🌍 BimbinganIslam.com
👤 Riki Kaptamto, Lc
📗 Kitab Bahjatu Qulūbul Abrār Wa Quratu ‘Uyūni Akhyār fī Syarhi Jawāmi’ al Akhbār
(Mutiara Hikmah Penyejuk Hati, Syarah 99 Hadits Pilihan)
📝 Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa’dī
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين، اما بعد
Kaum muslimin dan muslimat rahīmani wa rahīmakumullāh.
Ini adalah halaqah kita yang ke-26 dalam mengkaji kitāb: بهجة قلوب الأبرار وقرة عيون الأخيار في شرح جوامع الأخبار (Bahjatu Qulūbil abrār wa Quratu ‘uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi’ al Akhyār) yang ditulis oleh Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa’dī rahimahullāh.
Kita sudah sampai pada hadīts ke-25 yaitu hadīts yang diriwayatkan dari Mālik bin Al Huwayrits radhiyallāhu ta’āla ‘anhu.
Beliau mengatakan, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي، فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ، فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ،وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ
“Shalātlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalāt, dan apabila telah datang waktu shalāt maka salah satu dari kalian mengumandangkan adzan untuk kalian, dan hendaklah yang mengimami kalian adalah orang yang paling tua usianya di antara kalian.” (Hadīts shahīh riwayat Bukhāri dan Muslim)
Di dalam hadīts ini terdapat tiga pembahasan penting yang berkaitan dengan shalāt.
⑴ Pembahasan pertama terdapat dalam sabda Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam:
إِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ، فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ
“Apabila telah datang waktu shalāt, maka salah satu dari kalian mengumandangkan adzan untuk kalian.”
Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa’dī rahimahullāh menjelaskan bahwa dalam lafazh ini (konteks hadīts ini) menunjukkan tentang disyari’atkannya adzan dan menunjukkan wajibnya melakukan adzan, apabila telah datang waktu shalāt.
Dan hadīts ini juga menunjukkan bahwa adzan itu boleh dilakukan apabila telah datang waktu shalāt (setiap shalāt lima waktu).
Adzan dilakukan bila sudah datang waktu shalāt kecuali pada shalāt fajar (shubuh) karena pada shalāt shubuh dilakukan dua adzan.
√ Adzan pertama dilakukan sebelum masuknya waktu shalāt shubuh.
Sebagaimana Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
إِنَّ بِلاَلاً يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ
“Sesungguhnya Bilāl beradzan diwaktu malam, maka silahkan kalian makan dan minum, sampai ibnu ummi Maktūm mengumandangkan adzan.” (Hadīts shahīh riwayat Muslim nomor 1092)
Di sini menunjukkan bahwasanya adzan ketika itu dilakukan oleh Bilāl pertama kali sebelum masuk waktu shalāt, yang tujuannya untuk membangunkan kaum muslimin agar mereka bersiap-siap untuk shalāt dan juga untuk bersahūr bagi yang ingin melakukan puasa.
Hadīts ini menunjukkan diwaktu shalāt shubuh boleh mengumandangkan adzan dua kali, (yaitu) yang pertama sebelum masuknya waktu shalāt, kemudian yang kedua setelah datang waktu shalāt shubuh.
Adapun di waktu shalāt lain, selain shalāt shubuh, maka adzan dilakukan jika telah datang waktu shalāt.
Kemudian dari lafazh hadīts ini, perintah untuk melakukan adzan bersifat fardhu kifayyah.
• Fardhu Kifayyah adalah:
“Suatu amalan yang apabila telah dilakukan oleh salah satu dari kalangan kaum muslimin di tempat tersebut maka sudah tidak wajib lagi bagi yang lainnya.”
• Fardhu ‘Ain adalah:
“Suatu amalan yang harus dilakukan oleh seluruh kaum muslimin tidak terkecuali apabila telah mencapai status sebagai seorang mukallaf.”
Kemudian beliau (rahimahullāh) menjelaskan juga di antara kriteria yang sebaiknya terpenuhi oleh seorang muadzin adalah orang yang memiliki suara lantang dan dia dipercaya sebagai orang yang tahu datangnya waktu shalāt.
Karena tujuan dari adzan adalah memberitahukan kepada kaum muslimin bahwa waktu shalāt telah datang, maka sangat dianjurkan orang yang mengumandangkan adzan adalah seorang yang memiliki suara yang lantang supaya suaranya bisa didengar oleh kaum muslimin.
Selain itu orang yang mengumandangkan adzan harus orang yang tahu tentang datangnya waktu shalāt.
Konteks hadīts ini menunjukkan bahwasanya adzan ini dilakukan baik ketika tidak dalam keadaan safar maupun saat sedang safar.
Maka apabila sedang safar dan tidak ada yang adzan maka sebaiknya salah seorang dari mereka beradzan dan kalau mereka tidak mendengar adzan sama sekali maka salah seorang dari mereka harus melakukan adzan untuk memberitahukan kepada yang lain bahwa telah datang waktu shalāt.
Dan tentang keutamaan adzan tersebut telah datang banyak hadīts yang menjelaskan tentang keutamaan dan pahala orang yang melakukan adzan.
Serta beliau sebutkan bagi orang yang mendengar adzan dianjurkan untuk mengikuti apa yang diucapkan oleh muadzin ketika muadzin adzan (mengikuti lafadz adzan tersebut), kecuali pada lafazh ‘Hayya ‘alash shalāh” dan “Hayya ‘alal falāh”.
Karena pada kedua lafazh ini ketika muadzin mengucapkannya, maka orang yang mendengar mengucapkan:
لا حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ
“Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allāh.” (Hadīts riwayat Bukhāri 1/152 dan Muslim 1/288)
Dan setelah selesai adzan maka dianjurkan untuk bershalawat kepada Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam seraya mengucapkan:
اَللَّهُمَّ رَبَّ هَـٰذِهِ الدَّعْوَةِ التَّامَّةِ، وَالصَّلاَةِ الْقَائِمَةِ، آتِ مُحَمَّدًا الْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ، وَابْعَثْهُ مَقَامًا مَحْمُوْدًا الَّذِيْ وَعَدْتَهُ
“Ya Allāh, Tuhan Pemilik panggilan yang sempurna (adzan) ini dan shalāt (wajib) yang didirikan. Berilah Al Wasīlah (derajat di Surga, yang tidak akan diberikan selain kepada Nabi) dan fadhilah kepada Muhammad. Dan bangkitkan Beliau sehingga bisa menempati maqam terpuji yang telah Engkau janjikan.” (Hadīts riwayat Bukhāri 1/152)
Kemudian setelah itu dia boleh berdo’a dengan apa yang dia inginkan, karena waktu tersebut adalah di antara waktu-waktu dikabulkannya do’a.
⑵ Pembahasan berikutnya adalah:
وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ
“Dan hendaklah yang mengimami kalian adalah orang yang paling tua usianya diantara kali.”
Di dalam lafazh ini, Syaikh Abdurrahmān bin Nāshir As Sa’dī rahimahullāh menjelaskan bahwa ini menunjukkan wajibnya melakukan shalāt secara berjamā’ah karena Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam memerintahkan:
وَلْيَؤُمَّكُمْ
“Hendaknya mengimami kalian.”
Ini artinya dilakukan dengan cara berjamā’ah. Dan beliau sebutkan di sini bahwa konteks ini sebagai dalīl diwajibkannya melakukan shalāt secara berjamā’ah.
Shalāt berjamā’ah minimal dilakukan oleh dua orang, yang satu menjadi iman dan yang lain menjadi makmum.
Adapun orang yang paling berhak atau paling utama menjadi imam adalah sebagaimana disebutkan di dalam hadīts berikut ini. Dimana Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
يؤم القوم أقرؤهم لكتاب الله، فإن كانوا في القراءة سواء، فأعلمهم بالسنة، فإن كانوا في السنة سواء فأقدمهم هجرة أو إسلاما
“Hendaknya yang mengimami suatu kaum adalah orang yang paling pandai membaca kitābullāh, kalau seandainya mereka sama dalam hal bacaan, maka hendaknya yang paling berilmu tentang sunnah, kalau seandainya mereka sama dalam keilmuannya tentang sunnah, maka hendaknya orang yang paling dahulu hijrah ke dalam Islām.”
Adapun apabila sama dalam semua ini barulah kemudian apa yang disebutkan dalam hadīts yang kita bahas ini (yaitu) orang yang paling tua usianya.
Karena syari’at menganjurkan untuk memprioritaskan orang yang lebih tua usianya di dalam suatu yang diperintahkan selama orang yang lebih muda tidak memiliki kelebihan daripada orang yang lebih tua.
Kemudian disebutkan apabila shalāt dilakukan secara berjamā’ah, hendaknya makmum mengetahui bahwasanya imam itu harus di ikuti, sehingga apabila imam melakukan gerakan dalam shalāt maka makmum harus mengikuti imam itu.
Dan tidak boleh seorang makmum mendahului imam, karena mendahului imam hukumnya adalah haram bahkan beliau sebutkan itu membatalkan shalāt.
Karena Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan, “imam itu untuk diikuti oleh para makmum”, sehingga makmum tidak boleh mendahului imam di dalam gerakan-gerakan shalāt.
Kemudian beliau sebutkan juga posisi makmum, apabila makmum tersebut dua orang laki-laki, maka posisi yang paling utama keduanya berada dibelakang imam (membuat shaf dibelakang imam).
Namun tidak mengapa jika keduanya berdiri disamping imam) sebelah kanan atau sebelah kanan dan sebelah kirinya imam. Namun yang lebih utama keduanya berdiri dibelakang imam.
Adapun jika makmum tersebut hanya satu orang maka dia berdiri disebelah kanannya imam dan apabila makmum tersebut satu orang wanita, maka makmum wanita tadi berdiri sendiri dibelakang imam.
Kemudian beliau sebutkan seorang imam hendaknya dia membaca bacaan secara jahr pada kondisi-kondisi dimana di situ diperintahkan untuk membaca secara jahr (keras).
Begitu juga ketika bertakbir, berpindah dari gerakan-gerakan shalāt hendaknya dia mengeraskan bacaan takbirnya karena tujuannya agar imam tersebut bisa diikuti oleh makmum, sehingga imam diperintahkan untuk membaca takbir dengan keras.
⑶ Pembahasan berikutnya adalah tentang sabda Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam:
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
“Shalātlah sebagaimana kalian melihat aku shalāt.”
In syā Allāh pembahasan ini akan kita lanjutkan pada halaqah mendatang.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته