Halaqah 02 : Tolok Ukur Akad Jual Beli Hakikat Bukan Lafazhnya
🎙 Ustadz Muhammad Ihsan, M.HI حفظه لله تعالى
📗 Kitāb Qawā’du Fīl Buyū’ (قواعد في البيوع)
📝 Fadhillatus Syaikh Sulaiman bin Salim Ar-Ruhaili حفظه لله تعالى
〰〰〰〰〰〰〰
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله وأصل و أصلم على نبينا الكريم و على آله وصحبه أجمعين اما بعد
Ikhwāti A’ādzakumullāh Wa Iyyakum
Pada pertemuan kali ini (in syā Allāh) kita akan masuk kaidah kedua di antara kaidah-kaidah dasar dari akad jual beli.
Di pertemuan sebelumnya kita telah menyelesaikan kaidah yang pertama yaitu: الأصل في البيوع الإباحة , hukum asal jual beli adalah diperbolehkan atau halal, sampai datang dalīl yang menunjukkan bahwasanya akad tersebut diharamkan di dalam syari’at Islām.
Adapun kaidah kedua diantara kaidah-kaidah jual beli adalah:
العبرة في العقود بالمقاصد والمعاني لا بالألفاظ والمباني
_▪︎ Kaidah Kedua | Tolok Ukur dalam Akad Jual Beli Hakikat Bukan Lafazhnya_
Yang dilihat standar dalam akad jual beli adalah hakikatnya bukan lafazhnya.
Ketika kita ingin menilai sebuah akad jual beli, maka jangan terpaku kepada lafazhnya, jangan terpaku kepada namanya, tapi lihatlah hakikat akad itu, lihatlah makna dari transaksi tersebut.
Misalkan:
Ahmad berkata kepada Muhammad, “Ya Muhammad, saya berikan (hadiahkan) mobil ini kepadamu dengan syarat kamu memberikan saya uang 100 juta.”
Kalau kita lihat lafazhnya, maka kita akan dapati bahwasanya akad ini adalah akad hadiah. Karena bahasanya yang dia sampaikan, “Saya hadiahkan kepadamu, saya berikan kepadamu,” maka akadnya akad hibah, kalau seandainya kita lihat kepada lafazh.
Namun yang menjadi poin dalam transaksi jual beli bukan lafazh ini akan tetapi maknanya, hakikat yang dikandung oleh lafazh tersebut.
Apa maksudnya dari lafazh tersebut?
Ketika dikatakan dengan syarat, “Engkau berikan saya 100 Juta,” maka kita tahu bahwasanya ini bukan hadiah tetapi jual beli. Karena ada pertukaran antara mobil dengan uang 100 Juta.
Maka kita katakan, ini bukan akad hadiah tetapi akad jual beli, walaupun shurahnya (gambarannya) atau lafazhnya yang kita dengar adalah hadiah.
Begitu juga dengan apa yang terjadi di bank, (misalkan) ketika bahasa yang tertulis di Bank Syari’ah adalah akad wadi’ah. Di mana akad wadi’ah pada hakikatnya adalah seorang menyimpan uang orang lain atau menyimpang barang orang lain.
Dan konsekuensi akad wadi’ah adalah:
⑴ Orang yang menyimpan barang tersebut tidak boleh memanfaatkannya (tidak boleh menggunakannya).
⑵ Akad wadi’ah adalah akad amanah (kepercayaan).
Yang mana akad kepercayaan itu konsekuensinya, kalau seandainya harta yang disimpan itu benar-benar dijaga, namun qadarullāh musibah menimpanya sehingga menyebabkan harta tersebut hilang maka tidak wajib menggantinya.
Misalkan:
Dia menyimpan mobil orang lain, dia jaga mobil itu diletakkan di garasi rumahnya, dia kunci mobil itu. Tiba-tiba terjadi gempa bumi rumahnya hancur sehingga menimpa mobil tersebut dan mobilnya rusak.
Konsekuensi dari akad wadi’ah (akad amanah), orang yang menyimpan harta tersebut tidak wajib menggantinya.
Karena apa?
Karena dia sudah menjalankan amanahnya (menjaga mobil tersebut). Sedangkan kerusakan mobil tersebut di luar kemampuan. Ini akad wadi’ah.
Namun apa yang kita dapati di bank? Transaksi akad wadi’ah di bank?
Mereka boleh menggunakan harta yang kita simpanan kepada mereka, mereka boleh memutarnya, mereka boleh menggunakannya untuk mencari keuntungan. Maka ini keluar dari hakikat akad wadi’ah.
Begitu juga dengan konsekuensi dari akad wadi’ah yang ada di bank adalah akad dhamman, yaitu ganti rugi. Kalau seandainya uang yang ada di bank hilang, relakah nasabah untuk kehilangan uangnya?
Misalkan:
Bank sudah menjaga uang tersebut namun qadarullāh uang tersebut dicuri maka nasabah akan datang kepada bank untuk minta ganti rugi. Karena akad dari awal memang bank bersiap untuk melakukan ganti rugi ketika terjadi kehilangan. Maka dari sini kita lihat hakikat dari akad wadi’ah yang ada di bank adalah akad pinjaman.
Yaitu bank meminjam uang atau meminjam harta dari nasabah. Karena akad pinjaman (akad dhaman) adalah akad ganti rugi dan boleh digunakan. Uang yang diberikan boleh digunakan oleh Si Peminjam.
Maka jangan tertipu dengan lafazh, namun lihatlah kepada makna yang ada di balik lafazh tersebut.
• Apa Dalīl dari Kaidah ini?
Yaitu sabda Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوى
_”Sesungguhnya amalan itu dinilai dari niat pelakunya, dan dia akan mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan.”_
(Hadīts shahīh riwayat Abu Dawud nomor 2201)
Kalau seandainya lafazhnya hadiah namun niatnya adalah jual beli (pertukaran harta) yang menjadi patokan adalah niatnya bukan lafazhnya.
Juga para ulama mengatakan bahwa maksud atau hakikat lebih dikedepankan daripada lafazh yang ada, karena lafazh pada asalnya (sejatinya) adalah wasilah untuk mengungkapkan hakikat atau makna yang ada dalam hati, sehingga kita sebutkan dalam lafazh dan kita ucapkan apa yang ada dalam hati kita.
Pada asalnya ucapan kita mewakili apa yang ada dalam hati kita. Ketika terjadi benturan, terjadi perbedaan antara apa yang diucapkan dengan apa yang diniatkan dalam hati, maka yang dikedepankan adalah apa yang ada dalam hati kita. Karena itu adalah poinnya.
Sedangkan ucapan hanyalah wasilah. Sehingga ketika berbeda antara wasilah dengan pokoknya maka pokok lebih diutamakan. Itu kaidah kedua: العبرة في العقود بالمقاصد والمعاني لا بالألفاظ والمباني , tolok ukur dalam akad jual beli hakikatnya bukan pada lafazh.
Kemudian kaidah ketiga di antara kaidah-kaidah jual beli adalah:
القصود مؤثرة في العقود
_▪︎ Kaidah Ketiga | Niat Pelaku Transaksi Mempengaruhi Akad Jual Beli_
Niat pelaku transaksi bisa mempengaruhi sah atau tidaknya sebuah transkasi jual beli.
Kalau sebelumnya, konsekuensi dari transaksi dikembalikan kepada makna dari akad yang terjadi. Sedangkan dalam permasalahan ini (kaidah ini), niat seorang pelaku bisa mempengaruhi keabsahan sebuah transaksi jual beli.
Contohnya adalah ketika Ahmad dan Muhammad tadi misalkan.
Ahmad mempunyai mobil lalu dia berkata kepada Muhammad, “Ya Muhammad, belilah mobil saya ini 10 Juta saja (misalkan),” tapi dalam hatinya ada niat bercanda dan Muhammad tahu dia (Ahmad) sedang bercanda.
“Ambil saja mobil ini 10 Juta,” lalu Ahmad tertawa (bercanda saja) kemudian Muhammad berkata, “Ya sudah, saya beli 10 Juta.”
Maka dalam kejadian seperti ini tidak boleh Muhammad meminta kunci mobil kepada Ahmad lalu membawa mobil itu pergi.
Karena apa?
Karena kita tahu dalam konteks itu Ahmad sedang bercanda kepada Muhammad.
Maka para ulama mengatakan, dari kaidah ini kita ketahui bahwasanya transaksi tersebut tidak sah. Karena Ahmad tidak serius menjual mobilnya, dia hanya ingin bercanda kepada Muhammad dan Muhammad pun tahu dia sedang bercanda.
Maka dalam kondisi seperti ini tidak sah akad tersebut.
Begitu juga yang dikenal oleh para ulama yaitu: بيع التلجئة (jual beli taljiah), yaitu ketika seorang ingin berlepas diri dari orang yang zhalim.
Misalkan:
Datang seseorang kepada Ahmad lalu dia berkata, “Mobil ini saya ambil, besok mobil ini harus diberikan kepada saya (misalkan).”
Ahmad (misalkan) tidak berani melawan orang tersebut. Agar mobil tidak diambil, bagaimana caranya?
Caranya dia pura-pura menjual mobilnya.
Maka didatangi Muhammad lalu dia katakan, “Ya Muhammad, ada orang zhalim datang kepadaku ingin mengambil mobilku ini dengan berbagai alasan.”
Maka Ahmad menawarkan kepada Muhammad, “Bagaimana kalau saya pura-pura menjual mobil ini kepadamu agar dia (orang zhalim) tidak bisa mengambil mobil ini?”
Maka para ulama mengatakan:بيع التلجئة (jual beli taljiah) ini adalah jual beli untuk melepaskan diri dari kezhaliman orang lain adalah akad yang tidak sah. Akad Ahmad dengan Muhammad tadi tidak sah karena Ahmad tidak benar-benar ingin menjual mobilnya. Hanya menampakkan kepada orang zhalim tadi bahwasanya mobilnya telah dijual kepada Muhammad.
Maka kita katakan di sini akadnya tidak sah karena: القصود مؤثرة في العقود , maksud dia menjual tadi bisa mempengaruhi keabsahan akad jual beli.
Dalīlnya apa?
Sabda Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam:
ثَلاَثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جِدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلاَقُ وَالرَّجْعَةُ
_”Tiga perkara yang serius dan candanya dianggap sama (yaitu) menikah, talak dan ruju’.”_
(Hadīts hasan riwayat Abu Dawud nomor 2194)
Tiga hal ini (menikah, talak dan ruju’) yang tidak bisa dijadikan candaan.
Seseorang misalkan bercanda untuk mentalak istrinya, maka ini dianggap serius, tidak dianggap bercanda. Maka ketika dia bercanda menjatuhkan talak kepada istrinya maka jatuhlah talak kepada istrinya tersebut.
Para ulama, dari hadīts ini menyimpulkan bahwasanya selain tiga ini maka candaan tetap dianggap canda.
Maksudnya apa?
Ketika seorang bercanda menjual barang, bercanda tidak niat untuk menjual barang itu maka transaksinya batal atau tidak dianggap.
Inilah makna dari kaidah ketiga dalam pertemuan ini, kita lanjutkan in syā Allāh di pertemuan berikutnya.
وصلى الله على نبينا محمّد وعلى آله وصحبه وسلم ثم و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
____________________