🎙 Ustadz Muhammad Ihsan, M.HI حفظه لله تعالى
📗 Kitāb Qawā’du Fīl Buyū’ (قواعد في البيوع)
📝 Fadhillatus Syaikh Sulaiman bin Salim Ar-Ruhaili حفظه لله تعالى
〰〰〰〰〰〰〰
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله رب العالمين وبه نستعين على امور الدنيا والدين
أشهد أنْ لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن سيدنا و نبينا محمدًا عبده ورسوله اللهم صل وسلم وبارك وانعم على عبدك ورسولك محمد وعلى اله وصحبه وسلم أما بعد
Ikhawaniy wa Akhawatiy Rahimakumullāh wa A’ādzakumullāh.
Kita lanjutkan pembahasan kita di halaqah ke-8 ini, yang mana kita akan membahas (in syā Allāh) tentang Kaidah-Kaidah Riba. Sebelumnya kita telah jelaskan bahwasanya riba
terbagi menjadi tiga ketika ditinjau dari sisi transaksinya.
⑴ Riba Ba’i (riba terdapat pada jual beli).
⑵ Riba Dayn (riba pada utang piutang atau pinjaman).
⑶ Riba Syafa’at (riba yang disebabkan syafa’at yang diberikan seseorang).
*▪︎ Kaidah-Kaidah Riba*
Tentu di sini kita tidak memasukkan semua kaidah namun ini sebagai dasar. Kalau Antum ingin mempelajari lebih dalam, maka ikutilah kajian-kajian asatidzah-asatidzah kita, seperti kajian Ustad Ruwandi hafizhahullāh. Begitu pula dengan kajian Ustad Arifin Badri hafizhahullāh dan Ustad Ami hafizhahullāh.
Kaidah yang ingin kita bahas di sini adalah:
• Kaidah Pertama | Riba Diharamkan Baik Kadarnya Sedikit atau pun Banyak.
Riba itu hukumnya haram baik kadarnya sedikit maupun banyak.
Jadi tidak ada istilah, kalau ribanya cuma 200 perak itu boleh atau kalau ribanya cuma 1000 boleh, tidak! Riba walaupun sedikit haram apalagi banyak.
Mana dalīlnya?
Pertama Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:
ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ ٱلرِّبَوٰاْ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِي يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيۡطَٰنُ مِنَ ٱلۡمَسِّۚ
_”Orang-orang yang memakan riba ketika dibangkitkan pada hari kiamat seperti orang yang sedang kesurupan.”_
(QS. Al Baqarah: 275)
Sebagian tafsir mengatakan bahwa dia dibangkitkan dalam keadaan gila, sehingga orang-orang yang berada di padang Mahsyar mengetahui bahwa dosa orang tersebut adalah karena riba.
Kenapa?
Karena terlihat sempoyongan seperti orang gila.
Allāh Subhānahu wa Ta’āla mengatakan:
ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ ٱلرِّبَوٰاْ
_”Orang-orang yang memakan riba.”_
Dalam ayat ini masuk semuanya, orang yang memberikan riba, orang yang menerima riba, orang yang menulis riba, orang yang menjadi saksi atas transaksi riba tersebut.
Orang-orang yang melakukan transaksi riba, dibangkitkan pada hari kiamat nanti dalam keadaan sempoyongan seperti orang yang kesurupan atau seperti orang gila.
Allāh Subhānahu wa Ta’āla, di sini menyebutkan ar riba (ٱلرِّبَ), riba secara umum, masuk semuanya dalam ayat ini. Baik riba ba’i, riba dayn (riba jual beli dan riba pinjaman).
Begitu pula dengan jumlahnya, baik itu 200 perak, 500 perak, 1000, 2000, 1 Juta, 1 Milyar (masuk dalam ayat ini).
Tidak ada pengecualian (misalnya), “Oh riba kalau sedikit maka diperbolehkan.” Semua riba diharamkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Begitu pula perkataan shahabat Jābir radhiyallāhu ‘anhu, beliau berkata:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ .
_”Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam melaknat orang yang memakan harta riba (orang yang menerima riba), pemberi harta riba, yang memberi makan riba (مُؤْكِلَهُ) yang menulis transaksi riba (كَاتِبَهُ) dan dua orang saksi atas transaksi tersebut (شَاهِدَيْهِ).”_
Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan:
وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ
_”Mereka sama (sama-sama mendapat laknat).”_
(Hadīts shahīh riwayat Muslim nomor 1598)
Laknat itu apa?
Laknat artinya dijauhkan dari rahmat Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Orang yang dijauhkan dari rahmat Allāh Subhānahu wa Ta’āla maka dia akan binasa.
Ini salah satu dalīl bahwasanya riba adalah dosa besar.
Dalam hadīts itu Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan: الرِّبَا, secara umum. Tidak mengatakan, “Riba kalau banyak.” Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan: الرِّبَا berapa pun itu maka dia terkena laknat dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Oleh karenanya kita harus pahami bahwasanya riba (sedikit atau banyak) haram. Ini kaidah pertama yang ingin kita bahas pada pertemuan kali ini.
• Kaidah Kedua | Harta-harta Ribawi Ada yang Sesuai Nash, Ada Pula yang Dianalogikan.
Ini berkaitan dengan riba ba’i (jual beli), komoditi ribawi.
Darimana kita tahu komoditi ribawi?
Dari nash, dari sabda Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Disebutkan langsung oleh Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Namun ada pula yang diqiyaskan (dianalogikan) dengan hadīts atau sabda Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Dipembahasan sebelumnya (halaqah ke-7) kita telah mengatakan bahwasanya riba hutang piutang berlaku pada semua barang.
Adapun riba ba’i (jual beli) hanya berlaku pada enam komoditi ribawi yang mana disebutkan di dalam sabda Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ
_Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sejenis gandum dengan sejenis gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam._
Enam komoditi ini dikatakan oleh para ulama: الأموال الرّبويّة (komoditi ribawi).
Maka seandainya orang tukar menukar antara kayu dengan kayu, kapas dengan kapas (misalkan) maka itu terserah. Mau 2 Kg kapas diganti dengan 1 Kg kapas (terserah) tidak ada masalah.
Namun ketika emas di tukar dengan emas, baru bermasalah karena harus terpenuhi syarat yang telah kita sebutan dipertemuan sebelumnya.
Jika emas ditukar dengan emas harus sama timbangannya dan tunai (berlaku dua syarat yang berlaku pada transaksi tersebut).
Adapun jika berbeda jenis misalnya emas dengan perak maka boleh berbeda timbangan.
Contoh (misalkan):
200 gram perak = 10 gram emas atau 500 gram perak = 10 gram emas.
Maka ini tidak mengapa, namun harus terpenuhi syaratnya yaitu harus kontan (tunai). Ini yang nash (sesuai dengan hadīts Nabi Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam).
Disebutkan di sana ada enam komoditi yaitu:
⑴ Emas,
⑵ Perak,
⑶ Gandum (بُرِّ),
⑷ Jenis Gandum (شعِيرِ), ⑸ Kurma,
⑹ Garam.
Kemudian para ulama menjelaskan diantara enam komoditi ini ada harta-harta ribawi lain yang diqiyaskan dengan enam yang disebutkan oleh Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam tersebut.
Benda-benda apa saja yang masuk?
Yaitu benda-benda yang sesuai dengan hukum ‘illat yang ada pada benda-benda yang disebutkan oleh Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Apa itu ‘illat?
‘Illat adalah sebab hukumnya.
Maka para ulama mengatakan ketika kita melihat emas dan perak, apa sebab hukum yang ada pada emas dan perak sehingga dia bisa menjadi komoditi ribawi?
Para ulama mengatakan, bahwasanya ‘illat atau sebab hukum yang ada pada emas dan perak adalah alat tukar menukar.
Alat tukar menukar di zaman Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam adalah dinnar dan dirham (dinnar itu emas dan dirham itu perak). Yang menjadi patokan nilai barang kala itu adalah emas dan perak.
Maka benda-benda yang ada pada zaman sekarang menjadi alat tukar menukar atau patokan nilai barang, maka dia dianalogikan (dimasukkan) ke dalam hukum emas dan perak.
Karena apa?
Karena sebab hukumnya sama yaitu alat tukar menukar.
Maka semua benda yang dijadikan alat tukar menukar pada suatu zaman dan pada suatu masyarakat, maka dia masuk ke dalam ‘illat ini sehingga dia menjadi komoditi ribawi.
Kemudian, sebab hukum (‘illat) yang kedua adalah makanan. Kita lihat empat komoditi ribawi berikutnya:
① Al burr (الْبُرِّ), gandum.
② Asy syaīr (الشَّعِيرِ), gandum jenis asy syaīr.
③ At tamr (التَّمْرُ), kurma.
④ Al milhu (الْمِلْحُ), garam.
Maka kita lihat di sini. Apa ‘illatnya?
Para ulama mengatakan ‘illatnya adalah makanan, makanan yang bisa ditimbang atau ditakar. Inilah yang menjadi sebab hukum.
Garam bagaimana?
Garam adalah: ما يسلح بالطاعم, bumbu makanan. Makanan tidak bisa enak kecuali dengan garam. Maka semua ini masuk ke dalam komoditi ribawi, seperti bawang. Beras, beras diqiyaskan (dianalogikan) dengan gandum karena dia makanan yang ditakar.
Maka benda-benda yang sama ‘illatnya (sebab hukumnya) dia masuk ke dalam enam komoditi ribawi ini. Karena agama kita datang dengan menetapkan ‘illat, yang mana dengan hal tersebut para ulama bisa mengetahui hukum-hukum yang selalu diperbaharui, hukum-hukum yang selalu berkembang.
Di zaman dahulu tidak ada ini, namun di zaman sekarang ada ini. Di zaman dulu makanan pokok Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam adalah kurma, gandum zaman sekarang ada beras (nasi).
Bagaimana hukum beras ini? Maka kita lihat sebab hukumnya.
Apa sebab hukum pada kurma atau gandum?
Sebab hukumnya adalah makanan, berarti beras yang memiliki sebab hukum (‘illat) yang sama yaitu makanan yang ditimbang dan ditakar. Maka dia masuk ke dalam komoditi ribawi.
• Kaidah Ketiga | Uang Kartal Termasuk Komoditi Ribawi.
Uang kartal yang berlaku zaman sekarang (uang kertas, uang logam) dengan mata uang yang berbeda-beda (Rupiah, Dolar, Pound sterling, Euro dan sebagainya) termasuk komoditi ribawi.
Kenapa kita jelaskan kaidah ini, karena inilah yang penyebab riba paling banyak pada zaman sekarang. Sedangkan makanan jarang terjadi karena sekarang orang melakukan jual beli dengan uang. Jarang sekali kita temukan orang menukar kurma dengan kurma atau beras dengan beras.
Mungkin masih ada dan tetap berlaku hukumnya. Namun yang kita tekankan di sini adalah masalah uang karena ini yang sering terjadi di masyarakat kita.
Kenapa uang kartal termasuk komoditi ribawi?
Karena dia sama ‘illatnya, sama sebab hukumnya dengan emas dan perak yaitu alat tukar menukar atau patokan nilai barang.
Sekarang kalau kita tanyakan.
Berapa harga mobil itu?
Kita menjadikan patokan nilainya dengan uang.200 Juta atau 300 Juta. Maka sama seperti dinar atau dirham di zaman Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam. Sehingga hukum uang kartal dianalogikan (diqiyaskan) dengan emas dan perak.
Para ulama menjelaskan, kita telah tahu bahwasanya uang kartal adalah salah satu komoditi ribawi yang mana hukumnya sama dengan emas dan perak. Namun para ulama menjelaskan bahwasanya mata uang suatu negara berbeda jenis dengan mata uang lainnya, seperti emas berbeda dengan perak.
Emas dan perak sebab hukum (‘illat) nya sama yaitu alat tukar menukar. Namun para ulama menjelaskan bahwasanya mata uang satu negara berbeda jenis dengan mata uang lainnya. Seperti halnya emas dan perak, ‘illatnya sama (sama-sama alat tukar menukar) di zaman dahulu. Patokan nilai barang.
Tapi emas dan perak berbeda jenis karena berbeda nilainya. Begitu juga mata uang, setiap negara berbeda jenis walaupun sama ‘illatnya. Maka konsekuensinya, sebagaimana yang telah kita jelaskan, ketika dia berbeda jenis tapi ‘illatnya sama, maka yang berlaku syaratnya adalah harus tunai.
Boleh kita menukar 1000 rupiah atau kita tukar 100 Dolar dengan 5 Juta, boleh!
Tidak harus 100 Dolar sesuai dengan harga rupiah di hari ini, tidak!
100 Dolar boleh kita tukar. Kita beli uang 100 Dolar dengan 5 Juta, boleh.
Namun dengan syarat harus tunai, diserahkan di majelis akad. Pembeli menyerahkan 5 juta lalu penjual menyerahkan 100 Dolar.
Tidak boleh kita katakan, “Ini 5 Juta dan 100 Dollarnya besok.” Karena ini akan jatuh kepada riba an nasi’ah.
Wallāhu Ta’āla A’lam.
Kita cukupkan sampai di sini, in syā Allāh kita lanjutkan pada halaqah berikutnya.
وصلى الله على نبينا محمّد وعلى آله وصحبه وسلم ثم السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
____________________