Home > Bimbingan Islam > Kitāb Shifatu Shaum Nabi ﷺ Fī Ramadhān > Halaqah 03: Menyambut Bulan Ramadhān

Halaqah 03: Menyambut Bulan Ramadhān

🌍 BimbinganIslam.com
🎙 Ustadz Arief Budiman, Lc حفظه لله تعالى
📗 Kitāb صفة الصوم النبي ﷺ في رمضان (Shifatu Shaum Nabi ﷺ Fī Ramadhān)
📝 Syaikh Salim bin Ied Al Hilali حفظه لله تعالى dan Syaikh Ali Hasan bin Abdul Hamid ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ تعالى
〰〰〰〰〰〰〰

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
والْحمد لله والصلاة والسلام على رسول لله و على أله و صحبه و من ولاه، ولا حول ولا قوة الا بالله، أما بعد

Ma’asyiral musta’mi’in, kaum muslimin para pemirsa Bimbingan Islām rahīmaniy wa rahīmakumullāh.

Ini adalah halaqah yang ketiga dalam pembahasan Kitāb: صفة الصوم النبي ﷺ في رمضان (Shifatu Shaum Nabi ﷺ Fī Ramadhān), yaitu tentang Sifat Puasa Nabi ﷺ Pada Bulan Ramadhān. Karya dua syaikh yaitu Syaikh Salim bin Ied Al Hilali dan Syaikh Ali Hasan bin Abdul Hamid rahimahullāh.

Kali ini kita akan membahas :

بين يدى رمضان

_▪︎ APA SAJA YANG HENDAKNYA KITA PERSIAPKAN DAN KITA KETAHUI SEBELUM MEMASUKI BULAN RAMADHĀN_

Jadi kewajiban waliyyul amri dan seluruh kaum muslimin adalah menghitung bulan Syab’an, yaitu satu bulan sebelum bulan Ramadhān. Karena bulan-bulan qamariyyah atau hijriyyah jumlahnya kalau tidak 30 hari maka 29 hari.

Dan penetapan masuknya setiap bulan, termasuk di dalamnya bulan Ramadhān, adalah dengan ru’yatul hilal (dengan melihat hilal), yaitu bulan sabit dipermulaan bulan qamariyyah atau hijriyyah.

Ketika diadakan ru’yatul hilal, ketika melihat hilal di malam yang ke-30, kalau tidak terlihat hilal berarti bulan tersebut adalah 30 hari.

Tidak terlihat dengan sebab (misalnya) ada awan yang tebal atau mendung atau cuaca yang ekstrem atau penghalang lainnya yang tidak memungkinkan terlihatnya hilal pada malam ke-30 itu, berarti besoknya (otomatis) adalah hari yang ke-30. Hari tersebut disempurnakan menjadi 30 hari.

Dan ini tentunya berdasarkan beberapa dalīl dari hadīts-hadīts Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Di antaranya adalah hadīts dari Abū Hurairah radhiyallāhu ta’ala ‘anhu di dalam Shahīh Bukhāri dan Muslim.

Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَ أَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ

_”Berpuasalah dengan sebab kalian melihatnya (hilal), dan berbukalah kalian dengan sebab melihat hilal (menentukan syawwal). Jika kalian terhalangi melihat hilal tersebut maka sempurnakanlah bulan Syab’an menjadi 30 hari.”_

(Hadīts shahīh riwayat Al Bukhāri dan Muslim).

Dalam hadīts lain.

Dari Abdullāh Ibnu Umar radhiyallāhu ‘anhumā, Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

لا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوْا الْهِلالَ وَلا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ

_”Janganlah kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal dan janganlah kalian berbuka hingga kalian melihat hilal. Apabila kalian terhalangi maka sempurnakanlah (genapkan) bulan tersebut menjadi 30 hari.”_

(Hadīts shahīh riwayat Al Bukhāri nomor 1906 dan Muslim nomor 1080).

Sehingga, dari sini, para pemirsa rahīmaniy wa rahīmakumullāh, tidak boleh seseorang sengaja berpuasa satu hari sebelum Ramadhān yang disebut dengan: صوم يوم الشك (berpuasa di hari syak), yaitu hari yang diragukan.

Apakah hari tersebut akhir Syab’an atau awal Ramadhān, dengan sebab syak maka tidak boleh seseorang menyengaja berpuasa untuk kehati-hatian.

Ini dilarang oleh Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Jadi berpuasa di akhir Syab’an, baik di hari ke-29 atau hari ke-30, maka ini dilarang oleh Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, apabila dengan maksud untuk berhati-hati barangkali itu sudah masuk tanggal 1 Ramadhān.

Kecuali apabila orang tersebut ketika dia berpuasa sunnah bertepatan di akhir Syab’an. Dia sudah terbiasa puasa sunnah (puasa dawud atau puasa senin kamis) atau sedang mengqadha shaum Ramadhān yang lalu yang belum selesai. Maka ini tidak apa-apa.

Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam di dalam Shahīh Muslim dari Abū Hurairah radhiyallāhu ‘anhu.

Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

لا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلا يَوْمَيْنِ إِلا رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ

_“Jangan kalian mendahului Ramadhān dengan berpuasa sehari atau dua hari (sebelumnya). Kecuali seseorang yang terbiasa berpuasa (puasa sunnah) maka (tidak mengapa) berpuasalah.”_

(Hadīts shahīh riwayat Al Bukhāri nomor 1914 dan Muslim nomor 1082).

Dan barangsiapa yang menyengaja berpuasa diakhir Syab’an padahal bukan kebiasaannya (berpuasa sunnah) tapi (karena) demi kehati-hatian dengan beranggapan barangkali itu adalah awal Ramadhān, maka dia telah bermaksiat (melanggar) Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Sebagaimana hadīts dari Silah bin Jufar radhiyallāhu ‘anhu dari Amar bin Yasir dalam Sunnan Abī Dawud dan yang lainnya dan Imam Al Bukhāri meriwayatkan secara muallaq.

Beliau (Amar bin Yasir) mengatakan:

مَنْ صَامَ الْيَوْمَ الذ الشكه

_”Barangsiapa yang berpuasa di hari yang disitu diragukan,_

Dalam arti, kebanyakan orang meragukan. Apakah itu akhir Syab’an atau awal Ramadhān.

Sementara Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam memerintahkan untuk menggenapkan Syab’an 30 hari.

Ini justru kata Amar bin Yasir:

فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

_Dia telah bermaksiat kepada Abū Al Qasim (Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam).”_

Dari sini jelaslah bahwa kaidah dalam menetapkan masuknya bulan, termasuk di dalamnya bulan Ramadhān, adalah dengan ru’yatul hilal.

Hukum asalnya, hilal tersebut dilihat oleh kaum muslimin baik satu orang ataupun lebih.

Dan kalau tidak terlihat hilalnya, ketika proses ru’yatul hilal di malam ke-30 Sya’ban, maka sempurnakan bulan Syab’an nya menjadi 30 hari.

Ru’yatul hilal hukum asalnya adalah kewajiban waliyyul amri dan orang-orang yang ditugaskan oleh pemerintah. Dan kewajiban kaum muslimin adalah mengikuti apa yang telah mereka tetapkan.

Kalau mereka (waliyyul amri) telah melihatnya (hilal) kewajiban kaum muslimin untuk mengikutinya.

Kalau mereka (waliyyul amri) mengatakan hilal tidak terlihat, karena memang belum kelihatan atau terhalang, berarti kita (tinggal) menyempurnakan bulan Syab’an menjadi 30 hari.

Dan ini terjadi pada Abdullāh bin Umar radhiyallāhu ta’ala ‘anhumā, sebagaimana di dalam Sunnan Abī Dawud dan yang lainnya dan sanad hadīts ini shahīh.

Abdullāh bin Umar radhiyallāhu ‘anhu berkata:

تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلاَلَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنِّى رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ

_“Orang-orang berusaha untuk melihat hilal, kemudian aku beritahukan kepada Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bahwa aku telah melihatnya. Kemudian Beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang agar berpuasa.”_

(Hadīts shahīh riwayat Abū Dawud nomor 2342).

Demikian tentang hukum sebelum bulan Ramadhān, ketika diakhir-akhir Syab’an, itulah yang harus kita pahami.

Semoga bermanfaat.

صلى الله على النبيا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

____________________

image_pdfimage_print

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top