Home > Bimbingan Islam > Syarah Ushul Iman > Halaqah 19 : Orang yang Membela Maksiat dan Meninggalkan Kewajiban dengan Alasan Takdir

Halaqah 19 : Orang yang Membela Maksiat dan Meninggalkan Kewajiban dengan Alasan Takdir

🌍 BimbinganIslam.com
🎙 Ustadz Afifi Abdul Wadud, BA حفظه لله تعالى
📗 Kitāb Syarhu Ushul Iman Nubdzah Fīl ‘Aqīdah (شرح أصول الإيمان نبذة في العقيدة)
📝 Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ
〰〰〰〰〰〰〰

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
إن الحمد الله وصلاة وسلام على رسول الله وعلى آله واصحابه و من والاه، و لا حول ولا قوة إلا بالله اما بعد

Sahabat BiAS, kaum muslimin rahīmani wa rahīmakumullāh.

In syā Allāh kita kembali melanjutkan pembahasan dari Risalah Syarah Ushul Iman Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullāhu ta’āla.

Dan in syā Allāh kita masuk pada pembahasan:

Bahwa ada sebagian orang yang membela maksiat-maksiat mereka, meninggalkan kewajiban melakukan perbuatan maksiat dengan alasan takdir.

Dan itu sering terjadi.

Kenapa kamu tidak shalat?

Karena takdir saya tidak shalat.

Kenapa kamu berzina?

Karena saya ditakdirkan untuk berzina.

Apakah benar beralasan dengan takdir untuk membela perbuatan maksiat itu?

Jawabannya, tentu tidak benar.

Dengan dalīl:

⑴ Allāh Subhānahu wa Ta’āla membatalkan orang-orang musyrikin yang beralasan syiriknya itu karena takdir Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Allāh katakan:

سَيَقُولُ ٱلَّذِينَ أَشْرَكُوا۟ لَوْ شَآءَ ٱللَّهُ مَآ أَشْرَكْنَا وَلَآ ءَابَآؤُنَا وَلَا حَرَّمْنَا مِن شَىْءٍۢ

_Orang-orang musyrikin mengatakan: “Seandainya Allāh menghendaki kami tidak akan menyekutukan Allāh dan bapak-bapak kami tidak akan menyekutukan Allāh dan kami tidak mengharamkan sesuatu apapun”_

Artinya orang-orang musyrikin mereka membela syiriknya, mereka mengharamkan sesuatu yang menyelisihi syariat Allāh Ta’āla.

Mereka membela dengan alasan takdir Allāh Ta’āla (dengan kehendak Allāh).

_”Saya musyrik itu dengan kehendak Allāh”, “Saya mengharamkan ini dengan kehendak Allāh Subhānahu wa Ta’āla”_

Allāh bantah pernyataan orang-orang musyrikin tersebut:

كَذَٰلِكَ كَذَّبَ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ حَتَّىٰ ذَاقُوا۟ بَأْسَنَا

_”Itulah kedustaan orang-orang sebelum mereka, sampai Allāh timpakan adzab kepada mereka”_

قُلْ هَلْ عِندَكُم مِّنْ عِلْمٍۢ

_Katakanlah: “Apakah kalian memiliki ilmu sehingga kalian membela perbuatan-perbuatan maksiat kalian dengan alasan takdir?”_

فَتُخْرِجُوهُ لَنَآ

_”Jika kalian memiliki ilmu tunjukkan atau datangkan ilmu kalian kepada kami”_

إِن تَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّ وَإِنْ أَنتُمْ إِلَّا تَخْرُصُونَ

_”Tidaklah kalian mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kalian tidak lain hanyalah berdusta.”_

(QS. Al-An’ām: 148)

Sehingga di sini Allāh Subhānahu wa Ta’āla membantah orang-orang musyrikin yang beralasan dengan takdir dalam membela kesyirikan mereka dan apa yang mereka lakukan dari mengharamkan apa yang Allāh halalkan.

Tidak lain yang mereka lakukan adalah hawa nafsu dan persangkaan semata dan mereka berdusta atas nama Allāh Subhānahu wa Ta’āla

Ini yang pertama.

⑵ Bantahan bagi mereka yang membela maksiat dengan takdir adalah bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengutus rasul dalam rangka untuk menegakkan hujjah.

Allāh Ta’āla berfirman:

رُّسُلًۭا مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى ٱللَّهِ حُجَّةٌۢ بَعْدَ ٱلرُّسُلِ

_”Rasul-rasul yang Allāh utus dalam rangka menyampaikan kabar gembira dan pemberi peringatan, agar manusia tidak ada alasan lagi setelah diutusnya rasul-rasul itu.”_

(QS. An-Nissā: 165)

Sehingga di sini Allāh menjadikan rasul sebagai hujjah Allāh untuk menyampaikan risalah, agar manusia tidak mempunyai alasan lagi untuk mengatakan, _”Saya tidak tahu ini”_, _”Saya tidak tahu itu”_. Dengan diturunkannya rasul tersebut.

Oleh karena itu, seandainya boleh beralasan dengan takdir maka tidak ada gunanya diutus para rasul yang menyampaikan hujjah kepada manusia.

⑶ Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam ketika mengarahkan para sahabat dalam menyikapi masalah takdir. Ketika para sahabat mendapatkan penjelasan tentang takdir dari Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan:

ما مِنكُم مِن أحَدٍ إلَّا وقدْ كُتِبَ مَقْعَدُهُ مِنَ النَّارِ، ومَقْعَدُهُ مِنَ الجَنَّةِ

_”Tidaklah di antara kalian kecuali Allāh telah tetapkan tempat tinggalnya di neraka atau di surga”_

Para sahabat mengajukan pertanyaan yang sangat wajar, seorang sahabat mengatakan:

ألا نتكل يا رسول الله ؟

_”Kalau begitu tidakkah kita tinggal bersandar dengan takdir itu, wahai Rasūlullāh? Toh, sudah ditetapkan tempat duduknya di neraka atau di surga.”_

Apa kata Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam?

لا اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ

_”Beramallah kalian, setiap kalian akan digampangkan (dimudahkan) apa yang Allāh takdirkan bagi kalian”_

[HR. Abu Daud, no. 4703 dan Ahmad, 1:158. Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud mengatakan bahwa hadits ini shahih]

Di sini Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam menegaskan, memberikan pengarahan اعْمَلُوا tetaplah beramal! Sehingga manusia tidak bisa beralasan dengan takdir untuk meninggalkan amal atau melakukan perbuatan maksiat. Itu akan menyelisihi arahan Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Dan Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam melarang kita untuk bersandar kepada takdir.

⑷ Allāh Subhānahu wa Ta’āla ketika memerintahkan dan melarang hamba, Allāh tidak membebankan kecuali sesuai dengan kemampuannya. Sehingga semua beban syariat Allāh sesuai dengan kemampuan manusia.

Allāh Ta’āla berfirman :

لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ

_”Allāh tidak membebani jiwa kecuali sesuai dengan kemampuannya.”_

(QS. Al-Baqarah: 286)

Seandainya manusia itu dia terpaksa dengan perbuatannya, tidak memiliki kemampuan (maksudnya), berarti Allāh Subhānahu wa Ta’āla telah membebankan manusia sesuatu yang tidak mampu untuk ditunaikan.

Ini tentu sebuah kesalahan (kekeliruan) karena manusia mempunyai kemampuan, manusia mempunyai kehendak, maka Allāh tidak membebankan kecuali sesuai dengan kemampuannya. Sehingga ketika manusia mampu dan tidak melakukan, maka Allāh mempunyai alasan untuk mengadzab hamba tersebut.

⑸ Masalah takdir adalah:

سر مكتم لا يعلم به إلا بعد وقوع المقدور

_”Masalah takdir adalah masalah rahasia, perkara tersembunyi yang tidak diketahui oleh siapapun kecuali setelah terjadinya.”_

Sehingga kalau orang beralasan dengan takdir, dia seakan-akan mengklaim bahwa dirinya mengetahui apa yang ditakdirkan untuk dirinya, padahal dia tidak mengetahui. Sehingga orang seperti ini menunjukkan dia beralasan dengan alasan yang ngawur alasan yang tidak benar.

Allāh Subhānahu wa Ta’āla menjadikan takdir sebagai urusan rahasia (rahasia Allāh Ta’āla).

Sehingga orang yang beralasan meninggalkan perbuatan atau meninggalkan kewajiban atau melakukan ada perbuatan maksiat dengan alasan takdir, maka ini adalah sebuah sikap ngawur. Sikap beramal tanpa ilmu.

⑹ Bahwa manusia itu berkaitan dengan masalah duniawi, tidak pernah ada orang yang beralasan dengan takdir.

Contoh:

Ada dua orang mendapatkan tawaran pekerjaan.

° Orang pertama mendapatkan gaji 25 Juta setiap bulan.
° Orang kedua mendapatkan gaji 500 Ribu setiap bulan.

Tidak ada ceritanya orang memilih gaji yang 500 ribu sebulan dan meninggalkan gaji yang 25 Juta sebulan. Dengan alasan, _”ini sudah ditakdirkan Allāh Subhānahu wa Ta’āla”_.

Tidak ada yang seperti itu.

Kalau urusan dunia mereka (manusia) tidak pernah beralasan dengan takdir, kemudian dalam masalah agama mereka beralasan dengan takdir Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Ini ketidak adilan manusia dalam berpikir, ini menunjukkan bahwa manusia itu mencari enaknya sendiri hanya ingin membela hawa nafsunya sendiri.

⑺ Seandainya manusia dibenarkan dengan alasan takdir. manusia ini mestinya ketika ditempeleng oleh orang, ketika dia dizhalimi oleh orang (dirampas hartanya, misalnya) kemudian orang yang menempeleng ini mengatakan, _”Saya menempeleng anda karena takdir Allāh”_, dia (orang yang ditempeleng) tidak akan protes.

Nyatanya orang tersebut protes (marah) ini menunjukkan bahwasanya tidak dibenarkan beralasan dengan takdir untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan syariat Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Maka kaum muslimin, ini adalah bagaimana Allāh telah mengajarkan kepada kita sesuatu yang betul-betul, ajaran agama ini sesuatu yang sangat ma’qul, masuk akal sesuai dengan fithrah dan sesuai dengan tuntutan kehidupan manusia.

Tidaklah manusia itu mereka menyimpang dari agama ini kecuali pasti menyelisihi akal, menyelisihi fithrah dan menyelisihi kenyataan kehidupan yang ada.

Maka beriman dengan takdir adalah satu di antara keimanan yang sangat logis sesuai dengan fithrah manusia dan sesuatu yang akan memberikan buah-buah yang sangat indah dalam kehidupan manusia.

Dan in syā Allāh, akan kita sampaikan pada pertemuan yang berikutnya.

و صلى الله عليه وسلم الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

________________

image_pdfimage_print

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top