Halaqah 14:  Kafarah dan Fidyah

🌍 BimbinganIslam.com
🎙 Ustadz Arief Budiman, Lc حفظه لله تعالى
📗 Kitāb صفة الصوم النبي ﷺ في رمضان (Shifatu Shaum Nabi ﷺ Fī Ramadhān)
📝 Syaikh Salim bin Ied Al Hilali حفظه لله تعالى dan Syaikh Ali Hasan bin Abdul Hamid ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ تعالى
〰〰〰〰〰〰〰

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
والْحمد لله والصلاة والسلام على رسول لله و على أله و صحبه و من ولاه، أما بعد

Ma’asyiral musta’mi’in, para pemirsa Bimbingan Islām rahīmaniy wa rahīmakumullāh.

Ini adalah halaqah yang keempat belas dalam pembahasan Kitāb صفة الصوم النبي ﷺ في رمضان (Shifatu Shaum Nabi ﷺ Fī Ramadhān), yaitu tentang Sifat Puasa Nabi ﷺ Pada Bulan Ramadhān, karya dua Syaikh yaitu Syaikh Salim bin Ied Al Hilali dan Syaikh Ali Hasan bin Abdul Hamid rahimahullāh ta’ala.

Di halaqah keempat belas ini kita akan membahas tentang:

▪︎ Kafarah dan Fidyah.

⑴ Kafarah Bagi Laki-Laki Yang Menjima’i Istrinya.

Kafarah yang dimaksud adalah kafarah bagi orang yang melakukan hubungan suami istri di siang hari di bulan Ramadhān.

Berdasarkan hadīts Abū Hurairah radhiyallāhu ‘anhu di dalam Shahīh Al Bukhāri dan Muslim. Diceritakan seorang shahabat yang bernama Salamah bin Sakhrah Al Bayadi radhiyallāhu ‘anhu datang kepada Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan beliau mengatakan:

هَلَكْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ

_”Wahai Rasūlullāh, celaka aku.”_

Kemudian Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan:

وما أهلك؟

_“Apa yang membuatmu binasa?”_

Shahabat ini berkata:

وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِى في رمضان

_”Aku menggauli istriku di siang hari bulan Ramadhān.”_

Kemudian Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan:

هَلْ تَجِدُ تعتق رَقَبَةً

_”Apakah engkau memiliki uang untuk membebaskan budak?”_

Pria tadi menjawab, “Tidak.”

Lantas Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam bertanya lagi:

فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ

_”Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?”_

Pria tadi menjawab, “Tidak.”

Dalam riwayat lain dikatakan oleh shahabat tersebut, “Bagaimana mungkin ya Rasūlullāh, sehari bulan Ramadhān saja saya tidak kuat bagaimana jika saya berpuasa dua bulan berturut-turut.”

Akhirnya urutan ketiga dari kafarat ini adalah memberikan makan untuk 60 orang miskin.

Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bertanya, “Apakah engkau dapat memberi makan kepada 60 orang miskin?” Pria tadi juga menjawab, “Tidak.”

Tatkala kami dalam kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu wadah kurma kepada Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Kemudian Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam berkata, “Ambillah dan bersedekahlah dengannya.”

Kemudian shahabat tadi mengatakan, “Apakah aku berikan kepada orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasūlullāh? Demi Allāh, tidak ada yang lebih miskin di ujung timur hingga ujung barat kota Madīnah dari keluargaku.”

Kemudian Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam tertawa sampai terlihat gigi taringnya. Kemudian Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam berkata, “Berilah makanan tersebut pada keluargamu.”

(Hadīts shahīh Bukhāri nomor 1936 dan Muslim nomor 1111).

Inilah yang dinamakan dengan kafarat dan kafarat ini secara berurutan yaitu membebaskan budak, jika tidak mampu berpuasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu memberi makan 60 orang miskin. Dan jika tidak mampu semuanya sebagaimana hadīts di atas maka gugur kewajibannya.

Sebagiaman firman Allāh Subhānahu wa Ta’āla:

لا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

_”Allāh tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”_

(QS. Al Baqarah: 286)

Kafarat ini berlalu untuk suami sedangkan untuk istri ada khilaf para ulama. Apakah istri juga melakukan kafarat seperti ini. Dan yang benar adalah diperinci. Jika si istri juga lupa atau dipaksa maka tidak ada kafarat. Tapi jika si istri ingat (tahu) tetapi diam saja maka jumhur ulama mengatakan istripun mendapatkan kafarat.

Sekali lagi ini masalah khilaf dan sebagian ulama mengatakan cukup suami saja yang melakukan kafarat itu dan kewajiban istri hanya bertaubat saja kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Permasalahan ini cukup panjang namun itulah kesimpulannya.

⑵ Fidyah.

Di halaqah yang lalu telah dijelaskan bahwa fidyah ini berlaku bagi orang tua (kakek atau nenek) yang tidak mampu untuk berpuasa atau orang sakit yang sifat sakitnya menahun artinya tidak sembuh-sembuh dan jika dipaksakan puasa akan semakin parah penyakitnya.

Maka kewajibannya adalah mengeluarkan fidyah sebanyak 1/2 shā’ atau 1,5 Kg bahan makanan mentah atau satu porsi makanan atau 1 mud (7,5 Ons) jika bahan makanan tersebut dari jenis gandum yang bagus (burr).

Yang menjadi khilaf juga adalah tentang wanita hamil dan menyusui.

Kalau mereka khawatir terhadap diri mereka atau terhadap anak mereka jika mereka berpuasa. Apakah kewajiban mereka membayar fidyah atau mengqadha’ atau fidyah dan qadha’?

Karena disini khilafnya berkepanjangan, jadi para ulama berselisih pendapat tentang permasalahan ini. Apakah wanita hamil dan menyusui jika meninggalkan puasa karena udzur (khawatir akan dirinya atau akan bayinya) harus mengqadha’ atau cukup membayar fidyah saja? Atau dua-duanya?

Terdapat beberapa pendapat dalam masalah ini, cukup banyak pendapat tetapi yang paling masyhur dari pendapat-pendapat ini adalah dua pendapat (nanti akan kita jelaskan yang mana yang paling rajīh).

Wanita yang hamil dan menyusui wajib mengqadha’ tanpa harus membayar fidyah. Dan ini berlaku secara mutlak apakah mereka tidak puasanya karena khawatir terhadap diri mereka sendiri ataukah karena khawatir terhadap anak-anak mereka atau khawatir karena keduanya.

Dan ini pendapat madzhab Hanafi, jadi dia harus mengqadha’ dan pendapat ini cukup kuat mengingat dalīl yang kuat yang mereka gunakan. Dan pendapat ini juga yang dipilih oleh mayoritas ulama di zaman ini, seperti ulama di Saudi Syaikh Abdul Azīz bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin bisa dilihat di Majmu Fatwa beliau dan Asy Syarhul Mumti’ dan Fatwa dari Lajna Daimah.

Bahkan Imam Ibnu Qudamah (ulama bermadzhab Hambali) menyatakan, “Wanita hamil dan wanita yang menyusui jika khawatir terhadap dirinya sendiri bukan khawatir terhadap anak mereka, maka mereka boleh berbuka dan wajib bagi mereka untuk mengqadha’ saja.”

Kita tidak melihat karena diperinci lagi kekhawatiran terhadap diri sendiri atau kekhawatiran terhadap anaknya, dan di sana ada penjelasan lagi. Tetapi yang pertama intinya wanita hamil dan menyusui hanya mengqadha’ saja tidak harus membayar fidyah.

Dan berdalīl dengan berbagai macam dalīl diantaranya hadīts dalam Musnad Imam Ahmad Sunnan Ibnu Majah dan yang lainnya dan hadīts ini shahīh.

Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْمُسَافِرِ وَالْحَامِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ أَوِ الصِّيَامَ

_”Sesungguhnya Allāh meringankan bagi seorang musafir setengah shalat dan meringankan puasa bagi musafir dan wanita hamil.”_

(Hadīts riwayat An Nassā’i nomor 2275, Ibnu Majah nomor 1667, dan Ahmad 4/347. Syaikh Al Albanīy mengatakan bahwa hadīts ini hasan shahīh)

Sisi pendalīlan di sini Allāh Subhānahu wa Ta’āla menggandengkan hukum wanita hamil, wanita menyusui dan musafir dalam hal sama-sama diberi keringanan untuk berbuka yaitu tidak berpuasa. Dan ini menunjukkan bahwa hukum wanita menyusui dan wanita hamil sama dengan musafir.

Jika musafir wajib mengqadha puasa Ramadhān yang ditinggalkannya ketika dia tidak berpuasa, maka wanita hamil dan menyusui juga wajib mengqadha’nya dan tidak membayar fidyah. Itu diantara dalīlnya.

Dan pendapat yang kedua bahwasanya wanita hamil dan menyusui hanya wajib membayar fidyah saja tanpa harus mengqadha’. Dan ini pendapat yang masyhur dari kalangan shahabat yaitu Ibnu Umar dan Ibnu Abbās radhiyallāhu ‘anhum ajma’in.

Dan inilah pendapat yang dipilih oleh para ulama sekarang seperti Imam Al Albanīy dan kedua murid beliau yaitu Syaikh Ali Hasan dan penulis kitāb ini dan Syaikh Salim Al Hilali dan ini adalah pendapat sebagian shahabat yaitu Ibnu Abbās.

Ibnu Abbās jelas-jelas mengatakan:

إذا خَافَتِ الحاملُ على نفسها والمرضِعُ على ولدها في رمضان : يُفطران ويُطعمان مكانَ كل يومٍ مسكيناً، ولا يقضيان صوماً

_”Jika wanita hamil mengkhawatirkan dirinya dan wanita menyusui mengkhawatirkan keadaan anaknya ketika mereka tetap berpuasa Ramadhān, maka mereka boleh berbuka dan membayar fidyah untuk setiap hari yang mereka tinggalkan dengan memberi makan seorang miskin dan tidak mengqadha’.”_

Perkataan Ibnu Abbās ini diriwayatkan oleh Imam Ath Thabari dan sanadnya shahīh sesuai dengan sanad Imam Muslim. Keterangannya bisa dilihat di kitāb Irwaul Ghalil karya Imam Al Albanīy rahimahullāh.

Dan Ibnu Abbās juga pernah ditanya tentang wanita hamil dan wanita menyusui. Apakah fidyah atau mengqadha’? maka orang yang bertanya yang sedang hamil dan menyusui ini mengatakan, “Apakah saya mengqadha’ atau membayar fidyah?”

Kemudian Ibnu Abbās mengatakan:

أَنْتِ بِمَنْزِلَةِ الَّذِي لاَ يُطِيْقُ، عَلَيْكِ أَنْ تُطْعِمِي مَكَانَ كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا وَلاَ قَضَاءَ عَلَيْكِ

_”Kedudukanmu sama seperti orang yang tidak mampu berpuasa yang diterangkan dalam ayat, hendaknya engkau memberi makan seorang miskin untuk setiap hari berbuka dan tidak ada qadha’ bagimu.”_

Dan Ibnu Abbās juga mengatakan:

الحاملُ والمرضعُ تفطر ولا تَقٌضِي

_”Wanita hamil dan wanita menyusui berbuka dan tidak mengqadha’ artinya membayar fidyah.”_

Ibnu Umar juga sama mengatakan sama seperti yang diucapkan Ibnu Abbās (kurang lebihnya) dan Wallāhu A’lam Bishawab, yang dijelaskan dalam kitāb adalah yang dirajīhkan (dikuatkan) dalam kitāb adalah pendapat yang kedua, bahwa wanita hamil dan menyusui hanya membayar fidyah saja dan tidak mengqadha’.

Itu kesimpulan akhirnya secara ringkas dan cepat dan tadi sudah dijelaskan masing-masing setiap harinya untuk satu fakir miskin setengah shā’ atau satu mud atau satu porsi makanan.

Wallāhu A’lam Bishawab.

صلى الله على النبيا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

____________________

image_pdfimage_print

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top