
- Al-Adzkaar oleh An-Nawawi (2 jilid)
- `Uddat-us-Shabirin of Ibn Al-Qayyim
- Jaami’ul`Ulum walHikam of Ibn Rajab (ringkasan)
Beliau juga menulis banyak artikel dan dokumen penelitian tentang Manhaj dan Aqidah, yang terdapat pada banyak majalah Islami dan surat kabar.
TUGAS BELIAU:
Beliau adalah salah satu pendiri majalah Salafi Ash-Shalah, dan menjabat sebagai direktur utamanya.
Beliau adalah pendiri dan anggota direksi Markaz al-Imam Al-Albani di Yordania, yang membuat karya-karya ilmiah dan mengadakan acara dan seminar.[]
KELAHIRAN BELIAU:
Beliau dilahirkan di kota Zarqa, Yordania pada 29 Jumadil Tsani, 1380H. Ayah dan kakek beliau bermigrasi ke Yordania dari Jaffa, Palestina pada tahun 1368H (1948M) karena perang yang dilancarkan Yahudi, semoga Allah melaknati mereka.
Masa kecil beliau, menuntut ilmu dan guru beliau: Beliau mulai mencari ilmu ketika berusia 20 tahun lebih sedikit. Guru beliau yang paling masyhur adalah `ulama besar, Ahli Hadits, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani رحمه الله, kemudian `ulama ahli sastra, Syaikh `Abdul Wadud Az-Zarari رحمه الله, dan `ulama lainnya.
Beliau bertemu Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani pada akhir 1977 di Yordania. Beliau belajar “Ishkaalaat Al-Baa’ith al-Hatheeth” kepada Syaikh Al-Albani pada 1981, dan kitab-kitab lainnya mengenai hadits dan ilmu hadits.Beliau memiliki ijazah (pengakuan) dalam bidang agama secara umum dan hadits secara khususnya, dari beberapa `ulama seperti Syaikh Badi`uddin As-Sindiرحمه الله , Syaikh Muhammad Asy-Syanqithi رحمه الله dan lainnya.
PUJIAN `ULAMA UNTUK BELIAU:
Banyak `ulama yang memuji beliau, seperti: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani رحمه الله, ketika membongkar fitnah musuh sunnah, Hasan `Abdul Manaan pada kitabnya As-Shohihah (2/720), berkata:
“Dan lebih lanjut untuk membongkar kesalahan ucapannya dalam menyatakan semua hadits ini lemah – hal ini membutuhkan sebuah kitab yang ditulis khusus untuk tujuan itu. Namun waktuku tidak memungkinkan untuk melakukan pekerjaan seperti ini, jadi mungkin salah satu saudara kami yang kuat dalam ilmu ini dapat melakukan pekerjaan ini, seperti saudara `Ali al-Halabi.”
Juga pada muqoddimah kitab “At-Ta’aliqaat ar-Raddiyyah `ala ar-Rawdatun-Nadiyyah” dan “Adaab Az-Zafaaf”, dicetak oleh Al-Maktabah Al-Islaamiyyah, dan juga kitab beliau “An-Nashihah.”
Syaikh bin Baz رحمه الله juga memuji beliau dan menulis kata pengantar pada buku beliau “Innahaa Salafiyyatul `Aqidah wal-Manhaj.
”Syaikh Bakr Abu Zaid رحمه الله memuji beliau dalam bukunya “Tahrif an-Nushus min Maa’kath Ahlil-Ahwaa fil-Istidlaal” (hal. 93-94).
Pada Jumadil Akhir 1421H, Syaikh Muhammad Al-Banna menyatakan: ”Syaikh Al-Albani adalah Ibnu Taimiyyah pada zaman kita, dan Syaikh `Ali Hasan al-Halabi adalah Ibnu Qoyyim pada zaman kita yang merupakan murid Syaikh Al-Albani, dan Syaikh Rabi` adalah Ibnu Ma`in pada zaman kita karena ilmu beliau tentang rijal.”
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-Utsaimin رحمه الله dan banyak `ulama lainnya memuji Syaikh `Ali ketika beliau berkunjung ke Mekkah dan Madinah, yang beliau nyatakan dalam ceramahnya “Perjalananku ke Haromain” dan pada pengantar bukunya “At-Ta’rif wat-Tanbi’ah.”
USAHA BELIAU DALAM MEDAN DAKWAH:
Beliau adalah salah satu pendiri majalah Ash-Shalah, yang diterbitkan di Yordania, sebagai editor dan penulis di majalah tersebut.Beliau adalah salah satu pendiri “Imam Al-Albani Center” untuk penelitian ilmiah dan pelajaran tentang manhaj.Beliau dulu biasa menulis artikel mingguan yang dipublikasi oleh surat kabar Al-Muslimoon, yang diterbitkan di London dan yang dimiliki oleh majalah As-Sunnah. Hal ini berlangsung sekitar 2 tahun mulai dari 18 rabi`ul awwal 1417H.
Beliau telah ikut berpartisipasi pada sejumlah konferensi Islam, pelatihan dakwah dan dauroh diseluruh dunia pada berbagai waktu. Seperti: Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Kanada, Indonesia, Perancis dan negara lainnya.Beliau diundang oleh berbagai Universitas di Yordania untuk memberi pengajaran dan berpartisipasi dalam konferensi, seperti University of Jordan, Yarmook University, Zaytoonah University, dan lainnya.
KARYA BELIAU DAN TAHQIQ :
- `Ilm Usool Al-Bid’ah
- Diraasaat `Ilmiyyah fee Saheeh Muslim
- Ru’yatun Waaqi’iyyah fil-Manaahij ad-Da’awiyyah
- An-Nukat `alaa Nuzhat-in-Nadhar
- Ahkaam ash-Shitaa fee as-Sunnah al-Mutahharah
- Ahkaam al-`Eidayn fee as-Sunnah al-Mutahharah
- At-Ta’aleeqaat al-Athariyyah `alal-Mandhoomah al-ayqooniyyah
- Ad-Da’wah ilaa Allaah baina at-Tajammu’ al-Hizbee wat-Ta’aawun ash-Shar’ee
TAHQIQ BELIAU :
- “Miftaah Daar as-Sa’aadah” oleh Imaam Ibn Al-Qayyim (3 jilid)
- “At-Ta’aleeqaat ar-Raddiyyah `alaa ar-Rawdat an-Nadiyyah” oleh Al-Albani (3 volumes)
- “Al-Baa’ithul-Hatheeth” oleh Ahmad Shaakir (2 jilid)
- “Al-Hittah fi Dhikri as-Shihaah as-Sittah” oleh Sideeq Hasan Khaan (1 jilid)
- “Ad-Daa wad-Dawaa” oleh Ibn Al-Qayyim (1 jilid)
- “Al-Mutawaaree `alaa Abwaab Al-Bukhaaree” oleh Ibn Al-Muneer (1 jilid), dan lainnya.
Banyak dari buku-buku beliau telah diterjemahkan ke bahasa lain, seperti Inggris, Perancis, Urdu, Indonesia, dan lainnya.[]