🌍 BimbinganIslam.com
👤 Ustadz Fauzan ST, MA
📗 Matan Abu Syuja
📝 Ahmad bin Al-Husain bin Ahmad Al-Asfahāniy (Imam Abū Syujā’)
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد
Para shahābat Bimbingan Islām dan kaum muslimin yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Alhamdulilāh kita masih bisa melanjutkan pelajaran kita dalam kitāb puasa dan kita masuk pada pembahasan orang-orang yang hamil dan menyusui.
Para ulamā tidak ada khilāf di antara mereka, bahwa orang-orang hamil dan menyusui yang mereka mengkhawatirkan atas dirinya atau atas janinnya, maka mereka diperbolehkan untuk berbuka puasa.
Berdasarkan hadīts hasan yang diriwayatkan oleh Imām Ahmad bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنْ الْمُسَافِرِ شَطْرَ الصَّلاةِ وَعَن الْمُسَافِرِالْحَامِلِوَالْمُرْضِع الصِّيَامَ
“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla telah membebaskan setengah kewajiban shalat bagi musafir, dan kewajiban puasa bagi musafir, ibu hamil dan wanita yang menyusui.”
==> Bahwasanya, Allāh ‘Azza wa Jalla memberikan keringan (rukhshah) dengan menghapus (menghilangkan) sebagian dari shalāt dari empat raka’at menjadi dua raka’at bagi musāfir. Dan bagi musafir, orang hamil dan orang yang menyusui diringankan (yaitu) bolehnya berbuka puasa.”
Begitu pula dalam hadīts yang lain, hadīts riwayat Abū Dāwūd dari Ibnu ‘Abbās bahwasanya beliau berkata tentang firman Allāh Subhānahu wa Ta’āla yang menjadikan rukhshah yaitu:
وَعَلَى ٱلَّذِينَ يُطِيقُونَهُۥ فِدْيَةٌۭ طَعَامُ مِسْكِينٍۢ
“Dan wajib bagi orang-orang yang tidak mampu untuk melaksanakan ibadah puasa maka dia membayar fidyah, (yaitu) memberi makan orang-orang miskin.”
(QS Al Baqarah: 184)
Maka beliau (Ibnu ‘Abbās) mengatakan:
كَانَتْ رُخْصَةً لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ وَالْمَرْأَةِ الْكَبِيرَةِ وَهُمَا يُطِيقَانِ الصِّيَامَ أَنْ يُفْطِرَا وَيُطْعِمَا مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا وَالْحُبْلَى وَالْمُرْضِعُ إِذَا خَافَتَا – قَالَ أَبُو دَاوُدَ يَعْنِي عَلَى أَوْلاَدِهِمَا – أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا
“Dan ayat ini rukhshah (keringan) bagi orang yang tua renta, wanita yang tua renta (nenek), mereka tidak mampu untuk melakukan puasa maka diperbolehkan untuk berbuka puasa, kemudian membayar fidyah dengan memberikan makan kepada orang miskin setiap harinya, kemudian orang yang hamil dan menyusui apabila mereka khawatir (ditafsirkan oleh Abū Dāwūd, maksudnya mengkhawatirkan atas anak-anak mereka), maka mereka berbuka puasa dan juga mereka makan.”
(Hadīts riwayat Abū Dāwūd nomor 2318)
⇒ Ini menunjukkan bahwasanya mereka adalah kelompok yang diberikan rukhshah untuk berbuka puasa pada saat bulan Ramadhān.
Dan di sini para ulamā berselisih pendapat tentang apa yang wajib bagi mereka.
√ Apakah qadha saja,
√ Apakah fidyah saja, atau
√ Apakah qadha dan fidyah atau
√ Tidak ada qadha dan fidyah.
Maka di sana ada 5 (lima) pendapat.
Kita fokuskan kepada pendapat madzhab syāfi’i sebagimana ditulis oleh mualif rahimahullāh.
((والحامل والمرضع إن خافتا على أنفسهما: أفطرتا وعليهما القضاء))
((Dan seorang yang hamil dan menyusui apabila mengkhawatirkan atas dirinya sendiri maka berbuka dan wajib bagi mereka untuk mengqadha [menggantikan pada hari-hari yang lain].))
((وإن خافتا على أولادهما: أفطرتا وعليهما القضاء والكفارة عن كل يوم مد وهو رطل وثلث بالعراقي))
((Pada kondisi yang kedua apabila mereka mengkhawatirkan pada anak-anak mereka (janin) maka keduanya berbuka, maka pada saat ini mereka wajib untuk mengqadha dan membayar kafarah atau fidyah. Yaitu, dengan memberikan makan setiap hari orang miskin sebanyak puasa yang ditinggalkannya sebanyak satu mud [1/3 ritel irāqī].)’
⇒ Ini adalah takaran volume kira-kira 600 gram dari makanan pokok yang berlaku pada negara tersebut.
Kemudian berkata penulis rahimahullāh:
((والمريض والمسافر سفرا طويلا يفطران ويقضيان))
((Dan orang yang sakit dan orang yang musāfir atau bepergian dengan jarak yang jauh [jarak qashar, jarak bolehnya seorang mengqashar] maka pada saat itu diperbolehkan untuk berbuka puasa dan wajib untuk mengqadha.))
Berdasarkan firman Allāh Subhānahu wa Ta’āla :
شَهْرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِىٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلْقُرْءَانُ هُدًۭى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَـٰتٍۢ مِّنَ ٱلْهُدَىٰ وَٱلْفُرْقَانِ ۚ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍۢ فَعِدَّةٌۭ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhān, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’ān sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu.”
(QS Al Baqarah: 185)
Para shahābat sekalian, bahwasanya orang yang sakit ada 3 (tiga) keadaan, yaitu:
⑴ Sakitnya itu sakit yang ringan atau sakit yang tidak ada kaitannya dengan puasa (tidak berpengaruh pada puasanya).
⇒ Puasanya tidak berpengaruh pada sakitnya, maka pada perkara ini, dia tidak boleh untuk berbuka.
⑵ Apabila dia berpuasa maka akan bertambah sakitnya atau semakin lama sembuhnya.
⇒ Maka kondisi ini diperbolehkan untuk berbuka puasa.
⑶ Apabila dia berpuasa maka akan menyebabkan kematian bagi dia atau dia sangat berat dengan puasa tersebut, karena kondisi sakit yang dia derita.
Apabila dia berpuasa maka sakitnya akan bertambah parah, maka orang seperti ini wajib untuk berbuka puasa.
Berdasarkan firman Allāh Subhānahu wa Ta’āla :
وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُم
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu.”
(QS An Nissā’: 29)
Adapun safar, maka safar yang dianggap dalam madzhab syāfi’i, adalah safar yang dia mencapai derajat qashar (jarak diperbolehkannya qashar, sekitar 85-90 Km).
Dan orang yang safar dengan safar ini (safar thawilan) maka diperbolehkan untuk berbuka puasa dan diwajibkan untuk mengqadha pada hari-hari yang lain.
Semoga pelajaran ini bermanfaat, in syā Allāh akan kita lanjutkan pada pelajaran berikutnya.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
واخردعوانا أن الحمد لله رب العالمين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
______________