Home > Halaqah Silsilah Ilmiyah > Aqidah Ath-Thahawiyah > Halaqah 101 | Ahlus Sunnah Tidak Mengkafirkan Ahlu Kiblat Dikarenakan Melakukan Dosa Besar Selama Pelaku Dosa Besar Tidak Menganggapnya Halal

Halaqah 101 | Ahlus Sunnah Tidak Mengkafirkan Ahlu Kiblat Dikarenakan Melakukan Dosa Besar Selama Pelaku Dosa Besar Tidak Menganggapnya Halal

Kitab: Aqidah Ath-Thahawiyah
Audio: Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A
Transkrip: ilmiyyah.com

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن وله

Halaqah yang ke-101 dari Silsilah ‘Ilmiyyah Pembahasan Kitāb Al-Aqidah Ath-Thahawiyah yang ditulis oleh Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullāh.

Beliau mengatakan, menyebutkan tentang salah satu di antara aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jamā’ah yang dengannya membedakan antara mereka dengan sebagian ahlul bid’ah, yaitu tentang masalah keyakinan terhadap orang yang melakukan dosa besar, apakah dia keluar dari agama Islam ataukah statusnya masih sebagai seorang Muslim.

Beliau mengatakan:

وَلَا نُكَفِّرُ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَةِ بِذَنْبٍ مَا لَمْ يَسْتَحِلَّهُ

“Dan kami tidak mengkafirkan seorang pun dari ahlil qiblah.”

Ahlul qiblah maksudnya adalah orang-orang Islam karena mereka satu dalam kiblat, yaitu Al-Masjidil Haram. Berarti maksudnya, kita tidak mengkafirkan seorang pun dari orang Islam yang kita ketahui asalnya dia adalah seorang Muslim dan kita tidak mengetahui bahwa ia melakukan sesuatu yang mengeluarkan dia dari agama Islam.

Kalau dia melakukan dosa, dosa yang berada di bawah kesyirikan seperti dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil, maka keyakinan kita Ahlus-Sunnah wal-Jamā’ah adalah tidak mengkafirkan orang tersebut.

وَلَا نُكَفِّرُ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَةِ بِذَنْبٍ

“Kami tidak mengkafirkan seorang pun dari orang Islam dengan sebab dosa.”

Dosa yang dimaksud di sini adalah al-kabā’ir (dosa-dosa besar). Kalau dosa-dosa besar saja kita tidak mengatakan bahwa pelakunya keluar dari agama Islam, apalagi dosa-dosa kecil tentunya.

Karena dosa ini ada yang kabā’ir (besar) dan ada yang shaghā’ir (kecil). Allāh ﷻ berfirman:

إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ

“Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar yang dilarang bagi kalian, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan kecil kalian.”
(QS. An-Nisā’: 31)

Ini menunjukkan bahwa di sana ada kabā’ir (dosa-dosa besar). Dan Nabi ﷺ juga pernah ditanya tentang “akbarul kabā’ir” (dosa-dosa yang paling besar), menunjukkan bahwa di sana ada dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil.

Dosa-dosa besar adalah seluruh dosa yang disebutkan dalam dalil bahwa dosa tersebut misalnya diancam dengan laknat, atau dosa tersebut ada ancaman secara khusus dengan neraka, atau dosa tersebut ada hukuman di dunia. Laknat misalnya seperti sabda Nabi ﷺ:

لَعَنَ اللَّهُ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ، وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ

“Allāh melaknat laki-laki yang menyerupai wanita, dan wanita yang menyerupai laki-laki.”
(Hadits Riwayat Ahmad)

Berarti laki-laki tasyabbuh (menyerupai) wanita atau wanita yang menyerupai laki-laki ini adalah dosa besar karena ada ancaman laknat.

Riba juga demikian. Ada ancaman laknat, maka ini dosa besar. Begitu juga dosa-dosa yang diancam dengan neraka, seperti isbal, sabda Nabi ﷺ:

مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ فَفِي النَّارِ

“Apa yang berada di bawah kedua mata kaki, maka tempatnya di neraka.”
(Hadits Shahih Riwayat Bukhari)

Atau dosa yang ada hukuman di dunia, seperti membunuh, mencuri, atau berzina, ada hukuman di dunia yaitu dirajam atau di cambuk, ini menunjukkan bahwa dosa-dosa tersebut adalah termasuk dosa-dosa besar.

Jika ada seorang Muslim yang melakukan dosa-dosa besar ini maka keyakinan kita Ahlus-Sunnah wal-Jamā’ah adalah bahwa orang tersebut masih seorang Muslim. Dia adalah orang yang beriman, tetapi dia nāqisul īmān (keimanannya berkurang). Dia tidak keluar dari agama Islam, tetapi juga tidak sempurna keimanannya.

Ahlus-Sunnah berada di pertengahan.

Apa dalil bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak keluar dari agama Islam?

Di antara dalilnya adalah firman Allāh ﷻ:

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا ۖ فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَىٰ فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّىٰ تَفِيءَ إِلَىٰ أَمْرِ اللَّهِ

“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat aniaya terhadap yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu hingga mereka kembali kepada perintah Allāh.”
(QS. Al-Ḥujurāt: 9)

Kita tahu makna berperang, yaitu masing-masing mengangkat senjata berkeinginan membunuh yang lain. Namun, Allāh ﷻ masih menamakan mereka sebagai ikhwah.

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا

Apabila ada dua golongan dari orang-orang beriman yang saling berperang

Allāh ﷻ masih menamakan mereka sebagai mu’minīn (orang-orang yang beriman), kalau mereka keluar dari agama Islam, tentu Allāh ﷻ akan menamakan mereka sebagai kuffār (orang-orang kafir). Tapi Allāh ﷻ masih menamakan mereka sebagai orang-orang yang beriman.

Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqah kali ini dan sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

image_pdfimage_print

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top