Home > Grup Islam Sunnah > Kitab Sifat Shalat Nabi ﷺ > Halaqah 21 – Pembahasan Sholat Di Atas Kapal

Halaqah 21 – Pembahasan Sholat Di Atas Kapal

🌍 Grup Islam Sunnah | GiS
🎙 Ustadz Dr. Musyaffa Ad Dariny M.A.
📗 صفة صلاة النبي ﷺ من التكبير إلى التسليم كأنك تراها
📝 Syaikh Al-Albani رحمه الله
~~~•~~~•~~~•~~~•~~~

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه ومن تبع هداه

Kaum muslimin dan muslimat yang saya cintai karena Allah, khususnya anggota GiS atau Grup Islam Sunnah yang semoga dirahmati dan diberkahi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Pada kesempatan yang berbahagia ini kita akan bersama-sama mengkaji sebuah kitab yang sangat bagus yang ditulis oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah, yakni kitab Sifat Shalat Nabi atau sebagaimana judul aslinya Shifatu Shalatin Nabiyyi Shallallahu ‘Alaihi sa Sallam Minattakbiri ilattaslim Ka-annaka Taraha (Sifat Shalat Nabi Mulai dari takbir sampai Salamnya Seakan-akan Anda Melihatnya).

Baiklah kita lanjutkan kajian kita,

Syaikh Al Albani Rahimahullah mengatakan:

الصلاة في السفينة
(Ash shalaatu fis safiinah)

Shalat di atas kapal.

وسئل صلى الله عليه وسلم عن الصلاة في السفينة فقال : صل فيها قائما إلا أن تخاف الغرق
(Wa su`ila shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘anis shalaati fis safiinah. Fa qaala, “Shalli fii haa qaaiman illa an takhaafal gharaq.”)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang shalat di atas kapal. Maka Beliau menjawab, “Shalatlah di atas kapal dengan keadaan berdiri kecuali engkau takut tenggelam.”

Kalau kapalnya tenang dan bisa shalat dalam keadaan berdiri maka wajib shalat dalam keadaan berdiri karena Rasulullah memerintahkannya. Kalau kapalnya terombang-ambing dan kita takut tenggelam karena kapal yang keadaannya demikian, maka kita shalat dalam keadaan duduk.

Kalau duduk masih sulit karena sangat genting maka shalat dalam keadaan berbaring.
Duduk atau berdiri menjadi gugur karena keadaan.

Diantara keadaan tersebut adalah keadaan shalat di atas kapal. Kalau kapal orang dulu ada banyak kemungkinan untuk bergoyang. Tapi kapal-kapal yang sekarang besar sehingga kemungkinan ini menjadi kecil. Kecuali kalau kapal kecil, kapal-kapal nelayan misalnya. Ini sulit untuk shalat dalam keadaan berdiri. Kecuali mungkin orang-orang yang sudah terbiasa untuk shalat di atas kapal yang kecil tersebut.

Misalnya gini gimana ustadz?

Kita shalat berdiri di atas kapal kecil. Tiba-tiba ada ombak sehingga sulit untuk shalat dalam keadaan berdiri.
Maka kita sesuaikan dengan keadaan. Kalau misalnya ombaknya lama sampai kita duduk akhir shalat padahal asalnya sudah berdiri, maka itu yang kita lakukan.

Tapi kalau misalnya ketika ada ombak kita duduk, maka ketika ombaknya sudah tenang maka kita berdiri lagi. Karena kita harus mengambil keringanan ketika ada kesulitan. Ketika kesulitannya hilang maka kita mengambil hukum yang semula.

Makanya ada sebuah kaidah yang mengatakan:

الضرورة تقدر بقدَرها أو بقدْرها
(Adh dharuuratu tuqaddar bi qadariha, au bi qadriha)

Bahwa keadaan darurat itu sesuai dengan kadarnya.

Kalau keadaan darurat datang maka itu mendatangkan kemudahan. Kalau keadaan daruratnya sudah hilang maka keringanan tersebut hilang bersama dengan hilangnya keadaan darurat.

Orang yang makan bangkai karena kelaparan dan dia takut mati kalau tidak makan bangkai, maka dia makan secukupnya. Bukan makan sampai kenyang tapi makan secukupnya. Karena kalau sudah cukup keadaan daruratnya hilang sehingga hukumnya kembali ke asal, tidak boleh lagi.

Begitu pula dengan masalah shalat yang seperti ini. Shalat di dalam perahu kecil. Itu kalau dia tenang dia wajib berdiri di sana. Kalau keadaannya menjadikan dia takut tenggelam apabila tetap shalat dengan berdiri maka dia duduk. Kalau duduk masih takut maka dia shalat dalam keadaan tidur.

Ustadz, bagaimana sebaiknya kalau diperkirakan (nanti) ombak akan tenang dan masih dalam waktu shalat, belum keluar waktunya?

Kalau diperkirakan demikian maka sebaiknya ditunggu sampai dia bisa shalat dengan berdiri.

Akan tetapi kalau diperkirakan sampai keluar waktu shalat dia tetap tidak bisa shalat sambil berdiri, maka shalat dengan keadaan duduk atau dengan keadaan berbaring.

الاعتماد على عمود و نحوه في الصلاة
(Ali’timaad ‘alaa ‘amuudin wa nahwihi fis shalaat)

Bersandar dengan tiang atau yang semisalnya ketika shalat.

ولما أسن ﷺ وكبر إتخذ عمودا في مصلاه يعتمد عليه
(Wa lammaa asanna shallallahu ‘alaihi wa sallam wa kabura ittakhadza ‘amuudan fii mushallaahu ya’tamidu ‘alaihi)

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah berumur dan menua, Beliau menancapkan sebatang tiang di tempat shalat Beliau untuk bertumpu dengannya.

Ini sebaiknya dilakukan apabila orang sudah sulit untuk berdiri kecuali dengan memegang tiang untuk membantu dia berdiri. Dan ini tidak harus tiang. Bisa dengan tongkat maka ketika berdiri dia memakai tongkat tersebut. Dia juga bisa menggunakan mimbar sebagai tumpuan atau sebagai pegangan yang bisa membantu dia untuk berdiri maka itu sudah sudah cukup.

Tapi maksudnya adalah bahwa seorang imam diusahakan untuk tetap berdiri selama dia mampu melakukannya.

Lihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sampai Beliau mengusahakan untuk menancapkan sesuatu yang bisa menjadikan Beliau mudah untuk berdiri ketika Beliau sudah lanjut usia, sudah tua dan agak lemah. Beliau menancapkan sebatang kayu, sebatang tiang, di tempat shalat Beliau untuk bertumpu dengannya. Maksudnya agar beliau bisa, bisa shalat dalam keadaan berdiri.

Demikianlah yang bisa kita kaji pada kesempatan kali ini semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan diberkahi oleh Allah Jalla wa ‘Ala.

Insyaa Allah kita akan lanjutkan pada kesempatan yang akan datang.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

image_pdfimage_print

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top