Home > Bimbingan Islam > Bekal Bulan Ramadhan > Halaqah 12 : Adab Yang Wajib Ketika Berpuasa

Halaqah 12 : Adab Yang Wajib Ketika Berpuasa

🎙 Ustadz Rosyid Abu Rosyidah, M.Ag حفظه لله تعالى
📗 Kitāb Majalis Syahri Ramadhān (مجالس شهر رمضان)
📝 Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin حفظه لله تعالى
〰〰〰〰〰〰〰

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركات
الحمدلله, الحمد الله و صلاة و سلام على رسول الله و على آله وصحبه ومن والاه أما بعد

Ikhwatal Iman Ahabbakumullāh.

Saudara-saudaraku sekalian yang mencintai Sunnah dan dicintai oleh Allāh Azza wa Jalla.

Berbicara tentang puasa maka pembahasan kita tidak hanya seputar hukum, hikmah, syarat dan juga pembatal-pembatal puasa saja. Tapi kita pun berbicara tentang adab-adab puasa.

Puasa memiliki beberapa adab, yang mana pahala puasa tidak akan sempurna kecuali dengan menyempurnakan adab-adabnya. Di sini para ulama telah membagi adab puasa menjadi dua.

Di sana ada adab yang wajib, berarti harus dan tidak bisa ditinggalkan. Sifatnya beriringan dengan puasa itu sendiri. Sebagaimana puasa itu wajib maka adab yang menyertainya pun menjadi wajib. Begitu pula di sana ada adab yang sifatnya sunnah atau anjuran.

Dan in syā Allāh yang akan menjadi bahasan kita pada pertemuan kali ini adalah adab yang sifatnya wajib. Adab yang harus dan tidak boleh ditinggalkan.

Poin pertama yang disampaikan oleh Syaikh Utsaimin rahimahullāhu bahwa segala macam ibadah, baik ucapan maupun perbuatan, yang dihukumi wajib (tetap) walaupun seseorang sedang berpuasa.

Seperti shalat. Kita tahu bersama bahwasanya shalat adalah sesuatu yang agung, sesuatu yang mulia, sesuatu yang menjadi prioritas kelak di hari penghisaban Allāh Azza wa Jalla. Tidak mungkin, ketika kita mengamalkan puasa lalu kita justru mengabaikan sesuatu yang penting seperti shalat.

Maka shalat hukumnya wajib. Dan sebagaimana kita ketahui bersama, di antara pendapat yang rajih (tepat) di kalangan para ulama bahwasanya shalat disini adalah shalat berjama’ah.

Shalat berjama’ah harus didirikan. Shalat berjama’ah harus ditunaikan, sebagaimana kita tahu bersama dalam hadīts Abu Hurairah radhiyallāhu ‘anhu, ketika ada seorang Sahabat yang buta meminta udzur kepada Beliau agar tidak diwajibkan untuk mendatangi shalat berjama’ah.

Maka Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam memberi udzur kepadanya, namun tatkala dia berbalik dan terdengar adzan maka Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam pun bertanya:

هل تسمع النداء

_”Apakah engkau mendengar panggilan (seruan shalat)?”_

Dia menjawab, “Iya.”

Maka Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam berkata:

فأجب

_”Maka penuhilah (datanglah untuk shalat berjama’ah).”_

Maka, bagi seseorang yang menjalankan ibadah Ramadhān (puasa), hendaknya ia tetap menjalankan ibadah shalatnya, yakni shalat berjama’ah bagi seorang laki-laki.

Lalu bagaimana ketika dalam kondisi-kondisi sulit seperti wabah yang melanda dan lain sebagainya?

Dalam kondisi seperti ini, bukan shalatnya yang digugurkan. Sebagaimana shalat dalam keadaan perang, tidak digugurkan dan tetap ditekankan. Pendirian dan penegakan shalatnya tetap tidak berubah, hanya tata caranya (yang disesuaikan).

Dalam kondisi-kondisi sulit diupayakan tetap berjama’ah walaupun tidak di masjid. Inilah yang dijadikan dalīl ketika Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan:

صلاةُ الجماعةِ تَفضُلُ صلاةَ الفَذِّ بسبعٍ وعشرين دَرَجَةً

_”Shalat jama’ah ketika dibandingkan dengan shalat sendirian maka berbanding 27 derajat.”_

(Hadīts shahīh riwayat Al Bukhāri dan Muslim).

Ikhwatal Iman Ahabbakumullāh.

Satu catatan yang tidak boleh dilupakan bagi orang yang berpuasa adalah tetap harus menegakkan shalat. Jangan sampai shalat Subuh dan shalat Isyanya dilupakan atau diremehkan. Hal ini sebagaimana ancaman dan juga kabar yang tentu saja menjadi cambuk bagi kita semua ketika Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengabarkan bahwa shalat Subuh dan shalat Isya’ merupakan shalat yang paling berat bagi orang-orang munafik.

Ketika puasa, subuh biasanya dikalahkan oleh rasa kantuk, Isya’ biasanya dikalahkan oleh rasa kenyang. Maka kita sebagai seorang muslim hendaklah memperhatikan kedua shalat ini dan menjadikan keduanya sebagai prioritas kita agar kita tidak tergolong sebagai orang-orang munafik.

Adab kedua yang termasuk di antara adab-adab yang wajib adalah meninggalkan dusta.

Jangan sampai ketika kita berpuasa, benar kita tidak menelan sesuatu, kita tidak melakukan hubungan badan, tetapi keluar dari lisan kita adalah perkataan-perkataan dusta.

Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam berkata:

وإِيَّاكُمْ والْكَذِبَ

_”Jauhilah kalian perkara-perkara dusta.”_

فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ، وإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ

_”Karena perkataan dusta membawa kepada kemaksiatan, dan kemasiatan kelak akan mengantarkan pelakunya pada Neraka.”_

Na’udzubillahi min dzalik.

Ketika seseorang masih saja melakukan perbuatan dusta, bahkan dia terus dan tidak bisa meninggalkannya, maka dicatat dalam hadīts:

حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا

_Sampai Allāh tetapkan ia sebagai seorang pendusta._

Adab berikutnya yang perlu ditekankan lagi dan ini hukumnya wajib selain menjaga diri dari sifat dusta, dia pun juga menjauhkan dirinya, lisannya, dari ghibah.

Apa itu ghibah?

Yaitu membicarakan orang lain tentang hal yang tidak diinginkan (disukai) oleh saudara kita tersebut. Ghibah adalah sesuatu yang sangat berat syariat Islam memandangnya.

Ada sebuah kisah dalam sebuah hadīts yang menarik, malaikat Jibril alayhissallām berkata kepada Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam ketika Isra dan Mi’raj. Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam melihat seseorang yang mencakar wajahnya. Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam bertanya kepada malaikat Jibril, “Siapakah mereka?”

Jibril mengatakan:

هَؤُلاَءِ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ لُحُومَ النَّاسِ ‏

_”Mereka itu adalah orang-orang yang memakan daging manusia.”_

وَيَقَعُونَ فِي أَعْرَاضِهِمْ

_”Dan mencelakakan harga diri mereka.”_

(Hadīts shahīh riwayat Abu Dawud nomor 4878).

Ikhwatal Iman Ahabakumullāh.

Dan poin berikutnya yang tidak boleh dilupakan adalah bagaimana orang yang berpuasa, dia tetap menjaga agar semua anggota tubuhnya, baik itu pendengarannya, penglihatannya, tetap berada di jalan yang telah Allāh tetapkan kehalalannya.

Jangan sampai ia puasa namun telinganya mendengar atau menikmati ghibah dari tetangganya. Jangan sampai ketika ia berpuasa matanya justru menikmati hal-hal yang haram.

Na’ūdzu billāhi, wal’iyādzubillāh.

Ini mungkin yang bisa kita sampaikan pada kesempatan kali ini.

آخر الكلم و آخر دعوانا ان الحمدلله رب الـعـالـمـيـن ثم السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

____________________

image_pdfimage_print

1 thought on “Halaqah 12 : Adab Yang Wajib Ketika Berpuasa”

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top