🌍 BimbinganIslam.com
🎙 Ustadz Firanda Andirja, MA حفظه لله تعالى
📗 Sirah Nabawiyyah
~~~~~~~
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله على إحسانه، والشكر له على توفيقه وامتنانه، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له تعظيما لشأنه، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الداعي إلى رضوانه، اللهم صلى عليه وعلى آله وأصحابه وإخوانه
Kita lanjutkan pembahasan kita tentang sirah Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan kita masuk pada pembahasan tentang “Pembangunan Ka’bah”.
Al Hāfizh Ibnu Hajar rahimahullāh Ta’āla menyebutkan dan demikian pula disebutkan oleh ‘Abdurrazzaq, Al Hākim dan Ath Thabrāniy suatu riwayat bahwasanya:
“Ka’bah di zaman Jāhilīyyah dibangun di atas batu-batu tanpa ada semacam semen yang melekatkan batu-batu tersebut.”
Jadi, hanya berupa batu-batu yang disusun dan tidak terlalu tinggi.
Disebutkan oleh ahli sejarah bahwa Ka’bah pertama kali memiliki tinggi hanya sekitar 9 hasta (sekitar 4 atau 4.5 meter). Tidak ada dinding yang mengkokohkan ka’bah.
Pintu Ka’bah juga tidak tinggi, hanya sampai ke bawah sehingga apabila hujan bisa merusak pondasi batu-batu Ka’bah. Akhirnya orang-orang Quraisy bermaksud memperbaiki Ka’bah.
Sebagian ahli sejarah menyebutkan bahwa di zaman jāhilīyyah atau di zaman ‘Abdullāh bin Zubair, Allāhu A’lam, disebutkan pernah terjadi kebakaran hebat.
Ada seorang wanita yang sedang thawāf di Ka’bah dengan membawa gaharu yang dibakar. Kemudian bunga apinya mengenai kiswah Ka’bah sehingga akhirnya membakar sebagaian Ka’bah hingga tampak rusak.
Tak lama kemudian Ka’bah diterjang banjir yang semakin membuat parah kondisinya.
Akhirnya orang-orang Quraisy bersepakat untuk memperbaiki Ka’bah.
Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam ikut turut serta dalam perbaikan Ka’bah tersebut. Saat itu usia beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam 35 tahun, yaitu 5 tahun sebelum Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam diangkat menjadi seorang Nabi.
Ketika itu, tidak ada yang berani memugar Ka’bah dengan cara membongkarnya, karena sekitar 35 tahun yang lalu telah terjadi peristiwa dihancurkannya tentara bergajah yang hendak merusak Ka’bah.
Oleh karenanya orang-orang Quraisy tidak ada yang berani dan takut ditimpa apa yang telah menimpa Abrahah 35 tahun yang lalu.
Namun, ada salah seorang diantara mereka yang bernama Al Walīd Ibnul Mughīrah. Dia nekat untuk membongkar Ka’bah.
Dia berkata kepada orang-orang Quraisy:
أَتُرِيدُونَ بِهَدْمِهَا الإِصْلاحَ ، أَمِ الإِسَاءَةَ ؟ قَالُوا : بَلْ نُرِيدُ الإِصْلاحَ . قَالَ : فَإِنَّ اللَّهَ لا يُهْلِكُ الْمُصْلِحِينَ
“Kalian ingin menghancurkan Ka’bah ini untuk memperbaiki atau memperburuk Ka’bah?”
Jawab mereka: “Kami ingin memperbaiki Ka’bah.”
Kalau begitu Allāh tidak akan menghancurkan orang-orang yang berbuat baik.
Akhirnya dia mulai mengambil cangkulnya dan membongkar Ka’bah sedikit demi sedikit. Malam itu tidak ada seorang pun yang berani mengikuti dirinya membongkar Ka’bah.
Orang-orang menunggu dan menanti apa yang akan terjadi pada malam hari, khawatir Mughirah terkena adzab sebagaimana yang menimpa Abrahah.
Maka mereka menunggu malam tersebut untuk mengetahui apa yang terjadi pada Al Walīd ibnul Mughīrah.
Mereka berkata:
فإن أصيب لم نهدم منها شيئا
“Kalau dia ditimpa sesuatu musibah, kita tidak akan membongkar Ka’bah sama sekali.”
Ternyata di pagi hari, Mughirah dalam keadaan sehat wal ‘āfiyat. Mughirah kembali melanjutkan membongkar Ka’bah dan akhirnya orang-orang pun ikut membantunya membongkar Ka’bah.
Mereka pun membongkar Ka’bah seluruhnya sampai pondasi Ibrāhīm ‘alayhissalām.
Mereka gantikan semua batu Ka’bah, kecuali batu Hajar Aswad, dengan batu yang baru.
Setelah itu mereka bersepakat, bahwa mereka tidak akan memasukkan ke dalam Ka’bah kecuali dari hasil yang baik, tidak ada dari hasil zina, riba dan perbuaran buruk lainnya.
Mereka mengatakan:
لا يدخل فيها مهر بغي ولا بيع ربا ، ولا مظلمة أحد من الناس
“Tidak boleh masuk ke dalamnya dari hasil zina, hasil jual beli riba dan tidak boleh ada hasil kezhāliman terhadap orang lain.”
Disebutkan dalam hadīts yang shahīh bahwasanya ketika itu Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam turut membantu memperbaiki Ka’bah ditemani oleh pamannya ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib. Mereka bekerja bergantian.
Suatu hari, saat Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersama pamannya bekerja memperbaiki Ka’bah, saat itu matahari sangat terik sehingga menyebabkan batu-batu tersebut terasa panas. Apabila batu itu dipanggul dan diletakkan di atas pundak, maka akan terasa sakit.
Al ‘Abbas pun memberi ide kepada Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, dia mengatakan:
اجعل إزارك على رقبتك يقيك من الحجارة
“Letakkan sarungmu di pundakmu kemudian angkat batu di atas pundakmu itu.”
Maka Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengikuti usulan pamannya.
Namun ketika hendak mengangkat sarungnya, beliau pingsan dalam keadaan matanya memandang ke langit.
Setelah sadar, Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam berkata:
“إزاري إزاري”
“Sarungku sarungku.”
Hal ini disebutkan oleh para ulamā bahwa Allāh hendak menjaga Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Allāh enggan jika Nabi-Nya shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengangkat sarungnya sehingga akan terlihat auratnya.
Karena itu, Allāh menjaga Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam melakukan hal ini.
Padahal di zaman jāhilīyyah, terbukanya pakaian atau telanjang, bukanlah perkara yang terlalu diingkari. Karena, orang-orang Arab jāhilīyyah dulu ketika thawāf di Ka’bah, mereka dalam keadaan telanjang bulat.
Hal ini terus berlangsung, bahkan berlanjut sampai Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam sudah menjadi Nabi, mereka masih thawāf di Ka’bah dengan telanjang bulat.
Sampai akhirnya pada tahun ke-9 Hijriyyah Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengutus Abū Bakr radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu untuk berhaji dan mengumumkan kepada seluruh orang bahwa:
ألا لا يحج بعد العام مشرك ولا يطوف بالبيت عريان
“Ketahuilah, setelah tahun ini tidak boleh ada orang musyrik yang berhaji dan tidak boleh thawāf telanjang di Ka’bah.”
Apa alasan kaum musyrikin thawāf dengan cara bertelanjang?
Karena mereka merasa baju yang mereka gunakan adalah baju yang biasa digunakan untuk maksiat, sehingga mereka malu untuk thawāf mengenakan baju tersebut.
Akhirnya mereka pun melakukan bid’ah yang mereka buat-buat.
Mereka beranggapan lebih baik menanggalkan bajunya agar merasa suci dari maksiat lalu melakukan thawāf dengan telanjang.
Karena itu, tidaklah heran apabila Al ‘Abbas menyarankan Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam untuk mengangkat sarung beliau.
Namun, Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam akan melakukannya, akan tetapi Allāh enggan dan Allāh jaga beliau agar tidak tersingkap auratnya, meskipun beliau belum jadi Nabi saat itu.
Maka Allāh menjadikan Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam pingsan.
Demikianlah Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam ikut serta dalam pembangunan Ka’bah.
Sampai disini saja kajian kita, In syā Allāh besok kita lanjutkan.
Yang benar datangnya dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla yang salah dari pribadi saya sendiri, semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengampuni kita semua.
وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
________