Home > Halaqah Silsilah Ilmiyah > Amalan Yang Disyari’atkan Di Bulan Sya’ban > Halaqah 04 | Keutamaan Bulan Sya’ban Bagian 03

Halaqah 04 | Keutamaan Bulan Sya’ban Bagian 03

👤 Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A حفظه لله تعالى
📗 Amalan Yang Disyari’atkan Di Bulan Sya’ban

════ ❁✿❁ ════

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَٰذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وسلم وبارك عَلَى نبينَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَ أصَحابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ

Ikhwāniy Fīdīn wa Akhawātiy Fīllāh A’ādzaniyallāh wa Iyyakum.

Keutamaan selanjutnya, bahwasanya di bulan ini ada waktu di mana Allāh Subhānahu wa Ta’āla akan mengampuni dosa bagi seluruh hamba. Sebagaimana dalam hadīts yang diriwayatkan oleh Ibnu Mājah dan hadīts ini dihasankan oleh Syaikh Al-Albāniy rahimahullāh.

Bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan:

إِنَّ اللَّهَ لَيَطَّلِعُ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ

“Sesungguhnya Allāh Ta’āla melihat pada malam nishf min Sya’ban (yaitu malam pertengahan bulan Sya’ban, malam tanggal 15), maka Allāh mengampuni untuk seluruh hambanya, kecuali ada dua golongan yang tidak akan diampuni oleh Allāh pada malam tersebut yaitu orang yang menyekutukan Allāh atau orang yang sedang punya masalah dengan saudara semuslim.”

Maksud dosa yang diampuni adalah dosa-dosa kecil, sedangkan dosa besar jumhur ulama mengatakan tidak dihapus kecuali dengan melakukan taubat yang nasuha.

Ada dua golongan yang tidak diampuni oleh Allāh pada malam tersebut, yaitu:

• Yang Pertama | Musyrik (orang yang menyekutukan Allāh), maka orang yang menyekutukan Allāh tidak mendapatkan keutamaan ini, dan ini menunjukkan bahayanya syirik.

⇒ Di antara bahayanya adalah orang yang melakukannya (menyekutukan Allāh) tidak mendapatkan ampunan dari Allāh Azza wa Jalla.

Dalam sebuah ayat Allāh mengatakan:

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِۦ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُ

“Sesungguhnya Allāh tidak mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa yang lain bagi siapa yang dikehendaki.” (QS An-Nissā: 48)

Seseorang meninggal dunia dalam keadaan dia tidak bertaubat kepada Allāh dari dosa syiriknya, kemudian bertemu Allāh pada hari kiamat maka tidak akan diampuni dosanya.

Dan dalam sebuah hadīts Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengatakan di dalam hadīts qudsi 2741:

يَا ابْنَ ادَمَ : إِنَّكَ لَوْ أَتَيْتَنِي بِقُرَابِ الأَرْضِ خَطَايا ثُمَّ لَقِيتَني لَا تُشْرِكُ بِي شَيْأً ، لَأَتيْتُكَ بِقُرَابِها مَغْفِرَةً

“Wahai anak Adam, seandainya engkau datang kepadaku dengan dosa sepenuh bumi, kemudian engkau bertemu dengan-Ku dalam keadaan engkau tidak menyekutukan Aku dengan sesuatu apapun, niscaya Aku akan mendatangkan dirimu dengan ampunan sepenuh bumi.”

Seandainya seseorang datang kepada Allāh dengan dosa yang banyak sepenuh bumi, kemudian bertemu dengan Allāh, kemudian dia datang kepada Allāh dalam keadaan tidak menyekutukan Allāh dengan sesuatu apapun.

Maka Allāh menjanjikan akan mendatangkan ampunan sepenuh bumi dengan syarat tidak menyekutukan Allāh dengan sesuatu apapun.

Kesyirikan adalah dosa yang paling besar dan tidak akan diampuni apabila seseorang meninggal dunia dalam keadaan tidak bertaubat dari dosa syirik ini.

أَوْ مُشَاحِنٍ

• Yang Kedua | Orang yang sedang punya masalah dengan saudara semuslim, sedang tidak saling berbicara satu dengan yang lain, tidak saling menyapa.

Maka orang yang demikian termasuk orang yang tidak mendapatkan keutamaan pada malam tersebut yaitu tidak diampuni dosa-dosa kecil yang dia miliki.

Dan ini menunjukkan tentang bahayanya orang yang memiliki pertengkaran dengan saudaranya.

Oleh karena itu seorang muslim apabila terjadi sesuatu antara dirinya dengan saudaranya maka segera dia meminta maaf, memerangi hawa nafsu yang ada di dalam dirinya, dan lebih mendahulukan ridhā Allāh daripada hawa nafsunya.

Berjuang melawan bisikan-bisikan syaithan, segera dia selesaikan masalahnya antara dirinya dengan saudara yang lain.

Jangan sampai berlarut-larut, tidak pernah menyapa, tidak pernah salam antara satu dengan yang lain. Sehingga akibatnya dia tidak mendapatkan karunia dan anugerah Allāh yang besar. Di antaranya adalah ampunan yang Allāh berikan pada malam Nishf Sya’ban (malam pertengahan bulan Sya’ban).

Ikhwāniy Fīdīn wa Akhawātiy Fīllāh A’ādzaniyallāh wa Iyyakum.

Disebutkan dalam sebagian riwayat dengan lafadz ينزل yaitu Allāh turun pada malam tersebut, dan ini tidak ada pertentangan antara satu lafadz dengan lafadz yang lain. Dan kalimat turun bukan berarti bertentangan dengan kalimat Allāh Subhānahu wa Ta’āla melihat.

Apabila lafadz tersebut tetap di dalam hadīts yang shahīh, maka kita harus imani dengan keyakinan bahwasanya turunnya Allāh Azza wa Jalla adalah turunnya Allāh sesuai dengan keagungan-Nya tidak sama dengan turunnya makhluk.

 ۚلَيْسَ كَمِثْلِهِۦ شَىْءٌۭ ۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ

“Tidak ada yang serupa dengan Allāh dan Dia adalah Dzat yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS Asy-Syura: 11)

Oleh karena itu dengan banyaknya keutamaan tadi, Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. sebagaimana dalam hadīts Usamah bin Zaid.

Demikian pula diceritakan oleh Āisyah radhiyallāhu ‘anhā:

لَمْ يَكُنْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ

Jadi yang melihat puasanya Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam di bulan Sya’ban dan banyaknya beliau berpuasa bukan hanya Usamah tetapi Āisyah pun melihat.

Beliau mengatakan: “Tidaklah Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam berpuasa dalam sebuah bulan lebih banyak daripada di bulan Sya’ban, karena dahulu Beliau melakukan puasa di bulan Sya’ban semuanya”.

(Hadits riwayat Al-Bukhāri dan Muslim)

Yang dimaksud dengan كُلَّهُ (semuanya) di sini, diterangkan dalam riwayat yang lain, maksud كُلَّهُ di sini adalah sebagian besar.

Di dalam riwayat yang lain disebutkan, bahwasanya Āisyah radhiyallāhu ‘anhā mengatakan:

فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلاَّ رَمَضَانَ،

“Aku tidak pernah melihat Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam menyempurnakan puasa di sebuah bulan kecuali bulan Ramadhan.”

Jadi yang sempurna satu bulan semuanya hanya dilakukan di bulan Ramadhan, adapun selain itu maka beliau tidak menyempurnakan puasa selama satu bulan.

وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ.

“Aku tidak pernah melihat Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallah lebih banyak puasa di sebuah bulan daripada di bulan Sya’ban.”

Oleh karena itu sebagian Salaf seperti Abdullāh Ibnu Mubarak menyebutkan, bahwasanya orang Arab terkadang menyatakan كُلَّهُ maksudnya adalah sebagian besar.

Mereka mengatakan كُلَّهُ (semuanya) dan maksudnya adalah sebagian besar.

Demikian pula seandainya maksud dari puasa Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam di bulan Sya’ban adalah seluruh bulan Sya’ban, niscaya amalan ini sudah tersebar dan sudah di nukil oleh banyak sahabat Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Tapi tidak ada di sana nukilan bahwasanya para Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam berpuasa di bulan Sya’ban secara keseluruhan

‘Alā kulli hal, ucapan ‘Āisyah radhiyallāhu ‘anhā yang mengatakan bahwasanya beliau berpuasa di bulan Sya’ban semuanya dijelaskan oleh riwayat yang lain yang menunjukkan bahwasanya Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam tidak berpuasa pada seluruh bulan  Sya’ban tersebut, tetapi hanya sebagian besar saja.

Itulah yang bisa kita sampaikan pada halaqah kali ini, semoga yang sedikit ini bermanfaat dan sampai bertemu kembali pada halaqah selanjutnya.

والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

‘Abdullāh Roy
Di kota Jember

Materi audio ini disampaikan di dalam Grup WA Halaqah Silsilah ‘Ilmiyyah (HSI) ‘Abdullāh Roy
___

image_pdfimage_print

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top