Home > Bimbingan Islam > Sirah Nabawiyyah > Bab 09 | Usaha Kaum Musyrikin Quraisy Dalam Menghalangi Dakwah Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam (Bag. 3 dari 6)

Bab 09 | Usaha Kaum Musyrikin Quraisy Dalam Menghalangi Dakwah Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam (Bag. 3 dari 6)

🌍 BimbinganIslam.com
🎙 Ustadz Firanda Andirja, MA حفظه لله تعالى
📗 Sirah Nabawiyyah
~~~~~~~

بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
​​​الحمد لله على إحسانه، والشكر له على توفيقه وامتنانه، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له تعظيما لشأنه، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الداعي إلى رضوانه، اللهم صلى عليه وعلى آله وأصحابه وإخوانه

Para shahābat BiAS yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Kemudian, di antara uslub (metode) untuk menjatuhkan mental Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan juga para shahābat yaitu menekan mental Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam dan para shahābat radhiyallāhu ta’āla ‘anhum (dan ini mereka lakukan).

Kita tahu bahwasanya tatkala itu kebanyakan yang masuk Islām adalah anak-anak muda. Rata-rata umur mereka di bawah umur Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Ada orangtua namun sedikit.

Maka orang-orang kāfir Quraisy memanfaatkan ini. Mereka mengadakan pengumuman. Dipanggil orang-orang tua dan kepala-kepala suku.

Mereka mengatakan kepada para orang tua dan kepala suku, “Wahai orang tua, wahai kepala suku, urus itu anak buah kalian, jangan sampai ikut agama Muhammad.”

Mereka memberi tekanan kepada mereka supaya meninggalkan agama Muhammad.

Maka merekapun melakukan hal ini, sebagaimana yang dilakukan Sa’ad bin Abī Waqqāsh radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu.

Sa’ad bi Abī Waqqāsh berumur baru 20 tahun dan ibunya (musyrikah) terkena hasutan-hasutan ini. Maka ibunya memerintahkan Sa’ad bin Abī Waqqāsh untuk meninggalkan agama Islām, tetapi dia (Sa’ad bin Abī Waqqāsh) tidak mau. Dipaksa dan dirayu tetap tidak mau.

Kemudian ibunya memiliki ide yaitu mogok makan dan minum, (hal ini sudah ada zaman dahulu tetapi tidak boleh kita ikuti).

Akhirnya ibunya berhari-hari tidak mau makan dan minum sehingga lemas dan akan meninggal dunia. Akhirnya Sa’ad bin Abī Waqqāsh mendatangi ibunya, kerabatnya menyangka bahwa Sa’ad bin Abī Waqqāsh akan berubah karena kasihan dengan ibunya (tidak tega melihat ibunya akan meninggal).

Namun ternyata dia mendekati ibunya untuk berkata, “Wahai ibuku, demi Allāh, seandainya engkau punya 100 nyawa dan keluar satu-satu maka saya tidak akan meninggalkan Islām.”

Ternyata mendatangi ibunya bukan untuk keluar dari Islām tetapi justru malah mengingatkan ibunya, “Seandainya engkau ibu, memiliki nyawa 100 dan engkau mogok makan lalu meninggal (sampai 100 kali) saya tidak akan tinggalkan Islām.”

Ini perang mental, bayangkan semua keluarga menyerang Sa’ad bin Abī Waqqāsh. Tapi dia bertekad untuk tetap berada di atas agama Muhammad, karena dia masuk Islām bukan ikut-ikutan tetapi di atas ilmu dan mengerti tentang bersihnya tauhīd dan kotornya syirik.

Demikian juga dialami oleh Mush’ab bin ‘Umair radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu.

Disebutkan dalam buku sejarah, bahwa beliau adalah anak muda penduduk Mekkah yang paling nyaman hidupnya karena ibunya adalah seorang yang kaya raya. Ibunya sangat memanjakan Mush’ab. Bahkan disebutkan oleh ahli sejarah, bagaimana ibunya membelikan barang-barang mahal, semisal parfum dari negeri Syām (Suriah), baju dari Yaman, dan kekayaan lainnya.

Demikianlah kehidupan Mush’ab bin ‘Umair, seorang pemuda yang kaya raya, yang apabila dia menginginkan sesuatu, maka ibunya akan berusaha untuk memenuhinya.

Ibunya pun terkena hasutan, dia melarang Mush’ab untuk mengikuti agama Muhammad dan Mush’ab dipaksa murtad. Akan tetapi Mush’ab tetap dengan ‘aqidah dan pendiriannya. Akhirnya ibunya murka, Mush’ab pun diusir dan diberhentikan segala bentuk bantuan dari ibunya.

Suatu pengorbanan besar bagi Mush’ab bin ‘Umair. Usianya masih muda, dia terbiasa hidup enak lalu tiba-tiba diusir dan dihentikan semua kemewahan yang diberikan oleh ibunya.

Mulailah Mush’ab bin ‘Umair hidup dalam kesulitan. Kondisinya sangat menyedihkan. Dikisahkan kulitnya mulai kasar sampai-sampai terlepas seperti sisik ular, padahal sebelumnya begitu halus dan terawat. Kondisi Mush’ab ini menyebabkan para shahābat terenyuh dan menangis.

Namun Mush’ab tampak tidak merasa sedih dan kecewa, seakan-akan dia tidak peduli dengan kondisinya. Mush’ab hidup dalam Islām, dalam kesulitan dan meninggalpun dalam kesulitan.

Tatkala meninggal dalam perang Uhud dengan tubuh terpotong-potong, dan tidak ada kain kafan yang bisa untuk mengkafaninya, hanya tinggal sepotong baju yang menempel di tubuhnya. Apabila baju itu digunakan untuk menutupi kepalanya maka kakinya kelihatan, jika untuk menutupi kakinya maka kepalanya kelihatan.

Para shahābat sampai menangis melihat kondisi Mush’ab bin ‘Umair karena mereka tahu siapa Mush’ab bin ‘Umair dahulu sebelum masuk Islām dia adalah pemuda yang kaya, harum luar biasa, pakaiannya pun sangat indah dan meninggal dalam kondisi demikian.

Allāh menghendaki dia mendapati seluruh ganjaran di surga Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Akhirnya Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam memerintahkan agar meletakkan semacam tumbuhan untuk menutupi kakinya dan bajunya digunakan untuk menutup wajah beliau radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu.

Mush’ab bin ‘Umair ini, Subhānallāh, dialah yang pernah diutus oleh Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam untuk berdakwah di kota Madīnah.

Alangkah besar pahala beliau (Mush’ab bin ‘Umair), karena dengan sebab dakwah beliau, maka kaum Aus dan Khazraj banyak yang masuk Islām. Luar biasa Mush’ab bin ‘Umair.

Ini juga dialami oleh Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Bagaimana mereka ingin menjatuhkan mental Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Di antara cara kaum kāfir Quraisy menjatuhkan mental Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam adalah dengan mendatangi Abū Thālib (paman Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam) dan meminta Abū Thālib agar meninggalkan keponakannya.

Namun Abū Thālib begitu cinta kepada Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam, cinta thabi’i (tabiat) kepada keponakannya menyebabkan dia membela Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam habis-habisan.

Para ulamā seperti Imām Ibnu Katsīr rahimahullāh menyebutkan, bahwa diantara hikmah Allāh menetapkan Abū Thālib tetap kāfir hingga akhir hayatnya, adalah seandainya dia masuk Islām bersama Nabi, maka dia tidak akan dihormati lagi dan orang akan berani mengganggu Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Abū Thālib masih kāfir, sehingga dia masih dihormati oleh orang-orang musyrik Arab. Sehingga ketika dia membela keponakannya (Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam) kaum musyrikin tidak berani menampakkan terang-terangnya.

Mereka menunggu Abū Thālib meninggal dunia, kemudian mereka semakin berani mengganggu Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Cara lain untuk menjatuhkan mental Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam adalah mereka menyerang Nabi dari sisi keluarga.

Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam memiliki beberapa anak wanita, beliau menikah dengan Khadījah memiliki 6 orang anak.

⑴ Abdullāh
⑵ Qassim
⑶ Zainab
⑷ Ruqayyah
⑸ Ummu Kultsum
⑹ Fāthimah

Dua putera Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam yaitu ‘Abdullāh dan Qasim meninggal dunia sebelum Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam diangkat menjadi nabi.

Zainab menikah dengan Abul ‘Ash. Abul ‘Ash adalah keponakan Khadījah (sepupunya Zainab). Sebenarnya yang memiliki ide (gagasan) agar Zainab menikah dengan Abul ‘Ash adalah Khadījah, karenanya telah kita sebutkan dalam pertemuan sebelumnya. Tatkala malam pertama bertemu Abul ‘Ash, Zainab diberi hadiah sebuah kalung (kalung yang biasa dipakai Khadījah) untuk berhias dihadapan suaminya.

Adapun Ruqayyah dan Ummu Kultsum juga menikah dengan sepupu mereka, yaitu Utbah dan Uthaibah, keduanya putera Abū Lahab.

Lantaran jengkel kepada Muhammad, Abū Lahab berkata kepada anaknya, “Ceraikan istri-istri kalian.” Hal ini dilakukan agar membuat Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam sedih dan tidak sibuk berdakwah.

Abū Lahab berkata, “Silakan kalian pilih perempuan siapa saja untuk kalian nikahi.”

Namun Abul ‘Ash tidak mau menerima ajakan ini, padahal dia masih musyrik dan dia masuk Islām belakangan.

Berbeda dengan Uthbah dan Uthaibah, mereka menyetujui ajakan Abū Lahab ini. Hal in menyebabkan Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersedih.

Bagaimana tidak sedih melihat kondisi seorang ayah yang melihat putrinya diceraikan. Namun Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam tetap berdakwah dan tidak surut kebelakang.

Di antara cara mereka untuk menolak dakwah Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam adalah mereka menuntut agar Nabi menurunkan mu’zijāt, baru mereka mau berimān (ini juga merupakan gangguan mental).

Sebagaimana diabadikan dalam Al Qur’ān:

وَقَالُوا لَنْ نُؤْمِنَ لَكَ حَتَّى تَفْجُرَ لَنَا مِنَ الأرْضِ يَنْبُوعًا * أَوْ تَكُونَ لَكَ جَنَّةٌ مِنْ نَخِيلٍ وَعِنَبٍ فَتُفَجِّرَ الأنْهَارَ خِلالَهَا تَفْجِيرًا * أَوْ تُسْقِطَ السَّمَاءَ كَمَا زَعَمْتَ عَلَيْنَا كِسَفًا أَوْ تَأْتِيَ بِاللَّهِ وَالْمَلائِكَةِ قَبِيلا * أَوْ يَكُونَ لَكَ بَيْتٌ مِنْ زُخْرُفٍ أَوْ تَرْقَى فِي السَّمَاءِ وَلَنْ نُؤْمِنَ لِرُقِيِّكَ حَتَّى تُنزلَ عَلَيْنَا كِتَابًا نَقْرَؤُهُ قُلْ سُبْحَانَ رَبِّي هَلْ كُنْتُ إِلا بَشَرًا رَسُولا *

Dan mereka berkata: “Kami sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga kamu memancarkan mata air dari bumi untuk kami, atau kamu mempunyai sebuah kebun kurma dan anggur, lalu kamu alirkan sungai-sungai di celah kebun itu yang deras alirannya, atau kamu jatuhkan langit berkeping-keping atas kami, sebagaimana kamu katakan atau kamu datangkan Allāh dan malāikat-malāikat berhadapan muka dengan kami atau kamu mempunyai sebuah rumah dari emas atau kamu naik ke langit.

Dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kenaikanmu itu hingga kamu turunkan atas kami sebuah kitāb yang kami baca.”

Katakanlah, “Mahasuci Tuhanku, bukanlah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasūl?”

(QS Al Isrā: 90-93)

Demikianlah karakter orang-orang musyrikin zaman dahulu, semenjak zaman Nabi Shālih ‘alayhissallām. Kaumnya mengatakan, “Wahai Shālih, kalau kau memang seorang Rasūl keluarkan dari batu tersebut unta.”

Akan tetapi setelah keluar unta, mereka tetap saja tidak berimān.

Seandainya Allāh menjadikan Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bisa melakukan demikian maka mudah saja bagi Allāh, tetapi mereka tetap tidak akan berimān.

Kata Allāh Subhānahu wa Ta’āla :

وَلَوْ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَابًا مِنَ السَّمَاءِ فَظَلُّوا فِيهِ يَعْرُجُونَ * لَقَالُوا إِنَّمَا سُكِّرَتْ أَبْصَارُنَا بَلْ نَحْنُ قَوْمٌ مَسْحُورُونَ

Dan kalau Kami bukakan kepada mereka salah satu pintu langit, lalu mereka terus menerus naik ke atasnya. Tentulah mereka berkata, “Sesungguhnya pandangan kamilah yang dikaburkan, bahkan Kami adalah orang yang terkena sihir.”

(QS Al Hijr: 14-15)

Lihatlah pula Nabi Mūsā ‘alayhissalām, ketika mendatangkan mu’zijāt di hadapan Fir’aun maka Fir’aun mengatakan, “Inilah penyihir yang pandai.”

Sehingga seluruh mu’zijāt dikatakan sihir, lalu bagaimana cara mereka berimān?

Intinya mereka sekedar ingin berjidal, padahal orang-orang musyrikin Quraisy telah Allāh tantang dan mu’zijāt Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam itu sebenarnya banyak dan mu’zijāt Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam terbesar adalah Al Qurān.

Al Qur’ān adalah mu’zijāt yang paling mengena mereka, namun mereka tahu bahwa Al Qur’ān adalah benar-benar mu’zijāt sehingga orang-orang musyrikin Quraisy menantang mu’zijāt lain.

Bukankah Allāh telah menantang, “Bila kalian benar-benar mampu maka datangkanlah semisal dengan Al Qur’ān, atau semisal surat dalam Al Qur’ān atau sepuluh surat dalam Al Qur’ān kalau kalian meragukan mu’zijāt dalam Al Qur’ān yang diturunkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla kepada Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.”

Inilah di antara metode-metode yang dilakukan orang-orang musyrikin Quraisy untuk menghalangi dakwah Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

Demikian saja.

سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك
وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته

🖋Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
________

image_pdfimage_print

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top