🌍 BimbinganIslam.com
🎙 Ustadz Firanda Andirja, MA حفظه لله تعالى
📗 Sirah Nabawiyyah
~~~~~~~
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله على إحسانه، والشكر له على توفيقه وامتنانه، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له تعظيما لشأنه، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الداعي إلى رضوانه، اللهم صلى عليه وعلى آله وأصحابه وإخوانه
Para shahābat BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Kemudian kita akan lanjutkan kisah hijrah para shahābat ke negeri Habasyah (Ethiopia).
Akhirnya mereka berdua yaitu ‘Amr bin ‘Āsh dan ‘Abdullāh bin Abī Rabī’ah datang menemui raja Najāsyī dan mereka memberi hadiah kepada raja dan diterima oleh raja Najāsyī.
Kemudian mereka berbicara seperti yang mereka rencanakan, mereka mengatakan:
أَيُّهَا الْمَلِكُ إِنَّهُ قَدْ صَبَا إِلَى بَلَدِكَ مِنَّا غِلْمَانٌ سُفَهَاءُ فَارَقُوا دِينَ قَوْمِهِمْ وَلَمْ يَدْخُلُوا فِي دِينِكَ وَجَاءُوا بِدِينٍ مُبْتَدَعٍ لَا نَعْرِفُهُ نَحْنُ وَلَا أَنْتَ وَقَدْ بَعَثَنَا إِلَيْكَ فِيهِمْ أَشْرَافُ قَوْمِهِمْ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَعْمَامِهِمْ وَعَشَائِرِهِمْ لِتَرُدَّهُمْ إِلَيْهِمْ فَهُمْ أَعْلَى بِهِمْ عَيْنًا وَأَعْلَمُ بِمَا عَابُوا عَلَيْهِمْ وَعَاتَبُوهُمْ فِيهِ
“Wahai Raja, sesungguhnya telah keluar dari negeri kami dan agama kami anak-anak muda yang bodoh, mereka telah meninggalkan agama kaum mereka dan mereka tidak masuk ke dalam agamamu. Wahai Raja, mereka telah datang dengan agama yang baru. Kami tidak tahu dan kalianpun tidak tahu agama tersebut.
Dan pembesar mereka di Mekkah mengutus kami kepada engkau agar mengembalikan mereka kepada orang-orang tua mereka, karena mereka selalu mengawasi anak-anak mereka dan orang-orang tua mereka lebih mengetahui aib-aib mereka.”
Akan tetapi ‘Abdullāh bin Abī Rabī’ah dan ‘Amr bin ‘Āsh berharap jangan sampai raja Najāsyī sempat berbicara dengan para shahābat. Mereka inginnya adalah para shahābat segera dipulangkan tanpa ada dialog.
Tatkala itu para pembesar Najāsyī mengatakan:
صَدَقُوا أَيُّهَا الْمَلِكُ
“Benar, wahai raja.”
Namun apa kata raja Najāsyī ? Dia mengatakan:
لَا هَايْمُ اللَّهِ إِذًا لَا أُسْلِمَهُمْ إِلَيْهِمَا وَلَا أَكَادُ قَوْمًا جَاوَرُونِي وَنَزَلُوا بِلَادِي وَاخْتَارُونِي عَلَى مَنْ سِوَايَ حَتَّى أَدْعُوَهُمْ فَأَسْأَلَهُمْمَا يَقُولُ هَذَانِ فِي أَمْرِهِمْ فَإِنْ كَانُوا كَمَا يَقُولَانِ أَسْلَمْتُهُمْ إِلَيْهِمَا
“Tidak, demi Allāh, aku tidak akan menyerahkan mereka kepada dua orang ini. Aku tidak akan membuat makar kepada suatu kaum yang mereka telah meminta perlindungan dariku dan mereka telah singgah ditempatku, mereka memilih saya dan tidak memilih tempat lain. Saya tidak akan mengkhianati mereka. Aku akan panggil mereka dan aku akan ajak bicara mereka, apakah benar yang dikatakan kedua orang ini.”
Maka raja Najāsyi mengirim utusan kepada para shahābat, agar para shahābat dipanggil, tatkala itu para shahābat berdiskusi tentang hal ini, “Apa yang harus kita katakan kepada Raja Najāsyī?”
قَالُوا: نَقُولُ وَاللَّهِ مَا عَلِمْنَا وَمَا أَمَرَنَا بِهِ نَبِيُّنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَائِنٌ فِي ذَلِكَ مَا هُوَ كَائِنٌ
Maka para shahābat mengatakan: Kita akan sampaikan kepada raja Najāsyī, “Demi Allāh apa yang kita ketahui dan apa yang diberitakan oleh Nabi kita. Apa yang terjadi biarlah terjadi.”
⇒ Para shahābat tidak ingin berbohong, teguh di atas kebenaran.
Maka mereka memilih Ja’far bin Abī Thālib (ini cerdasnya para shahābat tatkala itu) para shahābat ingin membantah perkataan ‘Amr bin ‘Āsh.
‘Amr bin ‘Āsh dusta tatkala itu, dia mengatakan yang berhijrah adalah anak-anak muda yang bodoh padahal tidak. Bukan anak-anak muda yang bodoh mereka bahkan dari keturunan pembesar-pembesar kaum Quraisy.
Lihat lah, siapa Ja’far bin Abī Thālib!
Ja’far bin Abī Thālib memiliki nasab yang paling tinggi, tidak ada yang mengalahkan nasabnya.
Nasabnya Amr bin ‘Āsh kalah dengan Ja’far bin Abī Thālib. Ja’far bin Abī Thālib bin Abdil Muthālib (Kakek Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam adalah pembesar kaum Quraisy).
Dan yang hijrah tidak saja Ja’far bin Abī Thālib, ada shahābat lain yang memiliki nasab yang tinggi.
Inilah di antara cerdasnya Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam tatkala Nabi menyuruh mereka berhijrah bukan dari satu kabilah tetapi dari berbagai macam kabilah untuk menunjukkan bahwa yang keluar dari agama kesyirikan itu adalah berbagai macam kabilah, (artinya) banyak dari berbagai kabilah yang keluar dari agama kesyirikan dan berpindah kepada Islām.
Akhirnya datanglah Ja’far bin Abī Thālib disertai para pendeta, kemudian raja Najāsyī bertanya kepada para shahābat:
مَا هَذَا الدِّينُ الَّذِي فَارَقْتُمْ فِيهِ قَوْمَكُمْ وَلَمْ تَدْخُلُوا فِي دِينِي وَلَا فِي دِينِ أَحَدٍ مِنْ هَذِهِ الْأُمَمِ
“Agama apa yang kalian menyelisihi kaum kalian? Dan kenapa kalian tidak masuk ke dalam agamaku? Dan tidak ada agama umat manapun yang kalian ikuti.”
Maka Ja’far bin Abi Thālib menjawab, sebelum Ja’far menjelaskan tentang indahnya Islām, dia jelaskan dahulu bagaimana kerusakan yang mereka jalani tatkala masih dalam kesyirikan.
Dia (Ja’far) mengatakan:
أَيُّهَا الْمَلِكُ كُنَّا قَوْمًا أَهْلَ جَاهِلِيَّةٍ نَعْبُدُ الْأَصْنَامَ وَنَأْكُلُ الْمَيْتَةَ وَنَأْتِي الْفَوَاحِشَ وَنَقْطَعُ الْأَرْحَامَ وَنُسِيئُ الْجِوَارَ يَأْكُلُ الْقَوِيُّ مِنَّا الضَّعِيفَ فَكُنَّا عَلَى ذَلِكَ حَتَّى بَعَثَ اللَّهُ إِلَيْنَا رَسُولًا مِنَّا نَعْرِفُ نَسَبَهُ وَصِدْقَهُ وَأَمَانَتَهُ وَعَفَافَهُ فَدَعَانَا إِلَى اللَّهِ تَعَالَى لِنُوَحِّدَهُ وَنَعْبُدَهُ وَنَخْلَعَ مَا كُنَّا نَعْبُدُ نَحْنُ وَآبَاؤُنَا مِنْ دُونِهِ مِنْ الْحِجَارَةِ وَالْأَوْثَانِ
“Wahai raja, kami dahulu adalah kaum Jāhilīyyah, kami menyembah berhala dan kami makan bangkai, kami melakukan perbuatan-perbuatan yang keji, kami memutuskan silaturrahmi, kami berbuat buruk kepada tetangga dan kami yang kuat memakan yang lemah dan kami terus dalam kondisi demikian sampai Allāh mengutus kami seorang Rasūl. Seorang rasūl dari kami dan kami tahu nasabnya dan kejujurannya. Dan kami tahu amanahnya dan kami tahu bagaimana akhlaqnya.
Maka Nabi ini menyuruh kita untuk beribadah kepada Allāh saja dan bertauhīd, dan untuk meninggalkan sesembahan yang disembah oleh kami dan nenek moyang kami (seperti) batu-batu dan berhala-berhala.”
وَأَمَرَ بِصِدْقِ الْحَدِيثِ وَأَدَاءِ الْأَمَانَةِ وَصِلَةِ الرَّحِمِ وَحُسْنِ الْجِوَارِ وَالْكَفِّ عَنْ الْمَحَارِمِ وَالدِّمَاءِ وَنَهَانَا عَنْ الْفَوَاحِشِ وَقَوْلِ الزُّورِ وَأَكْلِ مَالِ الْيَتِيمِ وَقَذْفِ الْمُحْصَنَةِ وَأَمَرَنَا أَنْ نَعْبُدَ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا نُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا وَأَمَرَنَا بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَالصِّيَامِ قَالَ فَعَدَّدَ عَلَيْهِ أُمُورَ الْإِسْلَامِ فَصَدَّقْنَاهُ وَآمَنَّا بِهِ وَاتَّبَعْنَاهُ عَلَى مَا جَاءَ بِهِ فَعَبَدْنَا اللَّهَ وَحْدَهُ فَلَمْ نُشْرِكْ بِهِ شَيْئًا
Dan rasūl kami ini menyuruh kami untuk jujur, menyampaikan amanah, menyambung silaturrahmi, untuk berbuat baik kepada tetangga dan melarang kami untuk melakukan hal yang harām, melarang untuk menumpahkan darah dan melarang untuk melakukan perbuatan keji dan melarang untuk berdusta, dan melarang kami untuk memakan harta anak yatim dan melarang wanita baik-baik dengan perzinaan.
Dan memerintahkan kami untuk beribadah kepada Allāh saja, tidak boleh berbuat syirik sama sekali. Dan Nabi ini menyuruh kami untul shalāt, zakāt dan puasa.
Maka kamipun hanya menyembah hanya kepada Allāh saja.”
Akhirnya Ja’far bin Abī Thālib benar-benar berbicara tentang tauhīd dia ulang-ulang sampai tiga kali.
“Kami diperintah untuk menyembah Allāh saja dan tidak berbuat syirik sama sekali,” karena ini adalah inti dari dakwah Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
“Tatkala kami beribadah kepada Allāh saja, kami mengharāmkan apa yang harām dan kami menghalalkan apa yang halal.”
فَعَدَا عَلَيْنَا قَوْمُنَا فَعَذَّبُونَا فَفَتَنُونَا عَنْ دِينِنَا لِيَرُدُّونَا إِلَى عِبَادَةِ الْأَوْثَانِ مِنْ عِبَادَةِ اللَّهِ وَأَنْ نَسْتَحِلَّ مَا كُنَّا نَسْتَحِلُّ مِنْ الْخَبَائِثِ وَلَمَّا قَهَرُونَا وَظَلَمُونَا وَشَقُّوا عَلَيْنَا وَحَالُوا بَيْنَنَا وَبَيْنَ دِينِنَا خَرَجْنَا إِلَى بَلَدِكَ وَاخْتَرْنَاكَ عَلَى مَنْ سِوَاكَ وَرَغِبْنَا فِي جِوَارِكَ وَرَجَوْنَا أَنْ لَا نُظْلَمَ عِنْدَكَ أَيُّهَا الْمَلِكُ
“Maka kaum kami, memusuhi kami, merekapun menyiksa kami, dan mereka berusaha mengeluarkan kami dari agama kami, agar mereka mengembalikan kami untuk menyembah para berhala dan agar kami kembali menghalalkan perkara-perkara buruk yang telah diharāmkan.
Tatkala mereka menzhālimi kami, menyiksa kami, menyusahkan kami dan menghalangi kami, antara kami dengan agama kami, maka kamipun pergi ke negerimu dan kami pilih engkau wahai raja, kami tidak pilih yang lainnya dan kami ingin berada di bawah perlindunganmu dan kami berharap kami tidak dizhālimi di sisi engkau wahai raja.”
Bayangkan ! Perkataan Ja’far bin Abī Thālib.
Perkataan yang indah menjelaskan tentang rusaknya kesyirikan, kemudian datangnya Islām, perubahan akhlaq mereka setelah datangnya Islām kemudian bagaimana mereka dizhālimi.
Dan kita tahu bagaimana kisah Nabi Īsā ‘alayhissallām yang dizhālimi. Raja Najāsyī tahu betul bagaimana kezhāliman, dia tahu bagaimana nabinya dahulu (‘Īsā ‘alayhissallām) dan para hawariyyun disiksa dan dijauhi bahkan hendak dibunuh oleh mereka, bahkan mereka menyangka telah membunuh nabi ‘Īsā ‘alayhissallām.
Ja’far bin Abī Thālib mengambil hati raja Najāsyī kemudian ditutup dengan perkataan yang indah, “Kami hanya pilih engkau wahai raja dan tidak memilih raja yang lain dan kami berharap tidak dizhālimi di sisi engkau.”
Maka raja Najāsyīpun tertarik dengan perkataan Ja’far bin Abī Thālib.
Demikian saja.
سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك
وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
🖋Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
_______