🌍 Kajian Kitab
👤 Al-Ustadz Abu Haidar As-Sundawy حفظه الله
📗 Kitab Awaa’iqu ath Thalab (Kendala Bagi Para Penuntut Ilmu)
📝 as-Syaikh Abdussalam bin Barjas Alu Abdul Karim حفظه الله
Point berikutnya yang dibahas oleh Syaikh Abdurrahman “Arruju’ ‘anil khotho” kembali dari kesalahan kepada kebenaran. Sebagaimana rujuk dari kesalahan adalah kewajiban para murid maka para guru-pun apabila dia salah wajib rujuk kepada kebenaran. Tidak boleh dia menolak satu pendapat kemudian dia melihat yang benar itu malah pendapat yang bertolak belakang dengan pendapat dia. Pendapat orang yang benar lalu dia tidak mau rujuk kepada kebenaran tersebut, tidak boleh, wajib rujuk, mengakui kekeliruannya, kesalahannya jangan malu jangan gengsi. Tidak boleh yang seperti itu, wajib inshaf dan tawadhu (tawadhu nya bukan kepada orang, tawadhu nya kepada kebenaran) kepada Allah azza wa jalla yang menurunkan kebenaran tersebut, yang kita cari benar, yang kita cari ridho Allah, kalau ternyata kita salah orang lain benar kemudian kita karena malu ngeyel merasa benar diatas kesalahan padahal meyakini kesalahan kita tetapi karena gengsi, karena malu maka terbongkar-lah niat dia selama ini dalam berdakwah. Niatnya apa, niatnya itu mencari dan menebarkan kebenaran, meraih ridho Allah ataukah penghormatan manusia ? karena ternyata ketika dia salah dan dijelaskan kesalahan malah mengamuk, “saya merasa terhinakan oleh murid saya ditegur di muka umum” (umpamanya, ngamuk-ngamuk), loh yang dia cari selama ini dengan dakwah itu apa ? pujian orang, pengakuan orang bahwa dirinya hebat-kah ataukah ridho Allah azza wajalla ?, seseorang yang mencari ridho Allah azza wajalla dia tidak akan pedulikan komentar orang selama dia benar walaupun umpamanya ada yang bisik-bisik atau mungkin ada yang bikin status di facebook, “tadi ustadz ketika ngaji keliru ditegur oleh muridnya, malu-maluin yah” ada mungkin yang menulis seperti itu, tidak peduli yang kita cari bukan komentar manusia, yang kita cari bukan penilaian manusia, balasan dari manusia, yang kita inginkan dengan semua yang kita lakukan komentar dari Allah, balasan dari Allah dan penilaian dari Allah, apresiasi dari Allah bukan untuk orang yang kita perbuat. Ingat, perkataan Fudhail bin Iyadh beliau menyatakan bahwa, “meninggalkan suatu amalan karena orang (karena ada orang tidak mau mengamalkan itu riya), beramal karena orang (itu syirik) dua-duanya tidak ikhlas, adapun ikhlas semoga Allah menghindarkan kita dari kedua-duanya“. Kedua-duanya tadi yakni meninggalkan amalan karena orang, beramal karena orang dua-duanya keliru, kenapa ? dua-duanya didasarkan karena pertimbangan penilaian orang bukan karena Allah. Ikhlas adalah orang yang melakukan apapun itu karena Allah bukan karena orang terlebih mengajarkan ilmu, berdakwah itu sesuatu yang sangat-sangat agung, ucapan terbaik dan pahalanya luar biasa, jariyah pahalanya sampai ke akhirat. “Waman ahsanu qaulan mimman da’aa ilallahi wa ‘amila shalihan wa qaala innanii minal muslimiin” (QS. Fussilat : 33), siapa lagi-kah orang yang perkataannya lebih baik dibandingkan orang yang mengajak manusia kepada Allah bukan mengajak manusia kepada dirinya sendiri, bukan mengajak manusia untuk menghormati, menyanjung, mengikuti, mengagungkan diri sendiri tetapi agar manusia itu kembali kepada Allah, ibadah kepada Allah, beramal sholeh semuanya karena Allah bukan untuk kita, bukan untuk diri si da’i, itu ucapan terbaik waman ahsanu mimman da’aa ilallahi yang mengajak manusia kepada Allah. “Qul Hadzihi Sabili Ad’u Ilallah ala Basirotin ana wa manit taba ani“, kata Allah azza wajalla kepada Nabi ﷺ ,”katakan oleh kamu wahai Muhammad ini lah jalan hidup ku, aku mengajak manusia kepada Allah (bukan kepada aku) diatas landasan ilmu yang aku lakukan dan juga dilakukan oleh pengikut-pengikut aku (pengikut Rasulullah ﷺ )”, dakwah itu wajib kepada Allah, wajib ikhlas bukan mengajak manusia kepada diri si da’i baik untuk memperoleh keuntungan dunia berupa uang, berupa penghargaan, penghormatan, pujian atau yang lain-lainnya maka itu tidak boleh. Orang yang tidak ikhlas dalam berdakwah lalu salah, lalu ditegur sebaik apapun tegurannya malah marah, malah merasa dipermalukan, dihinakan, direndahkan maka pertanyakan niatnya kecuali umpamanya dengan cara yang kasar, dengan cara yang tidak beradab, dengan cara yang dicampuri celaan, hinaan, umpamanya ustadz lagi menerangkan langsung mengacungkan tangan sambil berdiri, “ustadz, ngaco itu omongan, ustadz coba belajar lagi belum tamat tuh belajarnya”.
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته