🌍 BimbinganIslam.com
👤 Ustadz Fauzan ST, MA
📗 Matan Abu Syuja
📝 Ahmad bin Al-Husain bin Ahmad Al-Asfahāniy (Imam Abū Syujā’)
〰〰〰〰〰〰〰
بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وبعد
Para sahabat Bimbingan Islām yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Alhamdulilāh, kita lanjutkan pelajaran kita pada halaqah yang ke-115. Pada halaqah kali ini dan halaqah selanjutnya (in syā Allāh) akan lebih ringkas tanpa masuk pada perbedaan pendapat antar madzhab. Karena di dalam masalah fiqih banyak sekali akan kita temui permasalahan-permasalahan dan disana ada khilāf. Dan kita berusaha untuk memahami dari matan ini seringkas mungkin dan in syā Allāh akan dilanjutkan pada pembelajaran yang lebih mendalam.
Sebelum kita masuk ke halaqah 115, kita sampaikan bahwa kemarin ada yang terlewat tentang arkānul ‘umrah.
Berkata penulis rahimahullāh:
وأركان العمرة أربعة : الإحرام والطواف والسعي والحلق أو التقصير في أحد القولين.
Rukun umrah itu ada empat, yaitu:
⑴ Berihrām (الإحرام)
Berihrām adalah berniat untuk masuk ke dalam nusukh.
⑵ Thawāf
Sebanyak 7 putaran di baitullāh
⑶ Sa’i
Sebanyak 7 putaran antara Shafa dan Marwa
⑷ Al halq (mencukur) secara keseluruhan atau sebagiannya, pada salah satu pendapat di dalam madzhab.
Karena berdasar madzhab Syāfi’i, al halq adalah rukun dan sebagian madzhab lain mengatakan kewajiban.
⑸ Tertib secara berurut (poin 5 ini tidak disebutkan dalam madzhab ini)
⇒ Berurutan mulai dari ihrām, thawāf, sa’i dan al halq.
Kita masuk pada halaqah yang ke-115, yaitu tentang sunnah-sunnah haji.
Berkata penulis rahimahullāh:
وسنن الحج سبع: الإفراد وهو تقديم الحج على العمرة والتلبية وطواف القدوم والمبيت بمزدلفة وركعتا الطواف والمبيت بمنى وطواف الوداع.
Sunnahnya haji ada 7 (tujuh).
Sunnah ini apabila dikerjakan mendapat pahala dan keutamaan, semakin sempurna ibadah haji atau umrahnya.
Namun apabila tidak dikerjakan, maka tidak membatalkan ibadah hajinya berbeda dengan rukun, (artinya) tidak mempengaruhi dari keabsahan haji tersebut.
Sunnah haji, yaitu:
⑴ Ifrād
Ifrād adalah melaksanakan ibadah haji dengan ifrād maksudnya:
Mendahulukan ibadah haji sebelum umrah.
Disana ada khilāf, haji yang utama apakah haji ifrād atau haji tamattu’?
Di dalam madzhab syāfi’i haji ifrād lebih afdal daripada haji tamattu’ ataupun haji qirān. Karena Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengerjakan haji ifrād dan juga karena tidak ada dam di dalam ibadah haji tersebut. Hadits Aisyah Radhiyallāhu ‘anhā, beliau berkata:
فَأَهَلَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْحَجِّ
“Sedang Rasulallah saw ihram untuk haji saja (haji ifrad).”
⑵ Talbiyyah
Mengucapkan:
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ
“Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat dan kerajaan bagi-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu.”
Orang yang mengerjakan ibadah haji hendaknya mengulang-ulang dan memperbanyak bacaan talbiyyah tersebut.
Berdasarkan hadits ‘Usamah bin Zaid radhiyallāhu ta’āla ‘anhu, beliau berkata:
لَمْ يَزَلِ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يُلَبِّي، حَتَّى رَمَى جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ
“Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam senantiasa bertalbiyah sampai beliau melempar jamrah ‘Aqabah.”
(Hadīts shahīh riwayat Bukhāri nomor 1543)
⑶ Thawāf Qudūm
⇒ Thawāf Qudūm adalah thawāf kedatangan.
Thawāf yang dilakukan oleh orang yang baru tiba di Mekkah sebagai penghormatan terhadap Ka’bah. Disyari’atkan bagi orang yang datang dari luar Mekah sebagai penghormatan kepada Baitullāh (Ka’bah).
Sebagaimana hadīts dari Āisyah radhiyallāhu ta’āla ‘anhā, beliau berkata:
أَوَّلَ شَىْءٍ بَدَأَ بِهِ حِينَ قَدِمَ مَكَّةَ أَنَّهُ تَوَضَّأَ ثُمَّ طَافَ بِالْبَيْتِ
“Yang pertama Nabi lakukan ketika sampai di Makkah adalah berwudlu, lalu beliau thawaf di Baitullah.”
(Hadīts shahīh riwayat Muslim nomor 1235)
⑷ Mabit di Muzdalifah
Yang muktamat di dalam madzhab Syāfi’i bahwasanya mabit di Muzdalifah adalah termasuk kewajiban haji.
⑸ Shalāt sunnah 2 raka’at setelah thawāf
Artinya, setelah mengerjakan ibadah thawāf kemudian mengerjakan shalāt dua raka’at di belakang maqam Ibrāhīm.
Dan di sini ada khilāf, sebagian ada yang mengatakan bahwa shalāt dua raka’at ini adalah rangkaian di dalam thawāf.
Namun dalam madzhab Syāfi’i shalāt dua raka’at setelah thawāf adalah sunnah, (artinya) apabila seseorang thawāf kemudian tidak melaksanakan shalāt dua raka’at karena lupa atau sengaja tidak melaksanakannya maka tidak mengapa. Karena ini termasuk sunnah di dalam ibadah haji.
Berdasarkan hadīts dari Ibnu Umar radhiyallāhu ta’āla ‘anhumā:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا طَافَ فِي الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ أَوَّلَ مَا يَقْدَمُ فَإِنَّهُ يَسْعَى ثَلاَثَةَ أَطْوَافٍ بِالْبَيْتِ ثُمَّ يَمْشِي أَرْبَعَةً ثُمَّ يُصَلِّي سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ يَطُوفُ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ .
“Bahwasanya, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam apabila thawāf di dalam haji dan umrah yang pertama Beliau lakukan thawāf tiga kali di Ka’bah sambil berjalan cepat kemudian empat putaran berikutnya berjalan biasa, kemudian Beliau shalāt dua raka’at, kemudian Beliau sa’i antara shafa dan marwah.”
(Hadīts shahīh riwayat Muslim nomor 1261)
⑹ Mabit di Mina
Adapun mabit di Mina di sana ada khilāf juga, namun yang muktamat menurut madzhab Syāfi’i adalah wajib.
⑺ Thawāf Wada’
Thawāf Wada’ adalah thawāf perpisahan. Tatkala seorang ingin meninggalkan kota Mekkah maka dia melakukan thawāf Wada’.
Yang menjadi pegangan di dalam madzhab Syāfi’i, thawāf Wada’ juga merupakan perkara yang wajib berdasarkan perintah Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam:
أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُونَ آخِرُ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ إِلَّا أَنَّهُ خُفِّفَ ، عَنِ الْمَرْأَةِ الْحَائِضِ
“Bahwasanya manusia-manusia diperintahkan (oleh Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam) agar mereka melakukan thawaf terakhir di Baitullah sebelum pulang, kecuali yang diberi keringanan, yakni perempuan hāidh.”
Maksudnya, akhirnya pertemuan mereka sebelum pergi harus di Ka’bah yaitu dengan melaksanakan thawāf.
Hanya saja perintah tersebut diberikan toleransi atau diringankan bagi wanita wanita yang hāidh.
Artinya seorang wanita yang berhaji dan dia dalam keadaan hāidh maka gugur kewajiban ini.
⑻ Dan seorang laki-laki hendaknya dia melepas dari pakaian-pakaian yang mahid. Mahid disini sering diartikan pakaian yang berjahit.
Pengertian yang benar adalah pakaian yang membedakan (bagian) antara satu anggota tubuh dengan tubuh yang lain, artinya tidak harus (mesti) di jahit. Tetapi tatkala dia memisahkan antara satu anggota tubuh dengan anggota tubuh yang lain, maka dia termasuk mahid. Apakah dengan peniti, jarum atau yang lainnya.
Umumnya dengan jahitan pakaian yang kita pakai memisahkan antara satu dengan yang lainnya (misal: bagian tangan dan bagian badan).
Ini juga merupakan perkara-perkara yang wajib yang dilakukan oleh seseorang yang melakukan ibadah haji.
Dan memakai idzar (sarung) dan ridā’ (selendang) disunnahkan berwarna putih bagi seorang laki-laki.
Demikian yang bisa disampaikan, semoga bermanfaat yang benar datangnya dari Allāh Subhānahu wa Ta’āla yang salah datangnya dari kekurangan diri pribadi.
Kami menanti koreksinya apabila ada yang salah.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
واخردعوانا أن الحمد لله رب العالمين
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
______