🌍 BimbinganIslam.com
🎙 Ustadz Firanda Andirja, MA حفظه لله تعالى
📗 Sirah Nabawiyyah
~~~~~~~
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
إنَّ الـحَمْدَ لله نَـحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُـحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُولُه لا نبي بعده يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا الله حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُون, فَإِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهَديِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَشَرَّ الأُمُوْرِ مُحَدَثَاتُهَا، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلةٌ، وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
Saat itu ‘Abdul Muththalib baru memiliki satu orang anak laki-laki bernama Al-Hārits. Maka mulailah ‘Abdul Muththalib menggali sumur tersebut, hingga mulai nampak tanda-tanda sumur tersebut.
Ketika kaum Quraisy mengetahui bahwa ‘Abdul Muththalib menemukan sumur, maka mereka mendatangi ‘Abdul Muththalib dan berkata: “Wahai ‘Abdul Muththalib, sumur tersebut adalah sumur kakek kita, Ismā’īl ‘alayhissalām.
Kami juga punya hak terhadap sumur tersebut. Maka jadikanlah kami termasuk pemilik sumur tersebut. ‘Abdul Muththalib berkata: Saya tidak mau, ini milik saya. Sumur ini telah dikhususkan menjadi milik saya, akan tetapi saya akan berbagi dengan kalian.”
Kata mereka: “Adillah terhadap kita, kalau tidak, kami tidak akan membiarkanmu menguasai sumur ini sampai kita berhakim kepada seseorang.” Maka ‘Abdul Muththalib dengan adilnya berkata: “Pilih siapa saja yang kita akan berhukum kepadanya.”
Kata mereka: “Ada seorang Perempuan dukun tapi tempatnya jauh di negeri Syam.” Maka ‘Abdul Muththalib setuju. Berangkatlah ‘Abdul Muththalib bersama beberapa saudara dari Bani ‘Abdi Manaf, dengan sejumlah orang-orang Quraisy lainnya, mereka berjalan bersama dalam 2 grup rombongan.
Grup pertama ‘Abdul Muththalib dengan Bani ‘Abdi Manaf dan grup kedua dari Bani yang menuntut untuk diberikan zamzam.
Saat melewati padang pasir sedangkan perjalanan masih sangat jauh. Tiba-tiba airnya ‘Abdul Muththalib habis dan selama perjalanan tidak menemukan sumber mata air. Hal ini menyebabkan rombongannya ‘Abdul Muththalib kehausan, sementara rombongan yang satu masih memiliki persediaan air.
Akhinya mereka meminta air ke rombongan sebelah, tetapi mereka menolak memberi air. Di saat mereka (kelompoknya ‘Abdul Muththalib) merasa akan mati, ‘Abdul Muththalib punya ide. “Begini, kita masing-masing gali kuburan kita, daripada kita semua tergeletak tidak ada yang menguburkan, siapa yang mati duluan kita kubur lalu tutup, yang mati berikutnya sampai terakhir, hanya 1 yang mati yang tidak terkuburkan.”
Akhirnya mereka mulai menggali kuburan masing-masing dan ini disaksikan oleh grup sebelah dan mereka tidak memperdulikan.
Namun, setelah lubang-lubang kuburan tersebut tergali, ‘Abdul Muththalib malah berubah pikiran dan mengatakan: “Ini namanya pasrah, kita harus berusaha.”
Akhirnya mereka meninggalkan kuburan yang telah mereka gali, mulailah ‘Abdul Muththalib naik ke atas untanya lalu tiba-tiba dari kaki untanya keluar mata air. Maka setelah itu ‘Abdul Muththalib mengambil air dan meminumnya dan memanggil grup sebelah yang tidak mau memberikan air dan akhirnya datang dan ikut minum.
Akhirnya grup sebelah sadar bahwasanya memang air zamzam haknya ‘Abdul Muththalib, buktinya di tengah-tengah padang pasir Allāh keluarkan air khusus untuk ‘Abdul Muththalib. Akhirnya mereka tidak jadi pergi ke dukun di Syam dan mereka kembali ke Mekkah dan menyatakan bahwasanya air zamzam milik ‘Abdul Muththalib.
Demikianlah kisah kakek Nabi, ‘Abdul Muththalib. Telah diterangkan sebelumnya bahwa Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dipilih oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla dengan nasab yang sangat tinggi.
Sebagaimana dikisahkan dalam Shahīh Bukhari, ketika Abū Sufyan masih dalam keadaan kafir, dia pernah bertemu dengan Kaisar Romawi Hieraklius. Hieraklus bertanya tentang Nabi Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan Abū Sufyan menjawab dengan jujur walaupun kafir.
Diantara pertanyaan Hieraklius yang ditanyakan kepada Abū Sufyan adalah tentang nasab Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam, “Bagaimana nasab Nabi tersebut?” Maka kata Abū Sufyan: “Sesungguhnya Muhammad itu dikalangan kami adalah orang yang nasabnya tinggi.” Maka Hieraklius berkata:
وَكَذَلِكَ الرُّسُلُ تُبْعَثُ فيْ نسَب ِ قَوْمِهَا
“Demikianlah para Rasul, mereka diutus oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla pada nasab yang tinggi di antara kaumnya.”
Inilah hikmah yang disebutkan oleh para ulama kenapa Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dipilih dari kalangan nasab yang tinggi dan terbaik, sehingga tidak ada orang-orang Arab yang mencela nasab Nabi, karena mereka sadar bahwa nasab mereka lebih rendah dari Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Bagaimana tidak? Kakek Nabi yaitu ‘Abdul Muththalib adalah pemilik zamzam dan pemimpin orang-orang Quraisy. Seandainya Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam diutus dari nasab yang rendahan, rakyat jelata yang tidak punya kedudukan, maka orang-orang akan menuduh bahwa Muhammad itu mengaku dirinya sebagai Nabi untuk mencari kekuasaan dan penghormatan.
Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam tidak perlu mencari penghormatan, karena beliau sudah dihormati. Justru ketika beliau berdakwah menyampaikan Islam, malah direndahkan.
Oleh karenanya tatkala Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam diutus dari golongan berstrata tinggi, sehingga menutup pintu tuduhan bahwa Nabi memiliki tendensi tertentu.
Oleh karena itu Allāh menjadikan Nabi bernasab tinggi, salah satu hikmahnya adalah apabila orang-orang bernaung di bawah Nabi agar mereka tidak merasa rendah karena Nabi mereka nasabnya tinggi.
وَكَذَلِكَ الرُّسُلُ تُبْعَثُ فيْ نسَب ِ قَوْمِهَا
“Demikianlah para Rasul, mereka diutus oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla pada nasab kaumnya yang tinggi.”
____________________________