🎙 Ustadz Afit Iqwanudin, Amd., Lc. حفظه لله تعالى
📗 Kitāb Āfātul Lisān
📝 Syaikh Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ
〰〰〰〰〰〰〰
بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمدلله و صلاة وسلم على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه، و لَاحول ولاقوة الا بالله
Sahabat BiAS kaum muslimin yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
In syā Allāh, kita akan kembali melanjutkan pembahasan dari Risalah Āfātul Lisān Fī Dhau’il Kitābi Wa As-Sunnah ( آفات اللسان في ضوء الكتاب والسُّـنَّة) karya Syaikh Dr. Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qahthāni rahimahullāh.
BAB 6: SEBAB MUNCULNYA GHIBAH
Sebab-sebab munculnya ghibah atau berbagai faktor yang bisa mendorong seseorang terjatuh ke dalam dosa ghibah.
Terhitung ada dua belas sebab yang dibawakan oleh penulis rahimahullāhu ta’āla dalam risalah ini, di antaranya:
⑴ Usaha untuk membela dirinya sendiri serta melampiaskan rasa marah dalam dadanya terhadap orang lain. Sehingga muncullah inisiatif untuk menggunjingnya, berdusta tentangnya hingga mengadu-domba.
⑵ Iri dan dengki terhadap orang lain, sehingga ia berusaha memadamkan perasaan tersebut dengan menggunjingnya. Dan tentunya ini bukan sifat orang mukmin yang sempurna imannya. Semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla menjauhkan kita dari sifat seperti ini.
⑶ Keinginan untuk menjadi mulia serta membuat orang lain menjadi rendah.
Contohnya; dengan mengatakan Fulan adalah orang yang jahil, dia lambat dalam memahami sesuatu, Fulan adalah orang yang penyakitan, Fulan adalah orang yang omongannya sulit dipahami atau kalimat-kalimat semisal.
Tujuannya adalah agar perhatian orang tertuju kepadanya dengan menampakkan bahwa ia tidak memiliki berbagai kekurangan tersebut. Sikap seperti ini merupakan bentuk bangga terhadap diri sendiri, di mana hal ini termasuk perkara yang membinasakan. Sebagaimana pernah dijelaskan oleh Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dalam sebuah hadīts yang shahīh.
⑷ Mendukung pendapat sahabat atau teman-teman terdekatnya demi menyenangkan mereka. Hal ini disebabkan oleh lemahnya iman serta tidak merasa diawasi oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
⑸ Menampakkan sikap terheran-heran terhadap para pelaku maksiat seperti dengan mengatakan, “Tidak ada orang yang lebih membuatku ta’jub dari si Fulan, bagaimana mungkin iya bisa jatuh dalam kesalahan seperti ini, padahal dia adakah orang yang berilmu, orang yang terpandang”, atau kalimat-kalimat semisalnya.
Ucapan seperti ini sejatinya boleh diungkapkan namun dengan catatan tanpa perlu menyebutkan identitas orang yang dimaksud, sehingga orang yang diajak bicara tidak mengetahui siapa orang yang dimaksud tersebut.
⑹ Keinginan untuk merendahkan dan mencela orang lain.
⑺ Menunjukkan sikap الغضب لله yaitu membenci sesuatu karena Allāh Subhānahu wa Ta’āla yang sejatinya merupakan sifat terpuji, hanya saja ia melakukannya dengan cara yang salah yaitu dengan menyebutkan kemungkaran sekaligus identitas dari pelakunya. Sehingga ia terjatuh dalam dosa ghibah.
⑻ Hasad kepada orang lain karena mereka banyak disukai dan dipuji, sehingga dia berusaha untuk menghilangkan nikmat tersebut namun ia tidak memiliki cara untuk melakukannya kecuali dengan menghibahinya. Harapannya agar orang yang ia gunjing menjadi kecil dihadapan mereka yang pernah memujinya.
Sikap seperti ini membuatnya masuk ke dalam golongan manusia terburuk padahal Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam pernah bersabda:
أَىُّ النَّاسِ أَفْضَلُ؟
“Siapakah manusia yang paling baik?”
Kemudian Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
كُلُّ مَخْمُومِ الْقَلْبِ صَدُوقِ اللِّسَانِ
“Orang yang terbaik adalah orang yang hatinya bersih dan perkataannya jujur.”
Kemudian para sahabat berkata:
صَدُوقُ اللِّسَانِ نَعْرِفُهُ فَمَا مَخْمُومُ الْقَلْبِ
“Wahai Rasūlullāh, orang yang perkataannya jujur kita sudah memahaminya, lalu apa yang dimaksud dengan مَخْمُومُ الْقَلْبِ?”
Kemudian Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam menjawab:
هُوَ التَّقِيُّ النَّقِيُّ لاَ إِثْمَ فِيهِ وَلاَ بَغْىَ وَلاَ غِلَّ وَلاَ حَسَدَ
“(yaitu) orang yang bertakwa lagi murni hatinya, tidak ada kedurhakaan, tidak ada kezhaliman kepadanya, begitu juga tidak ada kedengkian dan hasad dalam hatinya.”
(Hadīts shahīh riwayat Ibnu Mājah nomor 4216)
⑼ Keinginan untuk menunjukkan rasa kasihan dan prihatin kepada seseorang seperti dengan mengatakan, “Sungguh kasihan dengan si Fulan keadaannya yang tenggelam dalam kemaksiatan membuatku bersedih”.
⑽ Mengolok-olok serta menjadikan aib orang lain sebagai bahan candaan di mana ia menyebutkan keburukan seseorang untuk membuat orang lain tertawa, hal tersebut cukup menyenangkan baginya sehingga ia bumbui dengan ejekan serta berbagai kedustaan. Orang seperti ini masuk dalam ancaman yang Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam sebutan:
وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ بِالْحَدِيثِ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ فَيَكْذِبُ وَيْلٌ لَهُ وَيْلٌ لَهُ
“Celakalah seseorang yang mengatakan sesuatu demi membuat orang lain tertawa sehingga dia berdusta. Sungguh ia celaka….Dan sungguh ia celaka.”
(Hadīts hasan riwayat At-Tirmidzi nomor 2315)
⑾ Menisbatkan sebuah perbuatan buruk kepada dirinya sendiri namun kemudian ia menyangkalnya dengan mengatakan, “Tapi bukan aku yang melakukan perbuatan ini, melainkan si Fulan yang melakukannya”. Tujuannya ialah untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa ia tidak memiliki aib tersebut.
⑿ Perasaan curiga bahwa ada seseorang yang ingin menjatuhkan harga dirinya dihadapan sahabat atau teman dekatnya, sehingga ia mengambil langkah cepat dengan menceritakan keburukan orang yang ia curigai demi menjatuhkan citranya di mata orang lain terlebih dahulu.
Sahabat BiAS, kaum muslimin yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla, inilah duabelas faktor yang bisa mendorong kita untuk berbuat ghibah.
Semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla menjaga kita dari berbagai penyakit tersebut.
وصلى الله على نبينا محمّد و على آله وصحبه و سلم
____________________