🌍 Kajian Kitab
👤 Al-Ustadz Abu Haidar As-Sundawy حفظه الله
📗 Kitab Awaa’iqu ath Thalab (Kendala Bagi Para Penuntut Ilmu)
📝 as-Syaikh Abdussalam bin Barjas Alu Abdul Karim حفظه الله
Berkata Mualif, “Karena setiap murid memiliki hak atas gurunya. Hak murid atas guru berarti kewajiban guru terhadap murid. Kenapa murid memiliki hak ? karena dia sudah menyibukkan dirinya untuk datang ke gurunya tersebut untuk mengambil ilmu yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi manusia, dia datang khusus ke guru ini dan tidak kepada yang lain. Dia memikul ilmu menerima beban pikulan ilmu dari gurunya seperti barang yang dimiliki oleh gurunya. Dia jaga, dia pelihara, dia kembangkan kepada sebuah usaha yang menguntungkan maka guru taubahnya seperti ayah secara hakiki yang memberi warisan ke ahli warisnya“. Memeliharanya itu, menjaganya itu dengan dipahami dan diamalkan kemudian diajarkan, dikembangkannya dengan diajarkan kepada yang lain maka akan dapat untung, untungnya bagi dia dan juga bagi gurunya. Jadi si guru ini mewariskan ilmu kepada muridnya bukan harta. Allah berfirman tentang Nabi Zakaria dalam surat Maryam ayat 6 :
“Ya Allah beri aku dari sisi-Mu seorang Wali (Wali disini menunjukan putra/anak yang akan menerima warisan dari aku dan dari keluarga Ya’qub)”.
Warisan disini maksudnya adalah hikmah dan ilmu bukan warisan harta. Para Nabi tidak pernah mewariskan harta kepada ahli warisnya dan yang mereka wariskan adalah ilmu dan hikmah. Maka seperti itulah hubungan guru dengan murid dalam masalah pelajaran agama. Guru mewariskan ilmu kepada muridnya dan oleh muridnya ada yang menjaga dan mengembangkannya atau mengajarkannya lagi, keuntungannya bagi dia dan juga bagi gurunya. Ada lagi murid yang kurang kreatif, dia dikasih ilmu namun hanya untuk dirinya pun tidak dimanfaatkan, sudah dibuang begitu saja, dia tidak paham untuk dirinya, tidak diamalkan untuk dirinya dan tidak diajarkan kepada orang lain. Si guru kalau punya murid seperti ini tidak ada kerugian, dia tetap dapat untung pahala mengajarkannya cuma untungnya terbatas dan sudah mentok disana. Tetapi jikalau umpamanya seorang guru mempunyai murid yang kreatif, muridnya mengamalkan untuk dirinya dan diajarkan kepada orang lain maka ini memberikan keuntungan kepada gurunya berupa pahala yang jariyah (terus menerus). Seorang guru akan memperoleh pahala hanya dari ngajarnya baik si murid paham atau tidak. Mau paham atau tidak begitu guru mengajarkan sudah dapat pahala dari mengajarkannya, tetapi kalau muridnya memahami apa yang diajarkannya, bermanfaat bagi dirinya dan juga bagi orang lain maka pahalanya juga mengalir bagi sang guru selama pemanfaatannya mengalir terus menerus. Inilah tijarroh atau perniagaan yang setiap orang menginginkan keuntungan hendaklah berlomba-lomba dalam hal itu. Jadi kalau umpamanya seorang yang berilmu diminta mengajar sama dengan seperti orang yang kaya dengan uang diminta investasi dengan usaha yang pasti menguntungkan, mengajar investasi akhirat. Maka bagi setiap guru hendaklah dia berupaya dengan sesungguh-sungguhnya untuk mengadakan perniagaan seperti ini dan mengembangkannya dan itu merupakan amalnya dan ada efek positif dari amalannya. Al-Qur’an surat Yasin ayat 12, Allah berfirman :
“Kami-lah yang menghidupkan orang yang sudah mati dan Kami yang mencatat-kan apa-apa yang mereka amalkan dan dampak kasar dari amalan mereka“.
Jadi yang dicatat dari manusia bukan hanya amalan tetapi dampak dari amalan itu baik yang baik maupun yang buruk, kalau dampaknya terus (berantai) berupa kebaikan maka dampak yang berantai berupa kebaikan itu dicatat juga amalnya sekali tetapi amalan sekali melahirkan kebaikan yang beruntun terus maka hal itu akan dicatat terus menerus. Seperti contohnya mengajarkan ilmu amalnya mengajarkan ilmu sekali tetapi dari sekali ini muridnya mengajarkan lagi, murid dari muridnya mengajarkannya lagi, murid murid dari muridnya mengajarkannya lagi, murid murid murid terus seperti itu sampai kiamat, ada dampak dan itu semua dicatat. Allah menyatakan مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ , “Kami catatkan apa yang sudah mereka amalkan dan dampak dari amalan itu” kalau dampaknya baik. Tetapi bayangkan kalau dampaknya buruk, kita mengajarkan satu keburukan memberikan satu keburukan kemudian diamalkan oleh orang banyak maka dosa ketika mengajarkannya dan efek buruk yang ditimbulkannya juga melahirkan dosa yang berantai terus mengalir kedalam catatan buruk kita. Kitanya mati amal buruknya masih terus maka mengalir. Hati-hati bikin status di medsos, postingan, dari mana kita memposting kemudian kita anggap karena kebodohan kita bahwa postingan itu bagus dan benar kemudian di copy paste dan ditempel, lalu dishare oleh banyak orang. Setelah belajar kita tau ternyata itu salah, keliru dan banyak orang yang sudah tersesatkan dengan tulisan itu. Satu kata di media sosial lalu jutaan orang membaca bahkan menshare dan terpengaruh oleh tulisan itu maka mengalir. Termasuk yang kita posting bukan tulisan tetapi foto akhwat maka ini termasuk kedalam ayat ini وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ , “Allah mencatat apa yang mereka amalkan dan dampak dari amalan mereka“, baik amalan yang baik ataupun amalan yang buruk, dampak yang baik ataupun dampak yang buruk. Berkata Mualif, “Ma qoddamu hum maknanya apa yang langsung mereka amalkan, wa atsaaro hum maknanya apa yang timbul akibat amalan itu baik kemaslahatan yang bermanfaat ataupun sebaliknya baik dalam kehidupan ataupun setelah kematian dia (akhwatnya sudah mati tetapi fotonya yang mengumbar kecantikannya masih tersebar di medsos, di jutaan akun orang masih banyak orang yang bermaksiat akibat foto itu) maka dosanya mengalir terus ke alam kubur“. Itu adalah dosa jariyah loh akhwat jangan diobral dan itu barang mahal. “Hendaklah setiap mualim (guru) memberikan motivasi kepada muridnya dengan segala cara, mendorong mereka untuk rajin, giat dan tidak membuat mereka menjadi jemu, jenuh, bosan dengan cara menyibukkan mereka dengan hal-hal yang menyulitkan mereka untuk memahami ilmu“. Itulah adab -adab yang harus dipegang oleh seorang guru.
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته