Home > Bimbingan Islam > Tematik > Golongan Yang Tersisa Dalam Masalah Puasa Dan Hukum Qadha’

Golongan Yang Tersisa Dalam Masalah Puasa Dan Hukum Qadha’

🌍 BimbinganIslam.com
👤 Ustadz Muhammad Ihsan S.Ud.
📗 Kajian Tematik | Ramadhan
📝 Serial Kultum Ramadhan
〰〰〰〰〰〰〰

GOLONGAN YANG TERSISA DALAM MASALAH PUASA DAN HUKUM QADHA’

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله وصلاة و سلم على رسول الله و على آله و صحبه ومن ولاه ولاحول ولا قوة إلا بالله. اما بعد

Ikhwāniy wa Akhawātiy A’ādzakumullāh

Di antara orang-orang berikutnya yang Allāh Subhānahu wa Ta’āla tidak diwajibkan untuk berpuasa adalah

• Wanita Hāidh atau Nifas

Wanita yang sedang hāidh atau nifas, seandainya dia berpuasa, maka tidak sah puasanya. Bahkan bisa menjadi dosa bagi dirinya ketika dia berpuasa dalam keadaan hāidh, karena seolah-olah dia bermain dalam agama.

Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

ما رأيت من ناقصات عقل ودين أذهب للب الرجل الحازم من إحداكن

“Tidaklah aku melihat makhluk yang akal dan agamanya kurang tetapi bisa menghilangkan logikanya seorang laki-laki yang memiliki pendirian kuat dibandingkan kalian para wanita.”

Kemudian para sahabat wanita bertanya:

“Wahai Rasūlullāh, bagaimana bentuk kekurangan akal dan agama kami?”

Kemudian Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan:

“Bukankah persaksian wanita tidak diterima bila satu orang?”

Kemudian para sahabat wanita menjawab, “Iya”,

Dan bukankah kalian ketika sedang hāidh atau nifas, tidak shalāt dan tidak puasa?

Para sahabat wanita pun menjawab, “Iya”

Kemudian Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam menjawab, “Itulah bentuk kurang akal dan agama seorang wanita”.

Dari hadīts ini kita lihat bahwasanya seorang yang hāidh dan nifas, maka dia tidak wajib untuk berpuasa dan tidak sah puasanya.

Akan tetapi ketika dia suci wajib baginya mengganti puasa Ramadhān yang dia tinggalkan, di luar bulan Ramadhān.

Āisyah radhiyallāhu ‘anhā pernah ditanya, “Mengapa wanita yang hāidh atau nifas harus mengganti puasa namun tidak mengganti shalāt?”

Kemudian Āisyah berkata, “Karena dahulu kita diperintahkan untuk mengganti puasa dan kita tidak diperintahkan untuk mengganti shalāt”.

Maka wanita hāidh dan nifas wajib bagi mereka mengganti puasa di luar bulan Ramadhān sejumlah hari yang mereka tinggalkan.

• Wanita Hamil Dan Menyusui

Wanita hamil dan menyusui apabila dia merasa tidak sanggup untuk melaksanakan puasa, jika dia puasa dia takut bahaya akan menimpa dirinya atau janin yang dia kandung atau bayi yang dia susui, maka wanita tersebut boleh untuk tidak berpuasa.

Namun seandainya ketika dia berpuasa, dokter mengatakan tidak masalah baginya untuk berpuasa (tidak mengganggu kesehatannya, janin atau bayinya) maka wanita dengan kondisi seperti ini wajib baginya untuk berpuasa.

Namun apabila membahayakan, maka disyari’atkan baginya untuk membatalkan puasa dan menggantinya di hari yang lain.

Karena wanita hamil dan menyusui hukumnya seperti orang yang sakit, ketika orang yang sakit sembuh, maka dia wajib mengganti puasanya di luar bulan Ramadhān. Begitu pun dengan wanita hamil dan menyusui, dia wajib untuk mengganti puasa yang dia tinggalkan, di luar bulan Ramadhān.

Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

إن الله و ضع عن المسافر شطر الصلاة وعن المسافر والحامل و المرضع الصوم

“Allāh Subhānahu wa Ta’āla menggugurkan setengah shalāt bagi musafir, dan Allāh gugurkan bagi orang hamil dan orang yang sakit puasa.”

⇒ Shalāt musafir empat raka’at menjadi dua raka’at.

Sebagaimana musafir wajib baginya untuk mengganti puasa di luar bulan Ramadhān, begitu juga wanita hamil atau wanita yang menyusui wajib baginya untuk mengganti puasa tersebut di luar bulan Ramadhān apabila mereka telah melahirkan atau telah selesai menyusui.

• Kondisi Orang Yang Dibolehkan Membatalkan Puasa

Kondisi orang yang dibolehkan membatalkan puasa atau tidak wajib baginya berpuasa adalah orang yang butuh tidak berpuasa untuk menyelamatkan orang lain. Maka orang yang seperti ini boleh baginya untuk tidak berpuasa.

Misalnya:

Orang yang ingin menyelamatkan orang yang tenggelam dan dia tidak sanggup menyelamatkannya kecuali dengan mengisi energi (makan) maka orang seperti ini wajib baginya untuk membatalkan puasanya dan menyelamatkan nyawa orang yang tenggelam tadi.

Karena kaidah mengatakan:

و ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب

“Segala sesuatu kewajiban tidak bisa terlaksana kecuali dengan mengerjakan sesuatu yang lain, maka yang lain tersebut hukumnya menjadi wajib.”

⇒ Wajib puasanya dia batalkan untuk menyelamatkan orang tersebut.

Begitu pula orang yang berjihad Fīsabilillāh (misalnya). Seandainya puasa melemahkan dirinya, tidak sanggup baginya untuk menyelamatkan agama ketika berjihad Fīsabilillāh kecuali dengan berbuka, maka disyari’atkan baginya untuk berbuka.

Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda kepada para sahabat:

إنكم قد دنوتم من عدوكم و الفطر أقوى لكم

“Kalian telah berada dekat dengan musuh-musuh kalian dan berbukalah karena itu akan menjadikan kalian lebih kuat”

Para ulama mengatakan, seorang yang ingin menyelamatkan orang lain dan tidak bisa baginya untuk menyelamatkan orang lain kecuali dengan membatalkan puasanya, maka disyari’atkan baginya untuk membatalkan puasanya.

Itulah orang-orang yang telah kita jelaskan yang wajib berpuasa dan orang-orang yang diberikan udzur oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla untuk tidak berpuasa.

Semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla memberikan taufiq kepada kita semua, memudahkan kita untuk menjalankan puasa di bulan Ramadhān ini dan mengangkat bencana (wabah) yang tengah menimpa kita.

Wallāhu Ta’āla A’lam

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم ثم السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

_______

image_pdfimage_print

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top