🌍 BimbinganIslam.com
👤 Ustadz Fauzan ST, MA
📗 Matan Abu Syuja
📝 Ahmad bin Al-Husain bin Ahmad Al-Asfahāniy (Imam Abū Syujā’)
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد
Para sahabat Bimbingan Islām dan kaum muslimin yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Kita lanjutkan pelajaran kita dalam masalah i’tikāf (اعتكاف) dan kemarin sudah dibahas secara ringkas tentang rukun i’tikāf.
Yaitu:
⑴ Masjid
Bahwasanya i’tikāf dilakukan di dalam masjid, sebagaimana firman Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
وَلَا تُبَـٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَـٰكِفُونَ فِى ٱلْمَسَـٰجِد
“Dan jangan kamu berhubungan (campuri mereka) sedang kamu beri’tikāf dalam masjid.”
(QS Al Baqarah: 187)
⑵ Berdiam di dalam masjid
⑶ Niat
⇒ Seorang berniat untuk melaksananakan i’tikāf
⑷ Al mutaqif (seorang yang ber i’tikāf itu sendiri)
• Syarat i’tikāf
⑴ Islām
⑵ Akal
⑶ Bersih dari hāidh dan nifās, janābah
Tatkala seseorang berniat untuk i’tikāf, dia harus sadar bahwasanya niatnya beri’tikāf adalah berdiam diri di masjid dalam rangka beribadah kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Oleh karena itu, di sana ada adab-adab yang harus diperhatikan, di antaranya:
⑴ Hendaknya seseorang yang beri’tikāf dia menyibukan diri dengan perkara-perkara yang termasuk dalam keta’atan kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla seperti;
√ Membaca Al Qur’ān,
√ Menghafalkan Al Qur’ān,
√ Mengajarkan Al Qur’ān,
√ Belajar Al Qur’ān,
√ Beribadah shalāt sunnah maupun wajib,
√ Menyibukkan diri dengan pelajaran-pelajaran agama yang bermanfaat untuk dirinya.
⑵ Tidak menyibukan diri dengan perkara-perkara yang melalaikan, seperti menyibukkan diri dengan facebook, twitter, hp atau perkara-perkara lain yang banyak menimpa kaum muslim. Atau perkara lain yang melalaikan yang banyak dilakukan oleh kebanyakan orang.
⑶ Hendaknya dia berpuasa, walaupun di sini ada khilāf apakah i’tikāf disyaratkan puasa atau tidak.
Madzhab syāfi’i menyatakan bahwa i’tikāf tidak disyaratkan berpuasa akan tetapi apabila seseorang berpuasa pada hari itu maka ini lebih afdhal.
⑷ Hendaknya dia menjaga lisannya dari perkara-perkara yang buruk seperti mengghibah atau mencela, mencaci maki dan sebagainya.
⇒ Intinya seorang berusaha bagaimana dia mendapatkan keridhāan dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla di dalam i’tikāfnya.
Kita lanjutkan perkataan mualif rahimahullāh:
(( ولا يخرج من الاعتكاف المنذور إلا لحاجة الإنسان))
((Bahwa seorang hendaknya tidak keluar dari i’tikāf yang wajib (i’tikāf nadzar) kecuali kebutuhan-kebutuhan manusiawi [seperti makan, minum].))
Jika seseorang keluar dari masjid karena ada kebutuhan seperti untuk makan, minum, buang air besar atau kecil misalnya maka ini tidak membatalkan i’tikāfnya.
Termasuk perkara-perkara yang membatalkan i’tikāf adalah seseorang yang keluar tanpa ada udzur syari’ adapun hajatul insan adalah termasuk udzur syari’.
Hal ini sebagaimana hadīts dari Āisyah radhiyallāhu ta’āla ‘anhā, beliau (Āisyah radhiyallāhu ta’āla ‘anhā) menceritakan tentang Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
وَإِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لَيُدْخِلُ عَلَىَّ رَأْسَهُ وَهْوَ فِي الْمَسْجِدِ فَأُرَجِّلُهُ، وَكَانَ لاَ يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلاَّ لِحَاجَةٍ، إِذَا كَانَ مُعْتَكِفًا
“Bahwasanya beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) memasukan kepalanya dan saat itu beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) sedang berada di dalam masjid kemudian rambut beliau disisiri oleh Āisyah radhiyallāhu ta’āla ‘anhā.
Kemudian Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam tidak masuk ke dalam rumah kecuali untuk hajat (buang air, makan minum dan sebagainya) apabila beliau dalam keadaan i’tikāf.”
Sebagaimana kita ketahui bahwasanya rumah Beliau bersebelahan dengan masjid dan di sana ada jendela dan Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam memasukan kepalanya sedang badan Beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) berada di dalam masjid kemudian rambut Beliau disisiri oleh Āisyah radhiyallāhu ta’āla ‘anhā.
⇒ Ini adalah keadaan beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam), Beliau tidak keluar dari i’tikāfnya. Beliau menjaga i’tikāfnya.
Kemudian mualif rahimahullāh berkata:
(( أو عذر من حيض أو مرض لا يمكن المقام معه))
((Karena terhalang oleh hāidh atau sakit yang tak memungkinkan orang berdiam di masjid.))
Atau udzur dari hāidh maka seorang boleh keluar dari i’tikāfnya.
Karena i’tikāf adalah ibadah dan hendaknya kita tidak membatalkan ibadah kecuali karena udzur syari’, ini dalam rangka menjaga hurmatul ibadah (keagungan dari ibadah tersebut).
Maka seorang apabila mendapat hāidh hendaknya ia keluar dari masjid.
Atau seorang terkena sakit demam yang tinggi atau lainnya dimana apabila dia berada di dalam masjid semakin memberikan kemudharatan maka hendaknya dia keluar dari masjid dan menyelesaikan i’tikāfnya.
Berkata penulis rahimahullāh:
(( ويبطل بالوطء))
((Dan i’tikāf batal karena sebab persetubuhan (hubungan intim).))
Hal ini berdasarkan firman Allāh Subhānahu wa Ta’āla :
وَلَا تُبَـٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَـٰكِفُونَ فِى ٱلْمَسَـٰجِد
“Dan jangan kamu berhubungan (campuri mereka) sedang kamu beri’tikāf dalam masjid.”
(QS Al Baqarah: 187)
Dan para ulamā menyebutkan bahwa seorang apabila melakukan jimā’ maka secara otomatis i’tikāfnya batal berdasarkan dalīl dari Al Qur’ān yang sudah disebutkan di atas.
Adapun al mubasarah (bersentuhan yang lainnya selain jimā’), apabila bersentuhan tanpa syahwat, maka tidak mengapa sebagaimana disebutkan di dalam hadīts Āisyah radhiyallāhu ta’āla ‘anhā bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam memasukan kepalanya lalu disisir oleh Āisyah radhiyallāhu ta’āla ‘anhā maka ini tidak mengapa.
Akan tetapi apabila bersentuhan dan di sana ada syahwat kemudian keluar mani (inzal) maka ini membatalkan i’tikāfnya. Kalau tidak sampai keluar mani maka ini adalah perkara yang muharam karena dia sedang beri’tikāf di masjid Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Demikian yang mungkin bisa disampaikan dalam permasalahan i’tikāf ini, in syā Allāh nanti ada tambahan pada halaqah berikutnya.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
واخردعوانا أن الحمد لله رب العالمين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
_______