Home > Bimbingan Islam > Matan Abu Syuja > Kajian 112 | Syarat Wajib Haji

Kajian 112 | Syarat Wajib Haji


🌍 BimbinganIslam.com
👤 Ustadz Fauzan ST, MA
📗 Matan Abu Syuja
📝 Ahmad bin Al-Husain bin Ahmad Al-Asfahāniy (Imam Abū Syujā’)

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد

Para sahabat Bimbingan Islām dan kaum muslimin yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Kita lanjutkan pembahasan kita dari Kitāb Al Hajj matan Abū Syujā’, pada pertemuan kali ini kita masuk pada halaqah yang ke-112.

Berkata penulis rahimahullāh:

(( وشرائط وجوب الحج سبعة أشياء: الإسلام والبلوغ والعقل والحرية ووجود الزاد والراحلة وتخلية الطريق وإمكان المسير))

“Dan syarat wajibnya haji bagi seseorang ada tujuh macam: Islam, baligh, berakal, merdeka, memiliki bekal dan memiliki kendaraan, aman perjalanan, mungkin untuk melakukan perjalanan.”

Di sini ada khilāf para ulamā tentang jumlah syaratnya dan yang disebutkan dalam kitāb ini (madzhab Syāfi’i) ada 7 (tujuh) macam.

Di antaranya:

⑴ Islām (الإسلام)

Karena ini terkait dengan ibadah, jadi jelas terkait dengan Islām atau tidaknya seseorang. Karena haji tidak diwajibkan bagi orang-orang kāfir.

⑵ Umurnya mencapai usia bāligh (البلوغ)

Mencapai umur bāligh dan telah kita bahas tentang tanda-tanda seorang mencapai derajat bulūgh atau mencapai usia bāligh bagi wanita dan laki-laki.

Di antara tanda-tanda seseorang sudah mencapai derajat bulūgh (bāligh):

√ Bagi wanita, dia telah hāidh.
√ Bagi laki-laki, dia telah ihtilam atau mimpi basah.

Jika seseorang telah sampai pada derajat bulūgh (bāligh), artinya dia telah dikenakan kewajiban-kewajiban syari’at.

⑶ Berakal (العقل)

Seseorang yang kehilangan akalnya (seperti) seorang yang gila maka tidak wajib bagi dia untuk melaksanakan ibadah haji.

⑷ Merdeka (الحرية)

Merdeka artinya bukan seorang budak karena ibadah haji ini terkait dengan ibadah  badaniyyah dan amaliyyah.

Sementara seorang budak tidak memiliki harta, karena hartanya adalah milik tuannya.

⑸ Dia memiliki bekal dan memiliki kendaraan (وجود الزاد والراحلة)

Dia memiliki bekal dan kendaraan yang mengantarkan dia pergi dan pulang dari tempat tinggalnya menuju tanah harām begitu pun sebaliknya.

Sedangkan pengertian bekal yang cukup disini (maksudnya) adalah;

√ Bekal untuk dia pergi dan pulang dari tempat tinggalnya menuju ke tanah harām.

√ Bekal selama berada di tanah harām.

√ Bekal yang dia tinggalkan untuk keluarganya (keluarga yang wajib dia nafkahi) selama dia berada di tanah harām.

⑹ Aman perjalanannya (تخلية الطريق)

Maksudnya perjalanan yang akan dia tempuh aman, karena pada zaman dahulu tidak ada pesawat seperti sekarang, zaman dahulu seseorang apabila ingin melaksanakan ibadah haji (ke Mekkah) dia harus melalui jalan darat, jalan darat tidaklah aman karena sering terjadi halangan atau gangguan seperti adanya penyamun dan lainnya.

Apabila jalan tersebut tidak aman, maka dia tidak memenuhi syarat dan menjadikan seorang tidak wajib untuk menunaikan ibadah haji.

Kecuali ada alternatif jalan lain, yang menunjukkan bahwasanya jalan tersebut adalah jalan yang aman untuk dilalui oleh orang tersebut.

⑺ Mungkin untuk melakukan perjalanan (وإمكان المسير)

Maksudnya memungkinkan seseorang melakukan (menempuh) perjalanan akan tetapi tidak memungkinkan dia untuk berjalan.

Misalnya:

Seseorang memiliki bekal dan kendaraan pada tanggal 06 Dzulhijjah akan tetapi perjalanan yang harus dia tempuh memerlukan waktu satu minggu.

Berarti orang ini sampai di sana (tanah harām) waktu pelaksanakan ibadah haji sudah selesai, maka orang ini tidak disyaratkan atau tidak diwajibkan untuk melaksanakan ibadah haji karena tidak terpenuhi syarat ke-7 yaitu إمكان المسير (mungkin untuk melakukan perjalanan) dan sampai ditempat menunaikan ibadah haji tepat sebelum waktu pelaksanaan ibadah haji.

Di sana ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan, di antaranya:

⑴ Apabila seorang anak kecil yang belum mencapai derajat bulūgh atau belum mencapai usia bāligh melaksanakan ibadah haji, maka ibadah hajinya belum dianggap sebagai ibadah haji Islām atau haji yang menggugurkan kewajiban dia di dalam melaksanakan rukun ibadah haji.

⑵ Seorang wanita, tidak diperbolehkan untuk melaksanakan ibadah haji tanpa izin dari suaminya dan apabila dia diizinkan oleh suaminya maka dia wajib pergi bersama dengan mahramnya berdasarkan kesepakatan para ulamā.

Dan di dalam madzhab Syāfi’i diperbolehkan juga pergi apabila di sana ada sekumpulan wanita yang tsiqat (yang bisa dipercaya) sehingga dirasa aman di dalam perjalanan ibadah haji tersebut.

⑶ Untuk masalah kemampuan, di sana Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam menafsirkan kalimat:

وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ مَنِ ٱسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًۭا ۚ

“Dan wajib bagi setiap orang untuk melaksanakan ibadah haji bagi yang mampu untuk melaksanakannya.”

Kalimat: ٱسْتَطَاعَة , ditafsirkan oleh Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam sebagai: جود الزاد والراحلة , memiliki bekal dan kendaraan yang bisa mengantarkan dia pulang dan pergi dari tempatnya menuju ke tanah suci.

Istithā’ah ada dua macam yaitu:

⑴ Istithā’ah mubashirah (langsung), yaitu seseorang yang mampu melaksanakan ibadah haji oleh dirinya sendiri.

Dia bisa melaksanakan sendiri dan memenuhi 7 syarat yang telah dijelaskan di atas.

⑵ Istithā’ah ghairu al mubashirah, yaitu seorang memiliki kemampuan tetapi secara tidak langsung, artinya dia tidak mampu untuk melaksankan ibadah haji  (dirinya sendiri tidak mampu) namun mampu mewakilkan kepada orang lain.

Artinya dia memiliki māl yang dia bisa gunakan untuk memberikan satu taukil (mewakilkan) kepada orang lain dengan syarat wakil tersebut diperbolehkan.

Artinya orang tersebut memang sudah tidak mampu untuk melaksanakan ibadah haji maka boleh bagi dia untuk mewakilkan ibadah haji  kepada orang lain.

Hal ini sebagaimana hadīts dari Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam tatkala seorang wanita dari khats’am beliau bertanya kepada Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam:

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ فَرِيضَةَ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ فِي الْحَجِّ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيرًا لا يَثْبُتُ عَلَى الرَّاحِلَةِ أَفَأَحُجُّ عَنْهُ ؟ قَالَ : نَعَمْ

“Wahai Rasūlullāh, sesungguhnya kewajiban haji yang diwajibkan kepada para hamba-Nya telah berlaku bagi ayahku sementara dia dalam kondisi tua renta, tidak mampu berada di kendaraan. Apakah (boleh) saya menghajikan untuknya?” Beliau menjawab, “Ya.”

Ini dalīl bolehnya mewakilan ibadah haji bagi orang yang tidak mampu untuk melaksanakan, baik itu karena sakit yang sukar untuk disembuhkan atau karena usia yang sangat tua sehingga tidak bisa melakukan perjalanan.

Demikian yang bisa disampaikan, mudah-mudahan bermanfaat.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
واخردعوانا أن الحمد لله رب العالمين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
______

image_pdfimage_print

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top