Home > Bimbingan Islam > Matan Abu Syuja > Kajian 058 | Shalāt Jama’ Yang Diperbolehkan (Bagian 2)

Kajian 058 | Shalāt Jama’ Yang Diperbolehkan (Bagian 2)


🌍 BimbinganIslam.com
👤 Ustadz Fauzan ST, MA
📗 Matan Abu Syuja
📝 Ahmad bin Al-Husain bin Ahmad Al-Asfahāniy (Imam Abū Syujā’)

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد

Para sahabat Bimbingan Islām yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla, kita lanjutkan pelajaran kita dan kita masuk pada  halaqah yang  ke-58 dan masih tentang masih tentang shalāt jama’ yang diperbolehkan.

*Beberapa Jenis Jama’ yang diperbolehkan adalah:*

6⃣ Jama’ karena rasa takut

Berdasarkan hadīts yang disebutkan sebelumnya,

عن ابن عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عنه، قال:  جمَعَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم بين الظُّهرِ والعَصرِ والمغربِ والعِشاءِ بالمدينةِ من غيرِ خوفٍ ولا مَطرٍ. فقيل لابن عَبَّاسٍ: ما أرادَ إلى ذلك؟ قال: أرادَ أنْ لا يُحرِجَ أُمَّتَه((رواه مسلم))

Dari Ibnu ‘Abbās Radhiyallāhu ‘anhu beliau berkata:

“Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam menjama’ antara shalāt Dhuhur, Ashar dan juga antara shalāt Maghrib dan ‘Isyā di Madīnah, tidak disebabkan karena rasa takut, juga tidak disebabkan karena hujan”

Maka ditanyakan kepada Ibnu ‘Abbās, apa yang diinginkan Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam akan hal itu?

Maka beliaupun mengatakan: “beliau ingin agar umatnya tidak kesulitan”.

(Hadīts riwayat Muslim)

Dan ini adalah pendapat Hanābilah yang dipilih oleh Syaikhul Islām Taimiyyah, Syaikh Binbaz dan Syaikh Utsaimin.

Adapun pendapat Syāfi’iyah dan juga Hanafiyyah dalam masalah ini adalah *tidak diperbolehkan jama’* disebabkan rasa takut, berdalīl dengan keumuman ayat manakala  Allāh Subhānahu wa Ta’āla memerintahkan orang yang berperang tetap shalāt pada waktunya.

7⃣ Jama’ karena Menyusui

Diperbolehkan bagi seorang yang menyusui untuk menjama’ shalātnya, apabila memang hal itu membuat kesulitan atau seorang yang menyusui merasa sulit karena harus mengganti  dan mencuci pakaiannya setiap waktu shalāt, maka diperbolehkan baginya untuk menjama’ shalāt, karena disana ada masyaqah (kesulitan)

⇒ Pendapat ini disebutkan juga oleh para fuqahā Hanābilah dan dipilih oleh Syaikh Islām Ibnu Taimiyyah dan Syaikhul Utsaimin sebagai pendapat yang lebih kuat atau paling rājih.

8⃣Jama’untuk mengatasi kesulitan

Jama’ untuk mengatasi kesulitan atau apabila disana ada masyaqah.

Hal ini berdasarkan hadīts Ibnu ‘Abbās yang sudah berlalu, maka bagi seseorang yang hādir (tidak dalam keadaan safar) diperbolehkan untuk shalāt jama’ apabila ada kesulitan.

⇒ Pendapat ini dikemukakan oleh sekelompok fuqahā ahli hadīts, dan dipilih oleh Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah dan Syaikhul Utsaimin.

Dimana disisi pendalīlannya, beliau mengatakan:

أرادَ أنْ لا يُحرِجَ أُمَّتَه

“Beliau Shallallāhu ‘alayhi wa sallam ingin tidak menyusahkan ummatnya”.

⇒ Artinya jika ummatnya menghadapi kesusahan dan kesulitan maka diperbolehkan untuk melakukan jama’.

🔹Namun ada catatan dalam masalah terakhir ini yaitu:

⇒ Bahwasanya pendapat Jumhūr ulamā dalam masalah ini, bahwa hadīts Ibnu’Abbās dibawakan pada kemungkinan jama’ suri (jama’ secara bentuknya saja) artinya Shalāt tetap dilakukan pada waktunya namun terkesan jama’ seperti yang disebutkan pada awal yaitu shalāt Dhuhur dijadikan akhir waktu dan Shalāt Ashar dijadikan diawal waktu. Ini yang disebut dengan jama’suri.

Oleh karena itu, hendaknya kita tidak menggampangkan dalam masalah ini, namun jika ada kesulitan yang membutuhkan untuk menjama’ maka tidak mengapa, walaupun tidak disebabkan karena safar atau tidak disebabkan karena turun hujan atau rasa takut.

Selama disana ada kesulitan dan kita membutuhkan dengan syarat tidak menggampangkan (memudahkan) untuk menjama’ maka diperbolehkan untuk kita menjama’ shalāt.

*🔺Kemudian ada permasalahan yang sering ditanyakan bolehkah dijama’ antara shalāt Jum’at dan Ashar?*

Disana ada dua pendapat dari para ulamā didalam masalah ini:

*· Pendapat pertama* | Pendapat pertama adalah pendapat Hanābilah dimana *tidak diperbolehkan* menjama’ shalāt Jum’at dengan shalāt Ashar.

Inti dalīl mereka adalah bahwa haiah atau bentuk shalāt Jum’at berbeda dengan shalāt Dhuhur, oleh karena itu tidak bisa diterapkan hukum jama’ pada shalāt Jum’at karena dia berbeda dengan shalāt Dhuhur.

*·Pendapat kedua* | Pendapat kedua adalah pendapat Syāfi’iyah, dimana mereka mengatakan *bolehnya* menjama’ antara shalāt Jum’at dengan shalāt Ashar karena shalāt Jum’at adalah pengganti shalāt Dhuhur sehingga tatkala dia mengganti shalāt Dhuhur maka hukumnya pun sama dengan hukum shalāt Dhuhur.

⇒ Pendapat kedua ini adalah pendapat yang rājih (lebih kuat) dan dipilih oleh mayoritas  Jumhūr para ulamā.

Demikian yang bisa kita sampaikan.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم تسليما كثيرا
____________________________

image_pdfimage_print

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top