Home > Bimbingan Islam > Kaidah Dasar Jual Beli > Halaqah 03 : Jual beli dibangun di atas Keridhaan

Halaqah 03 : Jual beli dibangun di atas Keridhaan

🎙 Ustadz Muhammad Ihsan, M.HI حفظه لله تعالى
📗 Kitāb Qawā’du Fīl Buyū’ (قواعد في البيوع)
📝 Fadhillatus Syaikh Sulaiman bin Salim Ar-Ruhaili حفظه لله تعالى
〰〰〰〰〰〰〰

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله الذي علَّمَ القرآن وعلَّم الإنسانَ ما لم يعلَم
وصلى الله على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم عدد من علم و تعلم اما بعد

Ikhwātil Kirām A’ādzakumullāh.

Kita kembali melanjutkan pembahasan kita, dalam kaidah-kaidah yang berkaitan dengan jual beli. Di pertemuan sebelumnya kita telah sampai di kaidah yang ketiga yaitu: القصود مؤثرة في العقود , niat seorang mempengaruhi sah atau tidaknya sebuah transaksi jual beli.

Di pertemuan kali ini kita masuk pada kaidah keempat yaitu:

إنما البيع عن تراض

_▪︎ Kaidah Keempat | Jual beli dibangun di atas keridhaan_

Jual beli dibangun di atas asas suka sama suka atau keridhaan.

Apa maksudnya?

Maksudnya adalah jual beli dianggap tidak sah kecuali apabila kedua pelaku transaksi sama-sama suka atau ridha. Ketika salah satu pihak terpaksa, tidak ridha, maka tidak sah jual beli tersebut.

Para ulama menjelaskan kaidah ini berlaku apabila terpenuhi tiga syarat, jadi tidak berlaku secara mutlak, harus terpenuhi tiga syarat baru ridha itu bisa dianggap.

⑴ Bukan pada transaksi yang diharamkan.

Misalkan:

Dua orang sedang bertransaksi riba (suka sama suka/ridha sama ridha).

Misalkan jual beli emas (perhiasan) kualitas bagus 10 gram ditukar dengan emas 12 gram namun kualitasnya jelek, sudah tidak mengkilap, modelnya lama dan tidak bagus.

Terjadi tukar menukar emas, berbeda 10 gram dengan 12 gram, ini akad riba sebagaimana in syā Allāh nanti akan kita jelaskan di pertemuan khusus yang membahas riba.

Akad ini riba walaupun orangnya ridha sama ridha (suka sama suka), maka tetap akad ini tidak diperbolehkan, karena pada asalnya akad tersebut terlarang di dalam agama kita (Islām).

Ridha Allāh Subhānahu wa Ta’āla harus lebih dikedepankan daripada ridha makhluk.

Jadi tidak ada alasan ketika seseorang bertransaksi dengan bank (transaksi riba, misalkan) dengan beralaskan kita ridha sama ridha. Maka kita harus lihat dulu ridha Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Itu syarat yang pertama.

⑵ Tidak boleh menghilangkan tujuan asal jual beli.

Seorang menjual barang lalu dibeli oleh orang lain. Gunanya apa?

Yaitu terjadinya pertukaran, agar orang lain bisa memanfaatkan barang yang dibeli atau ditukar.

Misalkan:

Ahmad menjual rumahnya kepada Muhammad, lalu Ahmad berkata kepada Muhammad, “Ya Muhammad, rumah ini saya jual, tetapi dengan syarat engkau tidak boleh menempati rumah ini, engkau tidak boleh menjualnya, tidak boleh disewakan dan tidak boleh diberikan kepada orang lain.”

Para ulama mengatakan, “Walaupun mereka berdua ridha, namun transaksinya tidak sah”. Karena menghilangkan tujuan asal jual beli. Lalu apa gunanya jual beli kalau seandainya dia benar-benar tidak bisa menggunakan rumah tersebut. Ini yang kedua.

⑶ Tidak ada sebab syari’ atau alasan yang menghilangkan keridhaan tersebut (sehingga ridhanya tidak dianggap lagi).

Contohnya:

Ketika seorang terlilit utang lalu dia bangkrut. Orang-orang yang meminjamkan hartanya (kreditur) mereka datang kepada hakim.

Mereka mengatakan, “Hakim, Si Fulan berutang banyak kepada kami, maka tolong diputuskan.”

Jika hakim memutuskan perkara dengan menjual barang-barang milik orang yang berutang, maka ini diperbolehkan walaupun orang yang berutang tidak ridha barang-barang miliknya dijual. Namun ketika hakim memutuskan maka keridhaannya tidak lagi dianggap, karena ada hak orang yang berkaitan dengan harta tersebut (ada hak orang yang harus dipenuhi).

Apabila tiga syarat ini terpenuhi:

① Tidak pada barang yang diharamkan.
② Tidak pula menghilangkan tujuan asal jual beli.
③ Tidak pula dalam masalah-masalah yang keridhaan menjadi tidak dianggap.

Maka keridhaan menjadi syarat jual beli itu dianggap sah.

إنما البيع عن تراض

_”Jual beli dibangun di atas keridhaan.”_

Kalau dia tidak ridha maka tidak sah.

Dalīl dari kaidah ini adalah:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ ……..

_”Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesama kamu dengan jalan yang bathil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu…”_

(QS. An Nissā’: 29)

Dari sini kita lihat bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengatakan, “Perdagangan yang dibangun di atas keridhaan.”

Kemudian sabda Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam:

إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ

_”Sesungguhnya jual beli itu dibangun di atas keridhaan (suka sama suka).”_

(Hadīts shahīh riwayat Ibnu Mājah nomor 2185)

Kemudian sabda Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam:

أَلَا وَلَا يَحِلُّ لِامْرِئٍ مِنْ مَالِ أَخِيهِ شَيْءٌ إِلَّا بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ

_”Ketahuilah tidak halal bagi seseorang, harta saudaranya sedikit pun (tidak boleh diambil sedikit pun) kecuali dengan keridhaannya.”_

(Hadīts riwayat Ahmad nomor 21082)

Kalau dia relakan baru itu dibolehkan.

Tidak boleh berpindah kepemilikan kecuali dengan keridhaan orang yang memiliki barang tersebut. Itu kaidah yang keempat.

لا ينعقد البيع إلا على مال

_▪︎ Kaidah Kelima | Akad jual beli dibolehkan pada harta_

Akad jual beli hanya dibolehkan kalau objek transaksinya adalah harta.

Penjelasannya adalah:

Jual beli tidak boleh dilakukan kecuali objek transaksinya adalah harta dan maksud dari harta yang dikatakan para ulama adalah: Segala sesuatu yang dibolehkan manfaatnya secara mutlak sesuai dengan ‘urf masyarakat.

Jadi kaidah tersebut ada tiga objek jual beli yang tidak dibolehkan, diantaranya:

⑴ Benda tersebut haram

Karena kita katakan tadi, jual beli hanya boleh pada harta dan harta adalah segala sesuatu yang dibolehkan manfaatnya. Berarti ketika benda tersebut tidak boleh dimanfaatkan (diharamkan manfaatnya) maka tidak boleh diperjual belikan.

Dan ini telah kita singgung juga di kaidah yang pertama.

Contohnya:

Alat musik, alat musik tidak boleh dimanfaatkan (haram untuk dimanfaatkan).

Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

سيكون مِن أُمَّتي من يَسْتَحِلُّونَ الحِرَ والحَرِيرَ، والخَمْرَ والمَعازِفَ

_”Akan datang diantara umatku orang yang menghalalkan sutra, menghalalkan zina, menghalalkan khamr, dan menghalalkan alat musik.”_

Menunjukkan bahwasanya alat musik ini diharamkan sehingga datang nanti orang yang menghalalkan, maka tidak boleh dimanfaatkan, sehingga apapun yang tidak boleh dimanfaatkan, tidak boleh dijual belikan.

⑵ Benda yang boleh dimanfaatkan dalam keadaan tertentu (tidak mutlak) hanya boleh digunakan dalam keadaan tertentu.

Seperti: Anjing pemburu.

Anjing boleh dimanfaatkan dalam keadaan berburu namun tidak dibolehkan secara mutlak. Tidak boleh seorang memelihara anjing kecuali dalam keadaan tertentu. Maka yang seperti ini juga tidak boleh diperjual belikan.

⑶ Benda yang sama sekali tidak memiliki manfaat.

Seperti: nyamuk, kecoa.

Maka kita ketahui zaman sekarang tidak ada orang yang menganggap nyamuk itu memiliki manfaat sehingga diperjual jual belikan atau kecoa (misal). Maka benda-benda seperti ini tidak boleh diperjual belikan.

Dan ini dikembalikan kepada ‘urf masyarakat.

Apakah benda itu bermanfaat atau tidak?

Seandainya dia tidak memiliki manfaat maka dia tidak boleh diperjual belikan. Namun seandainya sepuluh tahun lagi dia menjadi bermanfaat, maka bisa jadi di sepuluh tahun kemudian itu boleh diperjual belikan, ini dikembalikan kepada ‘urf masyarakat.

Kecuali hal-hal yang diharamkan secara syari’at maka ini tidak berubah (tidak boleh diperjual belikan)

Apa dalīl dari kaidah ini?

Sabda Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam:

إنَّ اللهَ إذا حرَّمَ شَيئًا حرَّمَ ثَمَنَه

_”Sesungguh Allāh Subhānahu wa Ta’āla apabila mengharamkan sesuatu maka Allāh akan mengharamkan harganya.”_

(Hadīts riwayat Ibnu Hiburan nomor 4938)

Begitu pula dengan hadīts yang kita bahas di pertemuan yang pertama:

إنَّ الله إذا حرَّم اكل شيء حرَّم ثمنه

_”Sesungguhnya Allāh Subhānahu wa Ta’āla apabila mengharamkan untuk memakan sesuatu maka Allāh haramkan jual belinya.”_

Kemudian dalīl berikutnya adalah ijma’ (kesepakatan) para ulama sebagaimana dinukilkan oleh Imam An Nawawi rahimahullāh.

Beliau berkata:

أنْ يَكونَ مُنتَفَعًا به وهذا شَرطٌ لِصِحَّةِ البيع بِلا خِلافٍ

_”Objek jual beli haruslah sesuatu yang memiliki manfaat dan ini termasuk syarat sah jual beli tanpa ada perselisihan di kalangan para ulama.”_

(Almajmu: 9/239)

Maka kita katakan jual beli itu hanya boleh pada sesuatu yang memiliki manfaat, yang mana manfaatnya itu dibolehkan untuk menggunakannya secara mutlak. Dan ini sesuai dengan ‘urf masyarakat.

In syā Allāh, akan kita lanjutkan kaidah berikutnya di pertemuan selanjutnya.

Wallāhu Ta’āla A’lam.

وعلى الله على نبينا محمّد وعلى آله وصحبه وسلم ثم و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

____________________

image_pdfimage_print

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top