Halaqah 06: Syarat-syarat Hewan Kurban

🌍 BimbinganIslam.com
🎙 Ustadz Abul Aswad Al-Bayaty, BA حفظه لله تعالى
📖 Keutamaan 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijjah dan Hari Tasyrik Serta Beberapa Panduan Praktis Berkurban
📗 Lathā’if Ma’ārif Karya Imam Ibnu Rajab dan Talkhish Kitab Ahkam Udhiyyab wa Ad-Dzakah Karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin رحمهما الله
〰〰〰〰〰〰〰

بسم الله الرحمن الرحيم
الـحـمـد لله و الـصـلاة و الـسـلام عـلـى رسول الله وعلى آله وصحبه و من والاه ومن اتبع الهدى إلى يوم النقه امابعد

Sahabat BiAS yang senantiasa dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Ikhwan wa Akhawat rahimakumullāh.

Pada kesempatan kali ini kita akan bersama-sama mempelajari pasal yang kedua dari buku yang kita pelajari, yaitu tentang :

▪︎ Syarat-syarat Hewan Kurban

Disebutkan di sini bahwa hewan kurban itu memiliki enam syarat, di antaranya adalah:

⑴ Bahīmatul An’ām (بَهِيْمَةُ الْاَنْعَامِ)

Ia harus berasal dari jenis bahīmatul an’ām (بَهِيْمَةُ الْاَنْعَامِ). Hewan ternak yang dipahami oleh orang-orang Arab di kala itu. Bukan hewan ternak dengan pemahaman bangsa selain mereka.Karena sebagian masyarakat kita, melihat hewan ternak itu termasuk ayam, itik dan yang lainnya.

Adapun hewan ternak bahīmatul an’ām (بَهِيْمَةُ الْاَنْعَامِ) yang dimaksud di sini adalah yang mencocoki pemahaman orang-orang Arab kala itu. Yaitu berupa unta, sapi, kerbau, domba, maupun kambing. Ini adalah jenis hewan yang bisa dijadikan kurban.

Kalau seseorang menyembelih hewan dari jenis lain, maka ia tidak akan diterima. Yang demikian karena setiap ibadah yang kita lakukan harus mencocoki syari’at dari sisi jenisnya, dari sisi waktunya, dari sisi tempatnya, dari sisi tata-caranya, dari sisi jumlahnya dan dari sisi sebabnya.

Seorang misalnya menyembelih kuda pada hari raya Iedul Adha, padahal daging kuda itu halal, maka tidak akan diterima oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.

Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan:

منْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

_”Barangsiapa mengamalkan suatu amalan, yang tidak ada padanya perintah Kami, maka ia tertolak.”_

(Hadīts shahīh riwayat Muslim nomor 1718)

Al-Imam Ibnu Utsaimin rahimahullāh menjelaskan bahwa, _”Setiap ibadah yang kita lakukan harus mencocoki syari’at dari enam sisi”._

Di antara dalīlnya adalah firman Allāh Ta’āla, kenapa kurban harus berupa bahīmatul an’ām (بَهِيْمَةُ الْاَنْعَامِ) di dalam surat Al-Hajj ayat 34.

Allāh Subhānahu wa Ta’āla berfirman:

وَلِكُلِّ أُمَّةٖ جَعَلۡنَا مَنسَكٗا لِّيَذۡكُرُواْ ٱسۡمَ ٱللَّهِ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّنۢ بَهِيمَةِ ٱلۡأَنۡعَٰمِۗ

_”Dan bagi setiap umat telah Kami syari’atkan penyembelihan supaya mereka menyebut asma Allāh, terhadap binatang ternak yang Allāh telah rezekikan kepada mereka.”_

⑵ Usia hewan kurban telah mencapai usia yang ditetapkan.

Untuk domba adalah Jadza’ah.
Untuk selainnya adalah Tsaniyyah.

• Tsaniyyah bagi unta yang telah memasuki usia lima tahun.
• Tsaniyyah bagi kerbau dan sapi yang telah memasuki usia dua tahun.
• Tsaniyyah bagi kambing yang telah memasuki usia satu tahun.

Khusus untuk domba usia minimalnya boleh enam bulan. Domba yang berusia enam bulan disebut dengan Al-Jadza’ah (الجَذَعَة)

Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

لَا تَذْبَحُوا إِلَّا مُسِنَّةً إِلَّا أَنْ يَعْسُرَ عَلَيْكُمْ فَتَذْبَحُوا جَذَعَةً مِنَ الضَّأْن

_”Janganlah menyembelih kecuali musinnah (مُسِنَّةً), kecuali jika ia sulit untuk didapatkan maka silahkan bagi kalian menyembelih jadza’ah dari kalangan domba.”_

(Hadīts shahīh riwayat Muslim)

Jadi jadza’ah untuk domba usianya enam bulan paling sedikit, kurang dari itu tidak akan sah. Adapun musinnah atau tsaniyyah dari kalangan kambing adalah satu tahun, sapi dan kerbau dua tahun, dan unta berusia lima tahun.

⑶ Hendaknya hewan kurban tersebut terbebas dari cacat yang menghalangi keabsahannya.

Cacat atau aib yang menghalangi keabsahan hewan kurban itu ada empat, berdasarkan sabda Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

‏أَرْبَعٌ لاَ تُجْزِئُ فِي الأَضَاحِيِّ

_”Ada empat aib di mana hewan kurban tidak sah jika memiliki satu dari keempat tersebut”._

العَرجاءُ البَيِّنُ ظَلَعُها

① Hewan yang pincang dan pincangnya sangat terlihat sekali (jelas).

الْعَوْرَاءُ الْبَيِّنُ عَوَرُهَا

② Buta sebelah matanya dan itu sangat jelas.

Sebagian ulama mengatakan buta sebelah mata itu, apabila bagian mata yang hitam itu telah tertutup selaput putih, dan selaput putih itu mendominasi di bulatan yang berwarna hitam.

Maka itu sudah cukup dikatakan sebagai seekor kambing atau sapi yang buta sebelah matanya. Adapun jika warna hitam masih mendominasi dan warna atau selaput putih yang menutupi hitam-hitam di mata itu masih sedikit. Kata para ulama itu masih sah untuk dijadikan sebagai hewan kurban.

وَالْمَرِيضَةُ الْبَيِّنُ مَرَضُهَا

③ Hewan kurban yang teramat sangat sakit, sakit dan sakitnya ini terlihat sekali.

Seperti batuk-batuk (batuknya sering, dahsyat) pileren, maka dia tidak sah dijadikan sebagai hewan kurban.

والعَجفاءُ التي لا تُنقي

④ Hewan yang sangat kurus dan lemah yang tidak bersumsum.

Jadi kesimpulannya empat aib atau cacat pada hewan yang tidak sah untuk dijadikan hewan kurban, adalah Hewan yang pincang, buta sebelah matanya, sangat sakit dan sangat kurus.

(Hadīts riwayat Mālik di dalam Al-Muwatta, dari Al-Bara bin Azib radhiyallāhu ‘anhu)

Di dalam satu riwayat Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

قَامَ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ ‏”‏ أَرْبَعٌ لاَ تَجُوزُ فِي الأَضَاحِي الْعَوْرَاءُ بَيِّنٌ عَوَرُهَا وَالْمَرِيضَةُ بَيِّنٌ مَرَضُهَا وَالْعَرْجَاءُ بَيِّنٌ ظَلْعُهَا وَالْكَسِيرُ الَّتِي لاَ تَنْقَ

_Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam berdiri di depan kami, kemudian beliau mengatakan, “Ada empat cacat yang tidak boleh atau tidak sah hewan dijadikan hewan kurban (beliau menyebutkan keempat ciri tersebut).”_

(Hadīts shahīh riwayat Abu Dawud nomor 2802)

Konsekuensi dari hadīts ini adalah hewan yang memiliki cacat yang lebih parah dari keempat cacat ini tentu lebih tidak sah lagi.

Jika satu hewan buta sebelah matanya tidak sah, maka jika buta kedua matanya lebih tidak sah.

Jika hewan pincang tidak sah, maka hewan yang patah atau putus salah satu kakinya lebih tidak sah.

Adapun cacat-cacat yang di bawahnya, lebih kecil dari keempat cacat tersebut, adalah cacat yang hanya mengurangi keutamaan maka masih sah.

Seperti hewan yang majer atau sudah tidak berproduksi lagi, atau hewan yang tidak bisa memiliki anak, maka masih sah.

Atau kambing atau sapi yang sanglir atau testisnya satu atau telinganya sobek atau tanduknya sedikit patah, maka itu adalah hewan-hewan yang masih boleh keluar, dijadikan hewan kurban dan sifatnya hanya mengurangi keutamaan tidak sampai membatalkan.

⑷ Hewan tersebut adalah milik sendiri atau diizinkan oleh syari’at atau pemilik. Sehingga tidak diperbolehkan seseorang menyembelih kurban yang bukan miliknya sendiri.

Seperti misalnya hewan hasil menjarah, hewan hasil curian, atau melalui tuntutan bathil (menipu).

Allāh Subhānahu wa Ta’āla adalah Dzat yang suci dan tidak akan menerima kecuali yang suci saja.

إنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إلَّا طَيِّبًا

_”Allāh itu suci dan tidak menerima kecuali sesuatu yang suci.”_

(Hadīts shahīh riwayat Muslim)

Adapun hewan kurban yang berasal dari harta curian, hasil menipu maka itu tidak boleh dijadikan sebagai hewan kurban.

⑸ Hewan sembelihan tidak tersangkut hak orang lain, maka tidak boleh menyembelih hewan yang digadaikan sebagai kurban.

Karena itu masih berkaitan dengan hal milik orang lain, barangkali saja orang lain tersebut akan menebus gadainya. Barangkali orang akan menebus hewan tersebut, sehingga tidak boleh.

Orang membawa kambing kepada kita misalnya, “Saya ingin meminjam uang kepada engkau dan saya ingin menggadaikan kambing ini”. Kambing ini tidak boleh disembelih karena kambing tersebut kasih berkaitan dengan hak milik orang lain.

Demikian pula mahar, maharnya berupa kambing, selama si suami ini belum mencampuri si istri, maka bisa jadi akan kembali ke si suami. Dalam kondisi seperti itu si istri tidak boleh menyembelih atau tidak boleh menjadikan mahar berupa kambing tersebut sebagai hewan kurban.

⑹ Menyembelih dalam waktu yang sudah ditetapkan dalam syari’at yaitu setelah shalat Iedul Adha atau pada hari-hari penyembelihan pada hari-hari Tasyriq.

Berdasarkan sabda Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam,

من ذبح قبل الصلاة فإنما هو لحم قدمه لأهله، وليس من النسك في شيء

_”Barangsiapa menyembelih sebelum shalat Iedul Adha, ia hanya berstatus sebagai daging yang ia suguhkan untuk keluarganya dan tidak bernilai kurban sama sekali.”_

(Hadīts riwayat Al-Bukhāri dan Muslim)

Dalam hadīts yang lain Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّىَ فَلْيُعِدْ مَكَانَهَا أُخْرَى

_”Barangsiapa menyembelih sebelum dia menunaikan shalat Iedul Adha, hendaknya ia mengulangi lagi sembelihannya.”_

(Hadits Riwayat Ahmad 19311, dan Bukhari 5562)

Ia mencari hewan lagi untuk dijadikan kurban dan disembelih setelah menunaikan shalat Iedul Adha.

Dan hari penyembelihan berlangsung sampai hari-hari Tasyriq berikutnya, jadi hari raya Iedul Adha kemudian tiga hari setelahnya yaitu tanggal 11, 12 dan 13 bulan Dzulhijjah sebelum matahari tenggelam di tanggal 13 Dzulhijjah kita masih diperbolehkan untuk menyembelih hewan kurban.

Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أكل وَشرب وَذكر الله

_”Hari Tasyriq adalah hari-hari untuk makan, untuk minum dan hari-hari untuk berdzikir kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.”_

(Hadīts riwayat Muslim)

Demikian saja yang bisa kita sampaikan, mudah-mudahan bermanfaat.

Wallāhu ta’āla a’lam bishawab

____________________

image_pdfimage_print

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top