🌍 BimbinganIslam.com
👤 Ustadz Ratno, Lc
📗 Kitab Syamail Muhammadiyah (Sifat dan Akhlak yang dimiliki Nabi Muhammad ﷺ)
📝 Imām Abū Īsā At Tirmidzī
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ الْخَلْقَ وَالْأَخْلَاقَ وَالْأَرْزَاقَ وَالْأَفْعَالَ، وَلَهُ الشُّكْرُ عَلَى إِسْبَاغِ نِعَمِهِ الظَّاهِرَةِ وَالْبَاطِنَةِ بِالْإِفْضَالِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى نَبِيِّهِ وَرَسُولِهِ الْمُخْتَصِّ بِحُسْنِ الشَّمَائِلِ، وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الْمَوْصُوفِينَ بِالْفَوَاضِلِ وَالْفَضَائِلِ، وَعَلَى أَتْبَاعِهِ الْعُلَمَاءِ الْعَامِلِينَ بِمَا ثَبَتَ عَنْهُ بِالدَّلَائِلِ. أما بعد
Sahabat BiAS yang semoga selalu dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Alhamdulilāh, Allāh masih memberikan kesempatan kepada kita untuk mempelajari Kitāb Asy Syamāil Al Muhammadiyyah, karya Imām Abū Īsā At Tirmidzī rahimahullāhu ta’āla.
Pada pertemuan kali ini (pertemuan ke-24) In syā Allāh, kita akan membahas tentang hadīts-hadīts yang berkaitan dengan menyisir dan merapihkan rambut.
Al Imām At Tirmidzī rahimahullāh memberikan judul pada bab ini dengan “Bābu mā jā’a fī tarajjuli Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam (Bab yang menyebutkan tentang hadīts-hadīts yang berkaitan tarajjul-nya Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam).
Apa maksud: ترجّل (tarajjul)?
⑴ Pendapat Ibnu Hajar Al Asqalani
Dalam Fathu Barī’ Syarah Shahīh Al Bukhāri, Ibnu Hajar Al Asqalani menukilkan dari Ibnu Bathal bahwa tarajjul adalah:
“Menyisir rambut kepala dan jenggot dengan meminyakinya sekaligus.”
⑵ Pendapat Syaikh ‘Utsaimin
Dalam syarah beliau terhadap Shahih Muslim pada kaset nomor 974 A menit ke-21, detik ke-40, mendefinisikan tarajjul dengan mengatakan:
“Kata tarajjul artinya meminyaki rambut kemudian menyisir dan memperbaikinya.”
⇒ Inilah arti tarajjul yaitu menata rambut, menyisir dan meminyakinya.
⑶ Pendapat Syaik Abdurrazaq
Syaikh Abdurrazaq ketika mendefinisikannya mengatakan:
“Tarajjul adalah menyisir rambut, membersihkan dan memberikan perhatian khusus padanya (mungkin zaman sekarang dinamakan perawatan rambut, Wallāhu A’lam).”
Bab ini menunjukkan bahwa Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam memberikan perhatian kepada rambut Beliau, tidak membiarkannya berantakan. Bahkan Beliau bersabda:
“Siapa yang memiliki rambut hendaknya memuliakannya.” (Hadīts shahīh riwayat Abū Dāwūd nomor 3632, Syaikh Albāniy rahimahullāh mengatakan hasan shahīh)
Akan tetapi perlu dicatat bahwa sering-sering menyisir rambut juga dilarang.
Hadīts-hadīts selanjutnya adalah sebagai berikut.
Al Imām At Tirmidzī berkata dalam hadīts nomor 32:
Āisyah radhiyallāhu ta’āla ‘anhā berkata:
“Aku pernah menyisir atau menata rambut Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam ketika aku hāidh.” (Hadīts shahīh diriwayatkan juga oleh Imām Bukhāri nomor 295 dan 5925 dan Imām Muslim nomor 297 dengan banyak riwayat yang semakna dengan hadīts di atas)
Dan salah satu riwayatnya dengan lafazh:
“Aku pernah mencuci rambut Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam saat aku hāidh.”
Hadīts ini menunjukkan bahwa Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam memberikan perhatian kepada kebersihan rambut dan kepalanya dengan dicuci atau diminyaki sehingga tidak menyebabkan bau yang tidak sedap atau banyak kutu.
Dan pada hadīts ini ditunjukkan bahwa Āisyah radhiyallāhu ta’āla ‘anhā mencuci rambut Beliau (shallallāhu ‘alayhi wa sallam) walau beliau sedang hāidh.
Hadīts ini juga menunjukkan bahwa wanita yang sedang hāidh tidak najis, baik badan maupun keringatnya (tetap suci) bahkan wanita yang sedang hāidh boleh melakukan segala hal bersama suaminya kecuali hubungan suami istri saja.
Dan ini merupakan perbedaan antara Islām dan ahli kitāb. Dahulu pada zaman Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, orang-orang ahli kitāb, mereka tidak mau makan bersama istri mereka saat istri mereka hāidh, bahkan mereka mengisolasi istri-istri mereka saat hāidh dan tidak tinggal serumah dengan mereka.
Ketika mengetahui hal tersebut para shahābat bertanya kepada Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam hingga Allāh pun menurunkan ayatnya:
_Mereka bertanya kepadamu tentang hāidh Katakanlah: “Hāidh itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu hāidh.” (QS Al Baqarah: 222)
Dan Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam pun bersabda, ketika itu:
“Lakukan hal apapun yang kalian suka dengan istri kalian saat hāidh kecuali hubungan suami istri.” (Hadīts shahīh riwayat Imām Muslim nomor 302)
Ini adalah faedah yang kedua bahwa wanita hāidh tidaklah najis, dan masih boleh melakukan hal apapun bersama suaminya kecuali hubungan suami istri.
Sahabat BiAS, hanya ini yang bisa disampaikan.
Wallāhu Ta’āla A’lam Bishawāb.