Home > Halaqah Silsilah Ilmiyah > Amalan Yang Disyari’atkan Di Bulan Sya’ban > Halaqah 06 | Amalan Yang Tidak Disyariatkan Di Bulan Sya’ban Bagian 1

Halaqah 06 | Amalan Yang Tidak Disyariatkan Di Bulan Sya’ban Bagian 1

👤 Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A حفظه لله تعالى
📗 Amalan Yang Disyari’atkan Di Bulan Sya’ban

════ ❁✿❁ ════

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَٰذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وسلم وبارك عَلَى نبينَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَ أصَحابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ

Ikhwāniy Fīdīn wa Akhawātiy Fīllāh A’ādzaniyallāh wa Iyyakum.

Kemudian poin selanjutnya, adalah tentang beberapa amalan yang tidak disyari’atkan di bulan Sya’ban, di antaranya:

⑴ Mengkhususkan melakukan shalāt malam pada malam Nishfu Sya’ban yaitu malam tanggal 15, hal seperti ini tidak ada dasar yang shahīh dari Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Sebagian yang mengamalkan, mengamalkan dengan dasar hadīts Āli radhiyallāhu ‘anhu yang diangkat sampai Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Dimana Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan:

إذا كانت ليلة النصف من شعبان فقوموا ليلتها وصوموا يومها، فإن الله تبارك وتعالى ينـزل فيها لغروب الشمس إلى سماء الدنيا، فيقول : ألا من مستغفر فأغفر له ألا من مسترزق فأرزقه ألا من مبتل فأعافيه ألا كذا ألا كذا حتى يطلع الفجر

“Apabila pada malam Nishfu Sya’ban atau pertengahan bulan Sya’ban maka hendaklah kalian melakukan shalāt di malam hari dan berpuasalah kalian di siang harinya karena sesungguhnya Allāh turun pada malam tersebut setelah tenggelamnya matahari ke langit dunia.

Kemudian Allāh mengatakan, “Apakah ada yang memohon ampun?, maka aku akan mengampuni dia”. “Adakah yang memohon rezeki?, maka aku akan memberikan rezeki kepadanya”. “Adakah orang yang terkena musibah?, maka aku akan menghindarkan dia dari musibah tersebut”. Dan seterusnya sampai datang waktu subuh.”

Hadīts ini sangat lemah, telah didhaifkan oleh banyak ulama, di antaranya adalah Ibnul Madini dan didhaifkan oleh Imam Al-Bukhāri dan Al-Mundziri, Ibnu Rajab, Adz-Dzahabi, termasuk di antaranya adalah Ibnul Hajar Al-Hisyami.

Banyak ulama-ulama yang menghukumi hadīts ini adalah hadīts yang sangat lemah. Bahkan sebagian mengatakan hadīts ini adalah hadīts yang maudhu (palsu) yang isinya adalah dorongan untuk melakukan shalāt malam pada malam tanggal 15 dan melakukan puasa pada siang harinya.

⑵ Di antara cara shalāt yang dilakukan oleh sebagian pada malam tersebut, apa yang dinamakan dengan shalāt alfiyyah.

⇒ Alfiyyah artinya seribu.

Kenapa dinamakan demikian?

Karena shalāt pada malam tersebut jumlah raka’atnya ada 100 kemudian setiap raka’at membaca Al-Fātihah sekali, kemudian setelahnya membaca surat Al-Ikhlās 10 kali.

100 raka’at berarti 100 X 10 = 1000 surat Al Ikhlās dibaca pada malam tersebut. Sehingga dinamakan dengan shalāt alfiyyah. Ini juga tidak ada dalīlnya.

Dalam beramal shālih tidak cukup hanya dengan semangat, dengan niat yang baik dan bertaqarrub kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla, tetapi harus sesuai dengan sunnah Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

⑶ Demikian pula dalam hadīts tadi disebutkan bahwa seseorang didorong untuk melakukan puasa pada siang hari.

Jadi malam harinya dia melakukan shalāt malam, besoknya tanggal 15 didorong untuk berpuasa, maka ini juga tidak ada dalīlnya.

Tapi seandainya seseorang berpuasa pada hari tersebut karena dia melakukan puasa bidh yaitu puasa yang dilakukan setiap bulan diutamakan tanggal 13, 14 dan 15, dia berpuasa pada hari tersebut, niatnya adalah untuk melakukan puasa bidh. Maka hal ini boleh, karena berdasarkan keumuman hadīts yang diperintahkan kita untuk menjaga atau melakukan puasa tiga hari setiap bulan.

Sebagaimana dalam hadīts dari Abū Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, bahwasanya, “Aku diberi wasiat oleh kekasihku, yaitu Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam, untuk melakukan puasa tiga hari di setiap bulan”.

Disebutkan dalam hadīts yang lain tanggal 13,14 dan 15, dinamakan dengan Puasa Bidh.

Jika niatnya berpuasa tanggal 15 karena dia ingin melakukan puasa bidh, maka ini tidak masalah, tetapi jika niatnya untuk puasa Nishfu Sya’ban, maka kita katakan yang demikian tidak disyari’atkan.

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

“Sesungguhnya amalan sesuai dengan niatnya.”

⑷ Meyakini bahwasanya di malam Nishfu Sya’ban ditentukan takdir selama setahun, ada yang meyakini demikian. Dan ini tidak ada dalīlnya, bahkan dalīl menunjukkan takdir al-hauli (takdir yang ditulis setiap tahun) terjadi pada bulan Ramadhan, yaitu pada malam Lailatul Qadar.

Dinamakan lailatul qadar, Al-Qadar di sini di ambil dari kata takdir, karena pada malam tersebut ditakdirkan seluruh perkara yang terjadi selama setahun ke depan, yaitu dari malam lailatul qadar pada tahun tersebut sampai datang malam lailatul qadar pada tahun setelahnya.

Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengatakan:

فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ

“Di dalamnya diputuskan seluruh perkara dengan bijaksana.” (QS Ad-Dukhān: 4)

Para ulama menjelaskan maksudnya adalah ditakdirkan pada malam Lailatul Qadar seluruh takdir yang terjadi pada setahun yang akan datang.

Jadi keyakinan bahwasanya pada malam tersebut ditentukan takdir manusia, maka ini tidak ada dalīl yang demikian.

Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqah kali ini, semoga yang sedikit ini bermanfaat dan sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.

والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

‘Abdullāh Roy
Di kota Jember

Materi audio ini disampaikan di dalam Grup WA Halaqah Silsilah ‘Ilmiyyah (HSI) ‘Abdullāh Roy
___

image_pdfimage_print

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top