Halaqah 09: Dusta yang Diperbolehkan
🎙 Ustadz Afit Iqwanudin, Amd., Lc. حفظه لله تعالى
📗 Kitāb Āfātul Lisān
📝 Syaikh Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ
〰〰〰〰〰〰〰
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمدلله و صلاة وسلم على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه، و لَاحول ولاقوة الا بالله، أما بعد
Sahabat BiAS kaum muslimin yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Kembali kita akan melanjutkan pembahasan dari Risalah Āfātul Lisān fī Dhau’il Kitābi was Sunnah ( آفات اللسان في ضوء الكتاب والسُّـنَّة), karya Syaikh Dr. Sa’id bin Ali bin Wahf Al Qahthāni rahimahullāhu ta’āla.
*▪︎ Dusta yang Diperbolehkan*
Dalam sebuah hadīts yang diriwayatkan oleh Ummu Kultsum radhiyallāhu ‘anhā, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
ليس الكذَّابُ الذي يصلح بين الناس فينمي خيراً، أو يقول خيراً
_”Tidaklah disebut sebagai seorang pendusta orang yang menyelesaikan perselisihan di antara manusia, kemudian dia menyampaikan (mengatakan) hal-hal yang baik dari satu pihak yang bertikai kepada pihak yang lain.”_
Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa Nabi Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam tidaklah memberikan keringan kepada seseorang untuk berkata dusta kecuali dalam tiga keadaan:
⑴ Dalam peperangan.
⑵ Dalam rangka melerai kedua pihak dalam berselisih.
⑶ Dusta seorang suami kepada istrinya atau sebaliknya demi menjaga keharmonisan keluarga.
Imam An Nawawi rahimahullāh menuturkan hadīts ini dengan tegas menjelaskan bahwa terdapat dusta yang diperbolehkan jika ada maslahat di baliknya. Para ulama sendiri telah menjelaskan syarat dan ketentuan untuk dusta yang diperbolehkan.
Di antaranya ialah yang disampaikan oleh Imam Al Ghazali rahimahullāhu ta’āla.
Beliau berkata:
“Ucapan merupakan sarana untuk mencapai maksud yang diinginkan dan setiap tujuan yang baik, yang mungkin untuk diraih dengan berkata jujur ataupun dust. Maka dalam hal ini kedustaan terlarang sebab tidak adanya keadaan mendesak untuk berdusta.
Akan tetapi jika tujuan baik yang dimaksud tidak mungkin diraih kecuali dengan berdusta, maka dalam keadaan ini dusta merupakan hal yang diperbolehkan. Jika memang tujuan yang ingin diraih bersifat mubah. Sedangkan jika tujuan yang dimaksud bersifat wajib maka berdusta dalam kondisi seperti ini menjadi sebuah kewajiban.”
Contohnya:
Jika ada seorang muslim yang sedang sembunyi dari orang yang berlaku zhalim, kemudian orang zhalim tersebut bertanya kepada kita. Maka kita wajib berdusta dengan mengatakan, “Bahwa kita tidak mengetahui keberadaan orang tersebut.”
Begitu juga jika ada orang jahat yang hendak merampas suatu barang titipan, maka kita wajib berdusta bahkan jika kita ditantang untuk bersumpah maka kita diharuskan untuk bersumpah sembari bertauriyah yaitu meniatkan maksud lain dalam sumpahnya.
Namun dengan catatan bahwa ia tidak bisa melindungi seseorang atau hak orang lain kecuali dengan berdusta.
Dan ada cara yang lebih selamat dalam hal ini, ialah Ia melakukan tauriyah dalam sumpahnya yaitu menggunakan kalimat tertentu yang bisa ditafsiri dengan makna lain yang sesuai dengan kenyataan alias bukan kedustaan.
Meskipun secara tersirat kalimat yang dia ucapkan merupakan kedustaan. Namun meskipun ia tidak melakukan tauriyah saat itu, maka kedustaan yang ia lakukan tetaplah diperbolehkan dalam kondisi tersebut.
Secara singkat, barometer untuk kedustaan yang mubah adalah jika hal tersebut dilakukan dengan tujuan yang benar, baik untuk dirinya atau tujuan tersebut untuk orang lain.
Seperti jika ada orang zhalim yang hendak merampas hartanya atau seseorang yang memiliki kedudukan meminta kita untuk melakukan perbuatan yang buruk.
Adapun contoh yang bertujuan untuk menjaga keselamatan orang lain, misalnya ada orang yang bertanya kepada kita tentang rahasia seseorang, maka dalam hal ini tidaklah mengapa untuk berdusta.
Akan tetapi perlu dicatat sebelum melakukan kedustaan, hendaknya kita sudah memastikan bahwa kerusakan yang terjadi jika kita berkata jujur dalam kondisi ini akan lebih besar dibanding saat kita berdusta.
Ibnul Qayyim rahimahullāhu ta’āla pernah membawakan sebuah atsar dari sahabat Umar radhiyallāhu ‘anhu:
إن في معاريض الكلام ما يغني الرجل عن الكذب
_”Sesungguhnya: معاريض الكلام bisa menjadi jalan pintas agar seseorang tidak perlu berdusta.”_
Hal senada juga diungkapkan oleh shahabat Ibnu Abbās radhiyallāhu ‘anhumā:
ما يسرني بمعاريض الكلام حمر النعم
⇒ Yang dimaksud: معاريض الكلام , adalah saat seseorang mengucapkan sebuah perkataan dengan maksud tertentu, namun orang yang mendengar akan memahami dengan maksud lain.
Dalam sirah nabawiyyah kita juga mendapati sikap seperti ini pernah dilakukan oleh Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dalam suatu peperangan. Saat itu Beliau bertanya kepada sekelompok orang demi menggali informasi jumlah pasukan kaum musyrikin.
Saat orang-orang tersebut bertanya seputar asal mereka, Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam menjawab, “من الماء” bisa kita artikan dari air. Kalimat: من الماء dari air, yang dimaksud oleh Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam adalah firman Allāh Subhānahu wa Ta’āla:
خُلِقَ مِن مَّآءٖ دَافِقٖ
_”Dia diciptakan dari air (mani) yang terpancar.” :_
(QS. Ath Thāriq: 6)
Tentunya orang yang bertanya tadi tidak akan memahami yang demikian, justru malah membuat mereka semakin binggung dengan jawaban Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam tadi.
Contoh serupa juga kita dapati dari beberapa ulama terdahulu di antaranya ialah Hammād rahimahullāhu ta’āla. Di mana jika ada orang yang beliau tidak begitu suka duduk dengannya, beliau akan memegang pipi beliau sembari berkata, “Gigiku…oh gigiku,” menunjukkan seakan-akan beliau sedang sakit gigi.
Imam Ahmad rahimahullāhu ta’āla pernah menuturkan bahwa: الحيل atau tipu muslihat ada tiga macam.
⑴ Dalam rangka mendekatkan diri kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla, dan ini termasuk amalan yang paling afdhal.
⑵ Bersifat mubah atau diperbolehkan yang mana tidak mengapa jika seseorang melakukannya, meskipun hal ini lebih baik untuk ditinggalkan.
⑶ Diharamkan, yang mana terkandung di dalamnya siasat untuk menghilangkan suatu kewajiban yang seharusnya menjadi kewajiban kita atau dalam rangka menghalalkan apa yang Allāh Subhānahu wa Ta’āla telah larang ? Maka jenis ketiga ini yang merupakan: الحيل atau tipu muslihat yang terlarang sebagaimana penuturan para ulama.
صلى الله على نبينا محمّد و على آله وصحبه وسلم
و السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
____________________