🌍 Kajian Kitab
👤 Al-Ustadz Abu Haidar As-Sundawy حفظه الله
📗 Kitab Awaa’iqu ath Thalab (Kendala Bagi Para Penuntut Ilmu)
📝 as-Syaikh Abdussalam bin Barjas Alu Abdul Karim حفظه الله
Berkata Syaikh Utsaimi rahimahullah dalam bab al akhtho alati yazibu hadruha beberapa kesalahan yang wajib dihindari bagi para penuntut ilmu adalah At tashodur qoblat ta ahhul mengajar sebelum waktunya, berdakwah sebelum layak untuk menjadi da’i karena kemampuannya dan itu sangat berbahaya, lama-lama sampai puncak kekeliruannya, puncak bahayanya diantara seluruh bahaya yang ada adalah dia menjauhi ikhtiar, upaya untuk mencari ilmu pada sumbernya dan pada ahlinya, dia ketika mengajar itu tidak lagi merujuk kepada kitab-kitab para ulama, tidak lagi didasarkan pada ilmu, tetapi didasarkan pada kebodohan yang bertumpuk pada akalnya yang kurang dari ilmu. Sering saya (al ustadz) jelaskan akal kita bukan alat untuk memahami apapun. Akal itu sekedar wadah untuk menampung alat untuk memahami apapun. Kita punya akal, bisa tidak memahami, menganalisa bahkan mencari solusi kesungguhan bagi sebuah penyakit tetapi akal kita kosong dari ilmu kedokteran, kita tidak pernah belajar ilmu tentang kedokteran, tidak pernah baca-baca jurnal, artikel, buku tentang kesehatan, bisa tidak dia mengira-ngira atau mengetahui apa penyebabnya, penyakitnya apa, dan solusinya apa. Kita punya akal, bisa tidak akal kita memahaminya ? jawabannya tidak. Jikalau dipaksakan maka akan salah, akan keliru. Akal bukan alat untuk memahami itu, terus apa alatnya ? yakni ilmu kesehatan, ilmu kedokteran jajali dahulu akal kita dengan ilmu itu dan ilmu itulah yang menjadi alat bagi penyakit yang sedang dia alami. Dia bisa menganalisa dengan ilmunya kemudian mencari pengobatannya. Itu tentang ilmu dunia apalagi ilmu agama tentang Al-Qur’an. Kita punya akal, akal kita bukan alat untuk memahami Al-Qur’an. Alat untuk memahami ilmu Al-Qur’an yaitu ilmu tafsir kalau mau kita memahami Al-Qur’an yang benar akal kita isi dulu dengan ilmu tafsir itu barulah bisa memahami isi Al-Qur’an secara benar bukan dengan akalnya tetapi dengan ilmu tafsir yang dipahami oleh akal. Nabi ﷺ bersabda, “Siapa orang yang berbicara tentang kitab Allah dengan akalnya hendaklah dia siap-siap menempati tempat duduknya didalam neraka” (HR. Tirmidzi) Karena itu bukan alat untuk memahami Al-Qur’an. Jadi ketika orang belajarnya belum seberapa banyak baru setahun atau dua tahun sudah merasa memahami, menguasai apapun lalu berbicara tentang ayat Allah maka akibatnya penafsiran para ulama tentang ayat itu dia singkirkan hasil otak dia yang berperan didalam menafsirkan ayat,melepaskan diri dari intisab terhadap ilmu dan ahlinya. Makanya jangan heran jikalau lahir pendapat yang aneh dari orang seperti itu. Tetapi karena dia umpamanya hafal banyak ayat, hafal banyak hadits, retotrikanya bagus ketika menerangkan kepada orang awam dan orang awam tersebut kagum tanpa mengetahui kekeliruan dan kesalahannya. Al-Ma’mun pernah berbicara dengan nada mengejek kepada penuntut ilmu yang seperti itu, dia berkata “Salah seorang diantara mereka belajar hadits tiga hari, setelah tiga hari orang itu berkata ‘Akulah ahli hadits’” (dinukil oleh imam ad-Dzahabi dalam kitab Siyar A’lamin Nubala) Yang lebih parah baru belajar kemudian belajarnya pun bukan mulazamah sekali, dua kali, sebulan, dua bulan anggaplah setahun setelah setahun para ulama dicela maka hal ini sangat keliru, manhaj nya menyimpang, ini ahlu bid’ah kemudian pas di tes bahasa arab tidak paham sama sekali, pas disuruh berbicara bahasa Al-Qur’an tajwid makhrojnya juga masih tersandung-sandung. Bagaimana ulama para salafushaleh dalam mencari ilmu zaman dahulu ? maka dia akan takjub. Takjub tentang kesabaran mereka dalam mengecap pahit getirnya ikhtiar dalam belajar, kagum didalam kesabaran mereka menempuh waktu yang sangat panjang, mereka tidak jemu, tidak bosan, tidak bersantai-santai, tidak terlambat ketika hadir ke majelis ilmu, dan tidak bertakabur. Syiar mereka atau moto mereka adalah “tuntutlah ilmu sejak dari buaian sampai masuk liang lahat” (Ini bukanlah ayat atau hadits namun sekedar pribahasa). Ini jadi moto para ulama bahwa belajar ilmu itu sejak dari buaian sampai masuk liang lahat artinya sebelum mati terus berjuang menuntut ilmu. Ilmu itu dari mahbaroh (alat atau botol tinta pada zaman dahulu, pena tetapi tintanya itu bukan dari dalam seperti sekarang) kemudian dicelupkan dan dituliskan (ini adalah hiber dan tempatnya disebut mahbaroh).
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته