🌍 BimbinganIslam.com
👤 Riki Kaptamto, Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi’ al Akhbār
(Mutiara Hikmah Penyejuk Hati, Syarah 99 Hadits Pilihan)
📝 Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa’dī
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، اما بعد
Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.
Ini adalah halaqah kita yang ke-21 dalam mengkaji kitāb بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil abrār wa Quratu ‘uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi’ al Akhyār) yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa’dī rahimahullāh.
Kita sudah sampai pada hadīts yang ke-20, yaitu hadīts yang diriwayatkan oleh Abū Hurairah radhiyallāhu ta’āla ‘anhu.
Beliau mengatakan, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
لاَ يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ (متفق عليه)
“Allāh tidak menerima shalāt salah seorang dari kalian apabila dia berhadats sampai dia melakukan wudhū.” (Muttafaqun ‘alayh) (Hadīts riwayat Imān Bukhāri dan Muslim)
Hadīts ini berbicara tentang salah satu syarat dari syarat-syarat sahnya shalāt, di mana seorang yang dia melakukan shalāt, shalāt tersebut tidak dianggap sah dan tidak diterima oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla, kecuali apabila dia melakukannya dalam keadaan telah berwudhū’ (menghilangkan hadats pada dirinya) serta dengan terpenuhinya syarat-syarat yang lain tentunya.
Karena yang namanya suatu ibadah maka tidaklah bisa menjadi sah kecuali apabila telah terpenuhi perkara-perkara yang itu merupakan syarat.
Karena Allāh Subhānahu wa Ta’āla telah mengkaitkan atau menjadikan pada amalan-amalan ibadah itu penentu sah atau tidaknya dengan terpenuhinya syarat dan hilangnya al mawani yaitu sesuatu yang berlaku pada amalan-amalan ibadah yang lain juga tidak hanya pada shalāt.
Oleh karena itu peran para fuqahā’ atau para ulamā sangatlah besar dalam hal ini, dimana mereka menjelaskan kepada umat tentang syarat-syarat yang harus terpenuhi apabila seorang melakukan suatu amalan ibadah.
Karena syarat-syarat tersebut tentunya tidak diketahui serta merta dari satu hadīts akan tetapi dikumpulkan dari hadīts-hadīts yang lain sehingga terpadu dan terbentuklah suatu kesimpulan dimana hal-hal itu merupakan syarat-syarat sahnya ibadah dalam hal ini kita contohkan dengan shalāt.
Dimana syarat sahnya shalāt bukan hanya bersih dari hadats, berwudhū’ saja tetapi ada syarat-syarat yang lain dan semua itu harus terpenuhi agar shalātnya menjadi sah, sehingga dari situlah tampak bagi kita peran besar para ulamā dimana mereka telah berupaya untuk mempermudah dan menjelaskan kepada umat tentang syarat-syarat satu ibadah.
Oleh karena itu Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa’dī rahimahullāh menjelaskan di sini bahwasanya hadīts ini berbicara tentang suatu kaedah secara umum bahwasanya suatu amalan ibadah atau shalāt pada khususnya tidak akan sah kecuali apabila telah terpenuhi syarat-syaratnya dan juga bebas dari hal-hal yang merusaknya dan ini juga berlaku bagi amalan-amalan ibadah yang lainnya.
Kemudian beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud berhadats di dalam hadīts ini yaitu di dalam ucapan Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam إذا أحدث apabila dia berhadats.
Maksudnya adalah hadats secara umum yang itu merupakan atau diistilahkan sebagai Nawāqidul wudhū (pembatal-pembatal wudhū) maka itu termasuk di dalamnya hadats tersebut adalah seorang yang dia buang air besar atau buang air kecil atau buang angin.
Di antara hadats lainnya adalah tidur dengan posisi yang dijelaskan para ulamā bisa membatalkan wudhū.
Sebagaiman beliau jelaskan juga yang termasuk hadats adalah keluarnya najis dari anggota tubuh dengan kadar yang banyak, begitu juga makan daging unta kemudian menyentuh wanita dengan syahwat, juga diantaranya adalah menyentuh kemaluan dengan tangan.
Dan pada pembatal-pembatal wudhū ini tentunya sebagiannya ada yang disepakati para ulamā dan sebagian yang lain merupakan perkara yang diperdebatkan oleh para ulamā.
Namun beliau tidak membahas panjang disini, hanya saja apabila seorang melakukan hadats maka batal wudhūnya dan tidak sah shalātnya, dia harus berwudhū’ terlebih dahulu sebelum dia melakukan shalāt.
Maka dari hadīts ini juga, kita bisa mengetahui bahwasanya orang yang dia shalāt namun dia lupa atau dia tidak tahu bahwasanya sebelumnya dia sudah berhadats dan tidak berwudhū’, maka dia wajib untuk mengulang shalātnya.
Karena Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
“Allāh tidak menerima shalāt seseorang apabila dia berhadats sampai dia melakukan wudhū.”
Baik dia lupa atau dia tidak tahu maka dia wajib untuk mengulang shalātnya, karena dia shalāt tanpa bertaharah (shalāt dalam keadaan berhadats) berdasarkan keumuman hadīts ini.
Namun beda halnya beliau sebutkan di sini, beda halnya apabila dia shalāt dalam keadaan dia lupa ternyata di badannya atau di pakaiannya ada suatu najis. Maka dia tidak perlu mengulang shalātnya.
Jadi dibedakan antara shalāt dalam keadaan berhadats karena lupa dengan shalāt yang dia membawa najis dalam keadaan lupa juga.
Kalau dia berhadats, dia wajib mengulang bagaimana pun keadaannya, kalau adanya najis maka dia tidak perlu untuk mengulang.
Kenapa dibedakan ?
Alasannya disebutkan karena yang namanya menghilangkan hadats yaitu termasuk dari sisi melakukan sesuatu (berwudhū’) maka tidak terpenuhi kecuali dilakukan.
Adapun bila menghilangkan najis, maka beliau sebutkan ini masuk ke dalam kategori meninggalkan sesuatu yang dilarang. Oleh karena itu seorang dia mendapatkan udzur apabila dia lupa untuk meninggalkannya.
Beda halnya kalau dia lupa untuk melakukannya dan dia tetap dituntut untuk melakukan perbuatan yang diperintahkan. Ini alasannya yang beliau kemukakan dalam membedakan antara dua hal tersebut.
Maka intinya dari hadīts ini mengetahui bahwasanya seorang yang dia akan melakukan shalāt maka dia wajib untuk menghilangkan hadats, baik hadats kecil maupun hadats besar.
⇒ Hadats kecil dengan cara berwudhū’, sedangkan hadats besar dengan cara mandi.
Apabila dia shalāt dalam keadaan dia berhadats karena lupa maka dia tetap wajib untuk mengulang shalātnya.
Wallāhu Ta’āla A’lam.
Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqah kita kali ini dan in syā Allāh akan kita lanjutkan lagi pada hadīts berikutnya di halaqah mendatang.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته