Home > Grup Islam Sunnah > Kitab Sifat Shalat Nabi ﷺ > Halaqah 50 – Pembahasan Membaca Al Fatihah ~ Merupakan Rukun Sholat & Keutamaannya Bag 02

Halaqah 50 – Pembahasan Membaca Al Fatihah ~ Merupakan Rukun Sholat & Keutamaannya Bag 02

🌍 Grup Islam Sunnah | GiS
🎙 Ustadz Dr. Musyaffa Ad Dariny M.A.
📗 صفة صلاة النبي ﷺ من التكبير إلى التسليم كأنك تراها
📝 Syaikh Al-Albani رحمه الله
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه ومن تبع هداه

Kaum muslimin dan kaum muslimat yang saya cintai karena Allah, khususnya anggota GiS -Grup Islam Sunnah- yang semoga dirahmati dan diberkahi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Pada kesempatan yang berbahagia ini kita akan bersama-sama mengkaji sebuah kitab yang sangat bagus yang ditulis oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah, yakni kitab Sifat Shalat Nabi atau sebagaimana judul aslinya Shifatu Shalatin Nabiyyi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam Minattakbiri ilattaslim Ka-annaka Taraha (Sifat Shalat Nabi Mulai dari Takbir sampai Salamnya Seakan-akan Anda Melihatnya).

Syaikh Al Albani rahimahullah menjelaskan tentang

   [ رُكْنِيَّةُ الفَاتِحَةِ وَفَضَائِلُهَا ]

Tentang masalah bahwa Al-Fatihah ini rukun shalat, dan keutamaan-keutamaan dari surat Al-Fatihah.

Ada hadits lain yang menunjukkan keutamaan membaca Al-Fatihah. Hadits yang ketiga ini menjelaskan kepada kita tentang salah satu dari keutamaan membaca surat Al-Fatihah. Dan hadits ini adalah hadits qudsi, hadits yang di dalamnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan:

(( قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى ))

“Allah berfirman”

Ini hadits qudsi ini sama-sama firman Allah, yang jelas-jelas di situ dikatakan “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman” tapi dia bukan bagian dari Al-Qur’an.

Jadi firman Allah tidak semuanya Al-Qur’an. Ada firman Allah yang merupakan hadits/yang masuk dalam kategori hadits, hadits tersebut hadits qudsi. Beda antara hadits qudsi dengan Al-Qur’an: biasanya dari redaksinya.
Kalau Al-Qur’an redaksinya tidak mungkin berubah-ubah.
Kalau hadits qudsi bisa berubah-ubah redaksinya. Sampainya ke kita redaksinya bisa berubah-ubah, sebagaimana hadits ini. Redaksinya berbeda-beda antara satu hadits dengan hadits yang lainnya, padahal hadits tersebut hadits qudsi, maksudnya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala langsung.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,

(( قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى ))

“Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman”

(( قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ ))

“Aku membagi shalat menjadi dua bagian antara Aku dengan hambaKu”

Di sini dikatakan “Aku membagi sholat”, tapi yang dimaksud dengan makna “shalat” adalah Al-Fatihah. Ini bahasa Arab. Bahasa Arab itu luas, tidak ada
kata-kata seperti ini dalam bahasa Indonesia. Yang diinginkan “Al-Fatihah” tapi yang disebutkan kata “shalat”.

Ini termasuk menginginkan bagiannya, tapi menyebut dengan sebutan semuanya.
Ada “uslub”/metode dalam bahasa Arab seperti ini. Sebenarnya yang diinginkan bagian tertentu, tapi dia sebutkan semuanya.

Apa fungsinya/kegunaan dari metode ini? Untuk menunjukkan bahwa bagian itulah merupakan bagian yang sangat penting di dalam shalat. Menunjukkan bahwa Al-Fatihah itu bagian yang sangat penting di dalam shalat, karena Al-Fatihah disebut dengan nama shalat.

(( قَسَمْتُ الصَّلَاةَ  ))

” Aku membagi shalat”

Yang dimaksud oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Aku membagi Al-Fatihah”.
Aku membagi Al-Fatihah menjadi 2 bagian antara Aku dengan hambaKu.

(( فَنِصْفُهَا لِيْ وَنِصْفُهَا لِعَبْدِيْ ))

“Setengahnya untukKu dan setengahnya untuk hambaKu”

(( وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ ))

“dan untuk hambaKu apa yang dia minta”

وَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:

“Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyabdakan:

(( اِقْرَؤُوْا : يَقُوْلُ العَبْدُ : {ٱلۡحَمۡدُ لِله رَبِّ ٱلۡعَـٰلَمِینَ} ))

Bacalah! Seorang hamba mengatakan:

{ ٱلۡحَمۡدُ لِله رَبِّ ٱلۡعَـٰلَمِینَ }

Di awal hadits, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan “Aku membagi Al-Fatihah menjadi 2 bagian”. Setelah itu langsung membaca “alhamdulillahirabbil ‘alamin”.

Mana “Bismillah”nya? Kenapa Bismillah tidak disebutkan? Makanya dengan hadits ini Syaikh Utsaimin rahimahullah  mengatakan bahwa Bismillah bukan bagian dari Al-Fatihah. Syaikh Utsaimin rahimahullah berdalil dengan hadits ini untuk menyimpulkan hukum bahwa Bismillah itu bukan bagian dari Al-Fatihah. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan “Aku membagi shalat menjadi dua bagian”. Maksudnya “Aku membagi Al-Fatihah menjadi dua bagian” dan tidak menyebutkan Bismillah.

Tapi jumhur ulama/mayoritas ulama mengatakan bahwa Bismillah termasuk bagian dari Al-Fatihah karena adanya hadits yang khusus menjelaskan hal itu. Dan Al-Qur’an, bisa dalam satu surat, pertamanya tidak lengkap surat itu; kemudian turun ayat untuk ditambahkan ke surat itu. Bisa jadi seperti ini. Dan mungkin Al-Fatihah juga turunnya dengan cara seperti, ini tidak langsung ada Bismillah-nya. Bisa jadi seperti itu. Dan ini bisa menjadi jawaban bagi pendapat yang dikemukakan oleh Syaikh Utsaimin rahimahullah, wallahu’alam.

(( يَقُوْلُ العَبْدُ ))

“Seorang hamba mengatakan”

{ ٱلۡحَمۡدُ لِله رَبِّ ٱلۡعَـٰلَمِینَ }

(( يَقُوْلُ الله تَعَالَى ))

Allah Subhanahu wa Ta’ala menjawabnya dengan mengatakan:

(( حَمِدَنِيْ عَبْدِيْ ))

“HambaKu telah memujiKu”

(( يَقُوْلُ العَبْدُ {ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ} ))

Seorang hamba mengatakan

{ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ }

Allah berfirman: “HambaKu menyanjungKu”

{ ٱلۡحَمۡدُ لِله رَبِّ ٱلۡعَـٰلَمِینَ }

“Segala puji bagi Allah..,”

Ketika kita mengatakan demikian, “Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam”

Allah menjawabnya dengan mengatakan:

(( حَمِدَنِيْ عَبْدِيْ ))

bahwa “hambaKu sudah memujiKu”.

Ketika kita katakan

{ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِیمِ }

“Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”

maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menjawabnya:

((مَجَّدَنِيْ/ أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِيْ ))

“HambaKu telah menyanjungKu”

(( يَقُوْلُ العَبْدُ {مَـٰلِكِ یَوۡمِ ٱلدِّینِ} ))

Seorang hamba mengatakan

{ مَـٰلِكِ یَوۡمِ ٱلدِّینِ }

“Yang menguasai hari pembalasan”

Ketika kita mengatakan seperti ini, Allah jawab dengan mengatakan:

(( مَجَّدَنِيْ عَبْدِيْ ))

“HambaKu telah memuliakanKu”

(( يَقُوْلُ العَبْدُ : { إِیَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِیَّاكَ نَسۡتَعِینُ } ))

Seorang hamba mengatakan, “Hanya kepadaMu ya Allah kami beribadah”

{ وَإِیَّاكَ نَسۡتَعِینُ }

“dan hanya kepadaMu kami meminta pertolongan”

Ini ikrar kita setiap shalat. Inilah ikrar tauhid. Inilah tauhid yang kita ikrarkan di setiap shalat. Makanya sangat aneh apabila ada orang-orang yang melakukan kesyirikan padahal dia setiap shalatnya mengatakan ikrar tauhid ini.
“Hanya kepadaMu kami beribadah”;
kami tidak beribadah kepada yang lain; hanya kepadaMu ya Allah.
“Dan hanya kepadaMu kami meminta pertolongan”;
kami tidak meminta pertolongan kepada yang lainnya; tidak kepada jin, tidak kepada arwah, tidak kepada dewa-dewa (kalau ada dewa), tidak kepada hambaMu yang lain, yang dia tidak punya kemampuan dalam memberikan pertolongan tersebut.

Minta kepada orang lain dibolehkan, tapi hanya pada hal-hal yang dia mampui, kalau tidak dia mampui maka kita tidak boleh. Kalau tidak dimampui kecuali oleh Allah, kita tidak boleh meminta kepada hamba permintaan tersebut. Misalnya meminta kesehatan kepada dokter, tidak boleh. Yang memberikan kesehatan siapa? Allah. Kita tidak boleh meminta kepada dokter: kesehatan. Kita boleh meminta resep, boleh meminta obat, tapi kalau kesehatan tidak boleh.

{ وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِيْنِ }

“Apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan”
Dialah yang menyehatkan.

Kalau sesuatu tersebut hanya dimampui oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, kita tidak boleh minta pertolongan kepada hamba untuk sesuatu itu. Tidak boleh meminta kepada hamba sesuatu tersebut.
Misalnya keselamatan. “Saya meminta keselamatan kepadamu”, ini tidak boleh. Keselamatan itu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Misalnya meminta rezeki, tidak boleh: “berikan aku rezeki”. Rezeki itu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hanya Allah yang mampu memberikan rezeki, bukan yang lain.
“Aku meminta hidup”, tidak boleh. Yang menghidupkan kita Allah Subhanahu Ta’ala.
“Aku meminta anak”, tidak boleh. Yang memberikan kita keturunan (adalah) Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Adapun hal-hal yang dimampui oleh manusia, maka dibolehkan. Meminta resep obat, meminta makanan, meminta bantuan untuk misalnya dijaga. Orang bisa menjaga. Tapi untuk selamat, tidak. Keselamatan diusahakan, iya. Tapi yang memberikan keselamatan itu adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala.

{ إِیَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِیَّاكَ نَسۡتَعِینُ }

“Hanya kepadaMu kami beribadah ya Allah dan hanya kepadaMu kami meminta pertolongan”

Demikianlah yang bisa kita kaji pada kesempatan kali ini. Semoga  menjadi ilmu yang bermanfaat dan diberkahi oleh Allah Jalla wa ‘Alaa.

InsyaaAllah kita akan lanjutkan pada kesempatan yang akan datang.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته


image_pdfimage_print

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top